[ad_1]
JawaPos.com – Peneliti senior Imparsial, Al Araf mengatakan anggaran pengadaan alat pertahanan dan keamanan (Alpahankam) Rp 1.760 triliun yang disusun Kementerian Pertahanan (Kemhan) dinilai berlebihan di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang.
“Anggaran 1.760 triliun yang akan dihabiskan sampai 2024 menurut saya tidak tepat di tengah krisis akibat pandemi Covid-19. Seharusnya, pemerintah serius membangun ekonomi dan kesehatan masyarakat,” ujar Al Araf kepada wartawan, Sabtu (12/6).
“Peningkatan anggaran sebesar itu berlebihan. Kecuali kalau 1.760 triliun untuk program jangka panjang dengan tahapan-tahapan yang ada, mungkin masih rasional, tapi kalau harus selesai di 2024 sesuai dengan Perpres, ya menurut saya itu berlebihan,” tambahnya.
Al Araf, juga mempertanyakan rasionalitas dalam penyusunan anggaran pengadaan Alpahankam 1.700 triliun itu. Menurutnya, dari periode 2009-2014 dan 2014-2019, Kemhan tidak pernah menyerap habis anggaran pengadaan alutsista. Padahal, anggaran untuk alutsista pada masing-masing periode itu hanya Rp 150 triliun.
“Nah, dikasih Rp 150 triliun untuk alutsista saja tidak pernah terserap 100 %, nah pertanyaannya kenapa harus jumping sampai Rp 1.700 triliun gitu?” tanyanya.
Selain itu, mengutip data dari Government Defence Anti-Corruption Indeks, Al menyebut transparansi sektor pertahanan Indonesia masuk dalam kategori risiko tinggi atau buruk sekali (kelompok D).
Karena itu, kata Al, meningkatkan anggaran tanpa dibarengi menegakkan transparansi, sama saja dengan memberi cek kosong pada elite politik dan berpotensi menjadi penyalahgunaan anggaran.
“Saya selalu bilang ke publik, kalau transparansi dan akuntabilitas buruk, maka menaikkan anggaran di sektor pertahanan itu sama saja memberikan cek kosong kepada pemangku kepentingan. Cek kosong itu sangat mudah disalahgunakan dan dipermainkan,” terang dia.
Dia juga menyoroti besaran dana kontijensi dalam rancangan peraturan presiden (Raperpres) sebesar 30 persen. Dana kontijensi sebesar itu, imbuh Al, tidak jelas peruntukannya. Dana kontijensi justru paling rentan disalahgunakan.
Al menambahkan, persoalan pembengkakan anggaran bukanlah satu-satunya masalah dalam sengkarut alutsista. Ada deretan masalah lain. Pertama, transparansi dan akuntabilitas yang lemah. Kedua, berlindung di balik rezim kerahasiaan.
“Jangankan belanja alutsista, terkait dengan data kebijakan saja dikit-dikit rahasia. Bagaimana kita mau percaya bahwa ke mana duit Rp 1.700 triliun itu kalau semuanya rahasia?” ucapnya.
Ketiga, transparansi sulit dicapai tanpa reformasi peradilan militer. Al menyerukan agar UU Nomor 31/1997 tentang Peradilan Militer dirombak. Keempat, korupsi alutsista yang tinggi. Masalah lain yaitu tidak konsisten dalam implementasi perencanaan, tidak jelas dalam skala prioritas, pembelian barang bekas menjadi modus permainan anggaran, lebih memilih perawatan ketimbang membeli baru (kasus Nanggala), adanya broker (pihak ketiga) pengadaan alutsista, dan komitmen membangun industri pertahanan yang rendah.
Kendati pembiayaannya menggunakan utang luar negeri dan bersifat multiyears, Al meminta Menhan Prabowo Subianto menjelaskan kepada publik ihwal perencanaan, proses penyusunan dan detail penggunaan anggaran.
“Bagaimana mungkin kita mempercayai Rp 1.760 triliun kalau Anda (Menhan Prabowo Subianto) tidak memberikan penjelasan secara detail tentang fondasi bangunan rumahnya (argumen dan rasionalitas penyusunan anggaran), buku putih, kebijakan, postur anggaran,” ungkapnya.
“Jadi menurut saya, sangat potensial menjadi bancakan politik 2024. Bunga dari Rp 1.760 triliun itu, kalau dalam fee setiap pembelian itu dapat 5 persen, minimal itu dari pabrikan. Jadi 5 persen dari 1.700 triliun itu sekitar Rp 50 triliun fee-nya. Sudah normal itu. Jadi Rp 50 triliun itu sudah cukuplah untuk (modal-Red) Pemilu 2024,” pungkasnya.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!