Bersiap Residensi, tapi Juga Bercita-cita Bentuk Koperasi

oleh
oleh

[ad_1]

Dari Balik Panggung Festival dan Siasat Tetap Produktif di Kala Pandemi

Sejumlah penulis yang terlibat dalam Makassar International Writers Festival menuturkan bagaimana mereka berselancar di antara tuntutan produktivitas dan ganjalan ekonomi di kala pandemi. Ada yang merasa hampa kalau tak memikirkan puisi, ada yang tak tega ketika tetangga menjual murah kain tenunnya demi beras.

SHABRINA PARAMACITRA, Surabaya, Jawa Pos

Tiap kali Makassar pergi ke Jakarta,

Makassar membawa pulang oleh-oleh:

beberapa keping Jakarta. Sekarang Makassar

tidak perlu pergi ke Jakarta untuk berada di Jakarta.

NUKILAN sajak dalam bab Makassar Adalah Jawaban. Tetapi, Apa Pertanyaannya? (Aan Mansyur, Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau, 2016) pada bagian awal tulisan ini, tampaknya, merefleksikan situasi sekarang.

Manusia bisa ”hadir” di mana saja tanpa harus pergi ke tempat lain. Begitulah yang terjadi pada Makassar International Writers Festival (MIWF) 2021 yang dihelat secara virtual. Orang-orang dari berbagai kota dan negara berdiskusi tanpa batasan jarak dan ruang.

Bagi Aan yang juga kurator dalam festival tersebut, ini adalah tantangan yang tak ringan. ”Menjelang beberapa hari sebelum festival, kami, para kurator, saling menguatkan,” kata Aan pada Rabu (23/6).

Tantangan lain dia rasakan pula dalam kesehariannya sebagai penulis. Perpustakaan Kata Kerja yang menjadi kantornya sejak lama beroperasi secara terbatas. Padahal, biasanya dia menulis di ruang perpustakaan itu. Sementara, rumah baginya adalah lokasi yang hanya milik keluarga. Batin dan pikirannya tak terbiasa membawa pekerjaan ke tempat dia seharusnya berinteraksi dengan anak-anak dan istrinya secara paripurna.

Namun, toh Aan tetap bisa menghasilkan karya. Dua bulan lagi, Aan meluncurkan buku baru. Sebelumnya, buku Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau diluncurkan pada akhir 2020. Tiga buku lama juga kembali dicetak dengan versi baru, yakni Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita, Sebelum Sendiri, dan Aku Hendak Pindah Rumah. Ketiganya dicetak ulang demi membantu para pustakawan yang kesulitan keuangan dan kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Juga, untuk biaya operasional perpustakaan yang tetap harus membayar biaya sewa. Selain itu, buku-buku yang dicetak ulang dibagikan ke taman-taman baca dan komunitas.

Pandemi membuat diskusi literasi, sastra, dan budaya secara virtual ”tumbuh subur”. Undangan mengisi materi yang diajukan ke Aan datang bak air bah. ”Baru kali ini dalam seumur hidup saya, undangan diskusi itu banyak sekali,” kata Aan.

Namun, penulis Tidak Ada New York Hari Ini (2016) itu sangat selektif. Seperti konsep MIWF yang mengusung ”no all-men panels”, Aan enggan berperan dalam webinar yang semua pembicaranya laki-laki. Sejak dua tahun terakhir, dia cukup idealis soal itu.

MIWF 2021 ditutup hari ini (26/6). Sesuai dengan temanya, Anthropause, narasi tentang manusia, jeda, dan ketimpangan banyak muncul dalam berbagai diskusi.

Felix K. Nesi, salah seorang pembicara dalam MIWF 2021, bercerita bahwa tak semua orang yang terjebak pandemi bisa menulis dengan begitu produktif. Ada hal-hal yang terkadang menghambat kelancaran seseorang dalam berkarya. Salah satunya, faktor ekonomi. ”Kalau ada yang masih bisa menulis dengan rajin pada masa-masa begini, wah, hebat sekali kamu,” kata penulis novel Orang-Orang Oetimu tersebut.

