Bajingan dan Kelinci Percobaan

oleh
oleh

[ad_1]

Sapi susu Stasiun Semut. Siapa kesusu statusnya cenut-cenut.

PADA zaman dahulu kala angkutan darat seperti truk sekarang adalah cikar. Penariknya dua ekor sapi. Adakalanya disebut pedati. Mestikah kedua sapi itu separtai agar kompak, tak penting diceritakan. Benarkah hidup bagai roda pedati, kadang di atas, kadang di bawah, pun tak penting dikisahkan. Yang harus diungkap, ini penting, kusir cikar atau pedati itu disebut bajingan.

Siapa sopir truk, eh, bajingan malam itu sehingga lenyaplah cikar beserta barang bukti yang diangkutnya?

Tak ada yang tahu. Tahu-tahu seekor monyet, salah satu barang bukti itu, telah berlompatan sembunyi-sembunyi hingga hinggap di pohon sidoguri. Di bawah pohon mistis itu, yang disebut-sebut dalam tembang Dhandhanggula itu, sedang duduk mencangkung seorang pemuda. Bidang dadanya tipe penyangga tangis perempuan: Pendekar Bra.

Bra menembang melodi Dhandhanggula. Liriknya konon digubah Sunan Kalijaga:

Semut ireng anak-anak sapi

Kebo bongkang nyabrang kali bengawan

Keong gondhang jarak sungute

Timun wuku ron wolu

Surabaya geger kepati

Gegere wong ngoyak macan

Cinandak wadahi bumbung

Alun-alun Kartosuro

Gajah meto cinancang wit sidoguri

Mati cineker pitik trondol

Maknanya, jangan pesimistis, rakyat jelata bisa melahirkan sapi alias pembaharu. Jangankan sapi yang kastanya tinggi, kerbau pun bisa menjadi pembaharu asalkan bernyali agung menyeberangi bengawan, beradrenalin melampaui kerendahdiriannya. Berpandangan jauh ke depan bak keong gondhang dengan sungutnya, jangan sependek pandangan keong mainstream. Menampung delapan (wolu) perbedaan bahkan kebinekaan yang lebih beragam. Apalagi dalam situasi yang segeger Surabaya pada suatu ketika. Gegernya khalayak ramai memburu macan. Risikonya, pembaharu itu akan ditangkap. Ia dibui di ibu kota, Kartasura. Walau segede gajah, diikat tak berkutik ia di pohon sidoguri. Mati perlahan-lahan lantaran dikais-kais oleh ceker-ceker gerombolan para penjilat.

Tentu di zaman Pendekar Bra hidup belum ada Dhandhanggula berlirik semut ireng. Lha, wong, cerita silat ini terjadinya saat Candi Borobudur belum ada. Gunung Merapi kelihatannya juga belum eksis.

Tapi jangan lupa, Bra ini taruna digdaya, bisa menembus masa depan. Jangan lupa, setelah dadanya yang bidang menyangga tangis Tingting Jahe, mantan kekasih Pendekar Sastrajendra yang kini menjadi kekasihnya, ia turuti permintaan Jahe. Diseberangkannya sang kekasih mengarungi samudra hanya dengan sampan kecil. Bukan sekadar menyeberang kali bengawan. Itu pun sampan kecilnya cuma dari janur kuning yang dianyam-anyamnya sendiri.

Terdampar satu kali, memang. Di Pulau Gagal Ganda Bathang. Namun, di pulau bacin mayat busuk itu Bra yang kelak mirip pebola Ibrahimovic ini malah berlipat kesaktiannya. Dicecapnya jurus-jurus baru dari Kitab Mas Elon yang disemayamkan secara rahasia di sana.

”Sayangnya, cinta selalu membutakan. Tak peduli itu cinta manusia dewasa maupun cinta monyet,” jerit hati monyet di pucuk pohon sidoguri. ”Anak muda di bawahku ini mampu melantunkan Dhandhanggula dari masa depan yang jauh. Sayangnya, ia tak sanggup membaca isi hati kekasihnya yang dekat sesama tinggal di Gua Hantu. Cuma dari jarak 3 ribuan depa, ia sudah tak kuasa mendengar pergunjingan Tingting Jahe dan putri angkat mantan kekasihnya, Tingting Bocah. Padahal, bila tak ditulikan cinta, Bra bahkan sanggup mendengar semut bisu berbisik dari jarak 99 ribu depa.”

***

Tingting Jahe dan putri angkat mantan kekasihnya kembali berkasak-kusuk di Gua Hantu. Sambil tiduran di tengah bau kotoran kelelawar. Beda jauh keadaannya kalau Bra-nya ada. Perempuan dengan pinggang aduhai itu pura-pura tak pernah kenal Tingting Bocah yang sudah lama tak ditemuinya dan kini telah menginjak usia gadis bermata sendu-sendu tajam serta berambut ikal mayang.

Bra-nya kini sedang tak ada. Entah sedang di bawah pohon sidoguri atau tidak. Jahe tahunya Bra-nya sedang jauh di luar gua, berlatih menyiapkan diri untuk menantang tarung mantan kekasihnya.

”Bocah, ayah angkatmu pernah diusir dari Pulau Sidomukti. Pendekar Sastrajendra usul agar petinggi sarjono sujaneng budi (Menristek saat itu) berasal dari keturunan kelinci, supaya dia sendiri yang dijadikan bahan percobaan untuk setiap hasil temuan baru ristek. Rakyat tak boleh dijadikan kelinci percobaan…

Sedangkan petinggi panggulowenthah (Mendikbud saat itu) harus keturunan kura-kura. Sebab, kelak, ramalan Sastrajendra, akan ada Oogway, kura-kura dalam Kungfu Panda. Beliau guru yang baik. Kura-kura dan kelinci tak boleh disatukan. Nanti diketawai kancil. Begitu pendapat Sastra. Lalu dia diusir…”

”Bulek Jahe, pekan lalu kamu utang kisah padaku bukan tentang itu. Utangmu, kenapa ayahku tidak kaya padahal sudah memenangi pertarungan untuk beroleh cincin pesugihan bermata rubi!”

”Sebentar. Sabar. Nanti aku akan sampai di sana…”

Di sana, sementara itu, di pohon sidoguri, monyet berseru, ”Wahai Pendekar Bra, tahukah engkau, Tingting Bocah yang menyamar dengan nama Hacob Ngiting itu sesungguhnya putri tantanganmu, Pendekar Sastrajendra? Aku pernah hinggap dan nginthil di pundaknya sebelum mayat hidup keparat itu mendepak kedudukanku!” (*)

SUJIWO TEJO

Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

Saksikan video menarik berikut ini:

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tentang Penulis: Redaksi

Pimprus
Website media INFOMURNI merupakan website resmi yang berbadan hukum, Berisikan berbagai informasi untuk publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.