[ad_1]
JawaPos.com – Perwakilan 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkunjung ke kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesi pada Jumat (3/9). Dalam pertemuan tersebut, perwakilan KPK nonaktif dan pengurus AJI Indonesia mendiskusikan temuan dua lembaga negara yakni Ombudsman RI dan Komnas HAM RI yang menyebut ada pelbagai pelanggaran dan siasat penyingkiran pegawai KPK melalui pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).
Dalam temuannya, Ombudsman menemukan adanya cacat administrasi berlapis, penyimpangan prosedur, dan penyalahgunaan dalam proses pembentukan kebijakan, pelaksanaan TWK, serta penetapan hasil.
Sementara itu, Komnas HAM mendapati proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK, diduga kuat merupakan bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan latar belakang tertentu. Bahkan, Komnas HAM juga menyebut, terdapat 11 pelanggaran HAM dalan TWK yakni pelanggaran terhadap hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi ras dan etnis, hak atas rasa aman, hak atas privasi, hak atas informasi publik dan, hak atas kebebasan berpendapat.
Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim menyatakan, seharusnya tak ada lagi alasan bagi KPK untuk tidak mengangkat 75 pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. Tapi justru, KPK yang kini dipimpin Firli Bahuri kini memilih untuk mengabaikannya.
“Ketika hak asasi manusia disepelekan, hukum direndahkan dan ketidakadilan didiamkan maka orang-orang patut bicara. Apalagi, mereka yang memiliki otoritas tertinggi,” kata Sasmito dalam keterangannya, Minggu (5/9).
Sebagai pemimpin tertinggi ASN, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk mengambil alih dan mengoreksi keputusan KPK. Menurutnya, ini momentum bagi Jokowi untuk membuktikan sikap konkret dukungan terhadap pemberantasan korupsi.
Serta menegaskan ketidaksetujuan TWK dijadikan alat untuk mendepak pegawai yang justru berintegritas seperti yang pernah disampaikannya pada 17 Mei 2021. Saat itu, Jokowi berujar, hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi langkah-langkah perbaikan KPK, baik individu maupun institusi, dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes.
AJI memandang, Ombudsman dan Komnas HAM memiliki kewenangan terbatas. Tindak lanjut dari tangan Presiden Jokowi sebagai kepala negara diuji melalui putusan ini, apakah bisa menjadi panutan tertinggi melawan korupsi atau justru membiarkan para koruptor berutang budi padanya.
Menurutnya, membicarakan borok tes wawasan pegawai KPK bukan hanya menyoal niat menyingkirkan pegawai-pegawai yang dianggap tak bisa dikendalikan, tapi juga masa depan pemberantasan korupsi.
“Sebagaimana diketahui, di antara pegawai yang disingkirkan itu adalah mereka yang membuka mata bahwa paket bansos dikorupsi. Di antara mereka adalah yang menyingkap proyek KTP digarong, yang menyeret nama-nama politikus dan pejabat. Beberapa di antara mereka juga mengungkap perdagangan perkara di lingkungan peradilan dan, tentu masih banyak lagi yang belum diketahui publik,” ungkap Sasmito.
Karena itu, jika Jokowi tak segera mengambil sikap, lanjut Sasmito, rasanya pantas jika publik terus-menerus curiga dan mempertanyakan keseriusan ucapan kepala negara.
Oleh karena itu, AJI mendesak agar Jokowi berpegang teguh pada komitmen awal dan membuktikannya dengan sikap konkret menengahi polemik TWK pegawai KPK. Selain itu, Jokowi juga harus mengikuti rekomendasi Komnas HAM, berupa tindakan korektif untuk mengangkat seluruh pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK.
“Presiden Jokowi memerintahkan KPK untuk mengikuti rekomendasi Komnas HAM dan melaksanakan tindakan korektif yang diminta Ombudsman,” tegas Sasmito menandaskan.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!