Felix senang bisa berpartisipasi dalam MIWF 2021, festival yang dulu membesarkan namanya sebagai penulis pemula (emerging writer) pada 2015. Namun, di tengah diskusi-diskusi soal sastra, budaya, dan permasalahan dunia, dia dihadapkan pada kondisi kesulitan ekonomi warga sekitar. Di tempat tinggalnya di Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih banyak orang yang hanya bisa berpikir mau makan apa besok.

Felix pun tergerak untuk melakukan sesuatu yang menurutnya lebih penting daripada menulis: membuka usaha dan memberdayakan masyarakat sekitar. Sejak tahun lalu, dia memproduksi sopi (minuman tradisional khas NTT) dengan dibantu keluarga dan orang-orang di desanya. Dia berusaha membantu para petani, ibu rumah tangga, dan siapa pun yang sulit mendapatkan uang. ”Produktif dalam melihat manusia itu lebih penting bagi peradaban,” tuturnya yang menghidupi 15 keluarga di Kefamenanu dari usaha sopinya.

Felix sedih jika tak bisa membantu tetangganya yang datang ke rumah untuk menjual kain tenun. Selendang yang seharusnya dijual seharga Rp 750 ribu dibanderol Rp 200 ribu saja demi bisa membeli beras atau membayar utang. Lebih baik dia menghabiskan waktu untuk menjalankan usaha sopinya. Ketimbang duduk di kamar, menulis, serta bercerita tentang ketimpangan dan lokalitas di NTT, lalu uang hasil kerjanya dinikmati sendirian.

”Kan berdosa sekali saya kalau hanya bisa seperti itu. Lebih baik saya berusaha kasih pekerjaan buat mereka,” tutur Felix yang bercita-cita membuat koperasi agar orang-orang di desanya tak terjerat lintah darat.

Pada Oktober mendatang, ayah satu anak itu menjalani residensi di Iowa, Amerika Serikat (AS). Residensi itu tertunda sejak November 2020 akibat pandemi. Tentu, meski sibuk menjalankan bisnis, menulis akan tetap menjadi jalan hidupnya. ”Ya, saya cinta dengan aktivitas menulis,” ujarnya.

Di Samarinda, Septina Andriani sempat merasa kesepian karena kegiatan Komunitas Sindikat Lebah Berpikir (SLB) sempat vakum akibat pandemi. Sebelumnya, salah seorang emerging writer MIWF 2021 itu banyak belajar tentang puisi dari kegiatannya di komunitas.

Dalam setahun terakhir, dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Namun, karena itulah, dia justru lebih banyak menulis. Hampir 100 puisi telah dihasilkannya. ”Kadang habis mengajar, pulang petang hari, saya menulis,” ujar guru bimbingan belajar (bimbel) tersebut.

Baca juga: Makassar International Writers Festival Digelar Secara Virtual

Lain lagi dengan Siti Hajar. Pendiri Komunitas Pondok Aspira itu jadi jarang membacakan puisi dan berteater. Padahal, biasanya dia dan anggota komunitas sering mengisi acara-acara tentang budaya, sastra, dan perfilman di Kupang, NTT.

Pandemi membuat dia memaknai ulang tentang apa itu sepi. Kata sepi memang sempat menjadi inspirasinya untuk menulis. Itulah yang tertuang dalam cerpennya, Galeri Sepi, dalam buku antologi cerpennya, Menyudahi Kabair (2019). Galeri Sepi bercerita tentang seorang anak perempuan yang mati bunuh diri karena merasa terasing di dalam rumahnya.

Menurut dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Muhammadiyah Kupang itu, hampir semua penulis pasti punya tulisan-tulisan yang masih ”menggantung”. ”Ada cerpen yang ditulis dengan lama, ada yang dengan cepat, ada yang bahkan tidak pernah selesai. Mudah-mudahan yang ini bisa segera selesai dan saya kirim ke Jawa Pos, haha,” kata Hajar yang juga emerging writer MIWF 2021.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tentang Penulis: Redaksi

Pimprus
Website media INFOMURNI merupakan website resmi yang berbadan hukum, Berisikan berbagai informasi untuk publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.