Asa Reformasi DK PBB untuk Palestina

oleh

[ad_1]

SERANGAN Israel ke Palestina terus menjatuhkan korban. Sampai Senin (17/5), korban tewas mencapai 197 jiwa, termasuk 58 anak-anak dan 34 perempuan dengan 1.230 orang luka-luka. Tindakan Israel yang melakukan serangan bertubi-tubi tanpa mengindahkan perikemanusiaan menuai kecaman dari negara-negara tetangga, termasuk Turki dan Iran.

Tahun ini suara dukungan terhadap Palestina sebenarnya tampak sumbang ketika beberapa negara di Jazirah Arab membuka hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Israel. Dukungan yang konsisten dan konkret justru mengalir dari negara-negara Asia Tenggara. Senin malam (17/5) dukungan diungkapkan Presiden Jokowi bersama dua pemimpin negara Asia Tenggara, yakni Raja Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah dan Perdana Menteri Malaysia Tan Muhyiddin Yassin.

Ada beberapa poin menarik dari pernyataan yang disampaikan secara terbuka dan disebarluaskan oleh Kementerian Luar Negeri ketiga negara. Pertama, desakan agar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) segera menjamin keselamatan dan perlindungan warga sipil Palestina dalam rangka menegakkan perdamaian internasional. Kedua, meminta Majelis Umum PBB mengadakan sesi darurat guna membahas perkembangan dan menghasilkan resolusi perdamaian dengan tujuan mengakhiri kekejaman yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.

Kedua poin di atas mempertanyakan kembali kedudukan PBB sebagai ”juru damai” dunia internasional yang berdiri sejak 24 Oktober 1945. Terutama peran dewan keamanan yang memiliki wewenang melakukan intervensi dan tanggung jawab untuk melindungi (R2P) dalam menangani isu-isu kemanusiaan. PBB telah lama menerima berbagai kritik pedas, terutama terkait dengan keberpihakan pada kekuatan-kekuatan besar yang menyokong dewan keamanan. Poin ini secara umum dipahami sebagai salah satu faktor yang menghambat pengakuan kedaulatan dan pengabaian terhadap krisis kemanusiaan di Palestina.

Pengakuan terhadap Negara Palestina

Dari sudut Palestina, perjuangan untuk memasukkan seteru Israel ini ke dalam keanggotaan PBB dimulai jauh sebelum 1988. Pada 14 Oktober 1974, PLO mendapatkan pengakuan dalam Sidang Umum PBB sebagai perwakilan rakyat Palestina dalam pertemuan tahunan. Sebulan berselang, PLO naik status menjadi pengamat nonnegara untuk mengikuti semua sesi sidang.

Akhir Desember 1988, PLO secara resmi digantikan dengan panggilan ”Palestina”. Langkah konkret diwakili Presiden Mahmoud Abbas yang mewakili PLO mengajukan Palestina sebagai anggota PBB pada 23 September 2011 dan kemudian oleh sidang umum 29 November 2012 diakui sebagai negara pengamat nonanggota.

Sedangkan dari sudut negara-negara lain, per hari ini (19/5) Palestina diakui 138 dari 193 atau 71,5 persen dari keseluruhan negara anggota PBB. Pengakuan terhadap Palestina pun memiliki bentuk yang bermacam-macam. Seperti pengakuan penuh dengan hubungan diplomatik, pengakuan tanpa hubungan diplomatik, dan pengakuan negara terhadap Palestina ”versi” kesepakatan 4 Juni 1967 pasca-Perang Enam Hari. Pengakuan pertama negara-negara anggota PBB dimulai dari permintaan untuk memasukkan Palestina sebagai negara anggota UNESCO pada November 1988 sampai Mei 1989.

Setidaknya terdapat tiga negara besar anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang tidak mengakui Palestina sebagai negara berdaulat: Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Disusul di belakangnya negara-negara yang memiliki kekuatan seperti Australia, Kanada, Jerman, dan sebagian besar negara-negara Uni Eropa. Daftar ini mengindikasikan sebuah tren dalam memandang pengakuan Palestina akan menghalangi kepentingan negara-negara Barat. Meskipun Perang Dingin usai pada awal 1990-an dan telah merobek tirai besi yang memisahkan ”timur” dan ”barat”, unjuk kekuatan pemain besar dalam hubungan antarnegara masih sangat kental.

Desakan Reformasi

Daftar negara-negara anggota PBB yang mengakui Palestina menunjukkan bahwa Barat masih sangat berkepentingan dalam mendominasi negara-negara Timur yang dianggap ”eksotis”. Sejumlah negara pun telah mendesak untuk melakukan perombakan struktur dan keanggotaan DK PBB agar lebih inklusif dan terbuka sehingga dapat terbebas dari kooptasi kepentingan Barat.

Dari Indonesia, Presiden Soekarno sejak lama melakukannya. Melalui pidato berjudul To Build the World Anew pada 1960, ia telah memasukkan kritik bahwa keanggotaan DK PBB harus menyesuaikan konteks zaman. Hal ini juga sejalan dengan langkah-langkah diplomasi Indonesia dalam memperkuat solidaritas Asia-Afrika melalui Deklarasi Bandung 1955 dan diwujudkan melalui Gerakan Nonblok.

Presiden Abdurrahman Wahid pernah memberikan pernyataan lewat media pada 2001 bahwa PBB terlalu disetir kepentingan AS. Dengan kondisi itu, tentu saja PBB akan lebih berpihak pada Israel saat berbicara mengenai nasib rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Desakan reformasi PBB kali terakhir disampaikan Presiden Joko Widodo pada 23 September 2020, ketika Indonesia masih duduk sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pada waktu itu, Jokowi juga mengkritik bahwa PBB harus lebih responsif dan efektif dalam menyelesaikan tantangan global sesuai dengan Piagam PBB yang tidak lagi diindahkan. Desakan senada dilakukan pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan dari seluruh dunia tanpa diindahkan dengan baik.

Baca Juga: Sepuluh Tahun Menikah, Istri Akui Dua Anaknya dari Pria Lain

Pada akhirnya, upaya kecam-mengecam yang sampai sejauh ini dilakukan berbagai pihak secara luas terancam akan tetap jalan di tempat saja. Kecuali bila sistem di dunia internasional bisa didorong untuk berubah agar semakin mengakomodasi kekuatan yang lebih inklusif di Dewan Keamanan PBB. Begitu pula dengan proses perdamaian di Palestina. (*)


*) Probo Darono Yakti, Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jawa Timur, pengamat Timur Tengah di Stratagem Indonesia

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.