[ad_1]
JawaPos.com – Rencana pembelajaran tatap muka pada Juli harus dipersiapkan dengan hati-hati. Merujuk pada penelitian RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), risiko keparahan infeksi Covid-19 juga dialami anak-anak. Terutama mereka yang memiliki penyakit bawaan (komorbid).
Dalam artikel yang dipublikasikan di International Journal of Infectious Diseases (IJID), disampaikan bahwa 40 persen pasien anak yang terkonfirmasi Covid-19 di RSCM meninggal. Penelitian itu dilakukan pada Maret–Oktober 2020.
Pada rentang waktu tersebut, sebetulnya ada 31.075 pasien dari segala usia yang datang ke UGD.
Sebanyak 1.373 pasien dikonfirmasi positif Covid-19. Untuk kasus anak, tercatat 490 kasus yang dikategorikan sebagai suspect.
Rismala Dewi, salah seorang peneliti, mengatakan, mereka yang suspect dites PCR. Dari jumlah tersebut, 50 anak terkonfirmasi positif Covid-19. Di antara kasus anak yang positif itu, 20 pasien atau 40 persen meninggal.
Merujuk pada penelitian itu, disebutkan tidak ada perbedaan tingkat kematian antara laki-laki dan perempuan terhadap pasien anak positif Covid-19. ”Hanya empat pasien (meninggal, Red) yang komorbidnya satu. Enam belas lainnya komorbidnya lebih dari satu,” ujarnya dalam temu media di Jakarta kemarin (4/6).
Menurut dia, kebanyakan pasien tersebut mengalami gagal ginjal dan keganasan penyakit. Karena itu, pada penelitian tersebut belum bisa disimpulkan apakah anak-anak murni meninggal karena Covid-19 atau karena keparahan penyakit akibat komorbid. Mengingat, sebagai rumah sakit tersier, rata-rata pasien datang ke RSCM dengan komorbid dan merupakan pasien kronis.
Selain itu, kata dia, penelitian dilakukan di awal pandemi Covid-19. Saat itu ada ketakutan masyarakat terhadap Covid-19 sehingga membuat pasien yang biasa datang akhirnya menunda ke rumah sakit. Akibatnya, ketika datang ke RS, kondisinya cukup berat. ”Tentu ini tidak bisa diekstrapolasikan yang di RSCM yang pusat rujukan dengan yang di daerah atau rumah sakit nontersier,” katanya.
Kendati begitu, menurut Dekan FKUI Prof Ari Syam, data tersebut bisa menjadi warning. Yakni, risiko keganasan infeksi Covid-19 pada anak juga besar. Terutama bagi mereka yang punya komorbid.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Prof dr Menaldi Rasmin mengamini pendapat tersebut. Karena itu, dia meminta pemerintah benar-benar berhati-hati atas rencana pembelajaran tatap muka (PTM) yang akan diperluas Juli 2021.
Dia mengungkapkan, saat ini belum diketahui seberapa besar kejadian akibat mutasi varian baru. Hal itu patut dipertimbangkan ketika pemerintah menginginkan PTM terbatas. ”Kalau perkantoran masih bisa karena mudah diatur. Kalau anak-anak, remaja, perlu diperhatikan betul. Karena sekolah itu dianggap juga pergi main,” paparnya.
Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa pada anak memang jarang diketahui sakit Covid-19, kecuali memiliki komorbid. Namun, bila orang tua sakit, harus dicurigai anak menjadi carrier. Karena itu, kalau masih ingin menerapkan PTM, aturannya harus ketat. Terutama untuk jenjang PAUD, TK, dan SD.
Baca juga: Tiga Pekan 6 Warga Meninggal, Satu Desa di Lamongan Darurat Covid-19
Bagi P2G, ada dua indikator mutlak sekolah tatap muka bisa dimulai Juli nanti. Pertama, vaksinasi guru dan tenaga kependidikan tuntas. Kedua, sekolah sudah memenuhi semua daftar periksa kesiapan sekolah tatap muka. ”Dua hal ini tidak bisa ditawar-tawar,” tegas Satriawan.
Vaksinasi guru dan tenaga pendidikan semula ditargetkan Mendikbudristek Nadiem Makarim rampung pada Juni. Namun, itu belum tercapai. ”Kami dari awal mendapatkan laporan dari jaringan P2G daerah, vaksinasi guru dan tendik memang lambat di daerah-daerah,” tuturnya.
Kabid Advokasi P2G Iman Z. Haeri menjelaskan, pemenuhan daftar periksa kesiapan sekolah tatap muka harus diisi secara online oleh sekolah. Dasbor daftar periksa itu dibuat Kemendikbudristek. Per kemarin, baru 54,36 persen sekolah yang mengisi. Sebaliknya, ada 45,64 persen sekolah yang belum merespons daftar periksa itu. ”Padahal, melalui dasbor tersebut, pemerintah dapat memantau kesiapan sekolah untuk melakukan pembelajaran tatap muka ditinjau dari aspek kesiapan prokes di satuan pendidikan,” ujarnya.
Untuk itu, Kemendikbudristek, Kemenag, Kemenkes, dan pemda mesti melakukan pemetaan guru di sekolah serta daerah mana saja yang belum divaksin. Selanjutnya, memetakan 535.782 sekolah di seluruh Idonesia. Bagi sekolah yang belum siap dari segi fasilitas dan sarana-prasarana pendukung prokes, kepala sekolah dibantu pengawas dan dinas pendidikan segera memenuhinya. ”P2G sangat berharap desakan Mendikbudristek agar sekolah harus dibuka Juli 2021 tanpa tawar-menawar hanya berlaku bagi sekolah yang vaksinasi gurunya rampung dan sudah diberi asesmen kelayakan,” tandasnya.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!