[ad_1]
JawaPos.com – Aktivis di Myanmar merespons dingin resolusi yang diambil ASEAN terhadap situasi di negaranya. Pertemuan yang hanya menghadirkan satu pihak, yakni mengundang pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing, dinilai tidak akan berdampak apa pun.
Untuk kali kesekian, massa aksi prodemokrasi di Myanmar terjun ke jalan di berbagai kota di Myanmar. Sambil terus mengumandangkan penolakan terhadap junta militer, mereka merespons hasil konferensi pemimpin negara ASEAN di Jakarta. Mereka pesimistis bahwa keputusan ASEAN maupun organisasi internasional lain bisa mengubah sikap militer, yang telah menghabisi lebih dari 750 nyawa demonstran.
’’Baik ASEAN maupun PBB, mereka hanya bicara dari luar dengan mengatakan jangan melawan, tapi negosiasikan dan selesaikan masalah. Itu tidak mencerminkan situasi dasar di Myanmar,’’ tegas Khin Sandar dari kelompok demonstran Komite Kolaborasi Pemogokan Umum seperti dikutip CNBC.
Senin (26/4) berbagai kelompok aktivis prodemokrasi itu menyerukan agar penduduk berhenti membayar tagihan listrik, pinjaman pertanian, dan menjauhkan anak-anak dari sekolah. Tujuannya adalah untuk mencemooh janji Aung Hlaing dalam KTT ASEAN.
Salah seorang aktivis, Khant Wai Phyo, meminta agar semua penduduk dari berbagai kalangan untuk ikut berpartisipasi memboikot junta militer. Yaitu, dengan tidak ikut dalam sistem pemerintahan dan bekerja sama dengan pemerintah.
Boikot dan mogok massal berdampak luar biasa pada perekonomian dan layanan publik di Myanmar. Salah satunya pelayanan kesehatan. Sistem kesehatan di negara tersebut kini hampir lumpuh. Sejak kudeta, hampir semua tenaga medis memilih untuk mogok kerja. Sebanyak 80 persen layanan kesehatan di Myanmar merupakan milik pemerintah.
’’Ini situasi yang suram. Sistem kesehatan masyarakat hampir runtuh,’’ ujar Dr Mitchell Sangma dari organisasi kemanusiaan Medicins San Frontiers (MSF), seperti dikutip BBC. Dia pun ikut turun ke lapangan di wilayah Yangon.
Karena banyak tenaga medis yang mogok, penduduk yang sakit tidak bisa mendapatkan pelayanan yang memadai. Banyak di antaranya yang tidak bisa menjalani pengobatan. Mereka tidak mampu untuk membayar jika harus ke rumah sakit swasta.
Beberapa dokter memutuskan memberikan layanan pengobatan dan konsultasi gratis di RS swasta maupun rumah-rumah klinik. Namun karena kerap membantu demonstran yang terluka, kini tenaga medis juga menjadi sasaran serangan junta militer. Sebagian memilih memberikan layanan berpindah-pindah, sedangkan lainnya memilih berdiam diri.
’’Kami mulai melihat para tentara ditempatkan di sekitar rumah sakit untuk menunggu kami tiba,’’ ujar salah seorang dokter yang memberikan pelayanan gratis di rumah sakit swasta.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!