[ad_1]
Zombi dalam Budaya Populer
Sebelum tahun 1930-an, zombi tidak dikenal dalam budaya populer di Amerika. Zombi hanya dipahami sebagai istilah yang berkaitan dengan kepercayaan para budak Afrika di sejumlah koloni Prancis seperti Haiti. Istilah itu berasal dari praktik ilmu hitam untuk membangkitkan orang yang telah mati. Baru pada tahun 1929, melalui sebuah jurnal yang berjudul The Magic Island karya William Seabrook, istilah zombi mulai terdengar di Barat, termasuk Amerika. Dalam waktu singkat, zombi menjadi isu kultural yang eksotis.
Pada tahun 1932, figur zombi kali pertama hadir dalam film White Zombie yang diperankan Bela Lugosi. Meski tidak sesukses film Dracula yang juga diperankan Lugosi, film itu menghadirkan figur zombi sebagai tokoh antagonis dalam film horor. Pada tahun 1968, figur zombi tiba-tiba mencuat kembali ke permukaan. Adalah George Romero yang menghadirkan zombi sebagai kelompok mayat hidup yang sadis. Hal demikian terlihat dalam filmnya, Night of the Living Dead. Film ini mampu mengubah wajah dramaturgi film horor secara radikal.
Namun, Romero ternyata tidak sendiri. Lucio Fulci, seorang sutradara Italia, juga menghadirkan para zombi sebagai kelompok mayat hidup haus darah dalam film-filmnya seperti Gli Ultimi Zombi (1979) dan City of the Living Dead (1980). Setelah Romero dan Fulci, gambaran tentang figur zombi sadis yang bisa menularkan virus melalui gigitan yang mereka tinggalkan pada korban menjadi stereotipe dalam film horor.
Satire bagi Manusia Modern
Zombi menjadi subgenre yang sangat penting dalam industri film horor modern. Subgenre ini memiliki potensi naratif bila disandingkan dengan genre film lainnya seperti komedi, melodrama, dan laga. Film Army of the Dead yang disutradarai Zack Snyder menggabungkan subgenre zombi dengan tiga genre itu. Alhasil, film berdurasi 2 jam 28 menit itu menjadi sebuah tontonan yang sangat menarik. Film itu kaya dengan berbagai elemen pertunjukan visual yang menarik. Dalam film itu, Snyder juga menampilkan sebuah penafsiran baru akan narasi zombi yang lebih segar.
Oleh Snyder, narasi zombi dijauhkan dari sifatnya sebagai narasi supernatural. Dalam film itu, zombi dirupakan sebagai sesosok manusia yang begitu kuat yang muncul dari kontainer militer. Sang zombi menyambangi Las Vegas dan menebar teror. Tiada satu pun manusia yang selamat dari peristiwa itu. Mereka yang datang untuk berjudi di kota itu mati dan bangkit sebagai zombi-zombi yang brutal. Haus darah. Kondisi demikian sebenarnya tidak ubahnya dengan sifat rakus yang mereka miliki sejak awal. Ini adalah sebuah satire yang cukup pedas!
Satire yang lain pun dihadirkan Snyder, yaitu ketika sekelompok serdadu bayaran disewa seorang taipan untuk membobol brankas. Dengan iming-iming bayaran yang tinggi, mereka masuk kembali ke Las Vegas untuk memperoleh uang yang mereka impikan. Bagi mereka, seperti kebanyakan orang modern di dunia nyata, uang adalah jawaban dari segala persoalan. Di sana mereka harus berjudi dengan ancaman maut dari para zombi dan rudal nuklir yang dilesatkan pemerintah.
Mereka mengira para zombi itu sebagai gerombolan mayat hidup yang bodoh. Faktanya, para zombi itu sudah menjelma sebagai komunitas yang terorganisasi, yang dipimpin satu zombi yang terkuat. Dalam waktu singkat, zombi-zombi itu membentuk diri sebagai pasukan yang mematikan. Mereka begitu patuh pada pemimpin mereka. Situasi ini berbanding terbalik dengan kondisi serdadu bayaran yang tampaknya kuat, tetapi begitu rentan. Mereka tidak memiliki kesatuan gerak yang sama karena memikirkan kepentingan masing-masing. Lagi-lagi, Snyder melontarkan satire kepada manusia modern yang cenderung egois dan mau menang sendiri.
Zombi di Dalam Tubuh Kita
Di akhir cerita, kesia-kesiaan terpampang jelas. Satu per satu anggota serdadu bayaran dilumat para zombi. Uang berkarung-karung yang mereka ambil dari brankas terbang entah ke mana. Di akhir cerita masih ada satu anggota serdadu yang selamat. Dengan susah payah, ia sempat menyelamatkan beberapa karung uang. Dengan uang itu, ia mampu membeli sebuah jet pribadi, lengkap dengan pilot dan pramugarinya. Namun, kebahagiaan macam apakah yang sesungguhnya ia genggam ketika ia mengetahui bahwa di lengannya terdapat bekas gigitan zombi?
Baca juga: Ketika Keteladanan dan Keberanian Absen
Berbeda dengan Dawn of the Dead (2004) yang pernah disutradarainya, para zombi dalam Army of the Dead nyaris hadir sebagai figuran yang mudah dilupakan. Seolah-olah Snyder tidak serius menampilkan film itu sebagai film horor. Namun, di sinilah letak keunggulan film itu!
Snyder menggunakan ikon film horor sebagai sarana refleksi atas wajah kemanusiaan masa kini. Bukankah kita begitu mudah terinfeksi sebagai pengguna media sosial yang secara brutal melontarkan hate speech? Bukankah kita begitu mudah mengikuti hasrat untuk mengonsumsi hal-hal yang sebenarnya tidak diperlukan? Bukankah kita cenderung menghancurkan alam ini dengan bersikap rakus, tanpa memperhitungkan kelestarian bagi generasi berikutnya? Snyder tahu bahwa dalam banyak hal, ada zombi di dalam tubuh manusia modern. Sebuah satire yang jitu. Memang. (*)
PAUL HERU WIBOWO, Dosen dan Penulis
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!