[ad_1]
JawaPos.com – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengaku, kondisi Keuangan perusaahan maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk saat ini memang sangat parah. Bahkan, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyebut, beban pengeluaran Garuda jauh lebih besar dibandingkan pendapatannya.
Pria yang akrab disapa Tiko ini mengungkapkan, bahkan dalam sebulan beban biaya Garuda mencapai USD 150 juta sementara pendapatannya hanya mencapai USD 50 juta. Artinya, maskapai BUMN ini rugi USD 100 juta per bulannya.
Hal itu membuat pihaknya meminta restu untuk melakukan restrukturiasi. Namun, restrukturisasi utang ini merupakan kategori berat, artinya bukan tanpa risiko. Sebab, jika kreditur tidak setuju bisa membawa pada kebangkrutan.
Baca juga: Kondisi Penerbangan Parah, Erick Thohir Ungkap Apa yang Dialami Garuda
“Ini yang kami harapkan dari Komisi VI, kalau kita masuk proses restrukturisasi berat, dan melalui proses legal yang cukup kompleks, diharapkan dalam waktu 270 hari setelah kita moratorium, kita bisa menyelesaikan restrukturisasi ini,” kata Tiko dalam rapat di Komisi VI, Kamis (3/6).
Tiko melanjutkan, risiko jika dalam restrukturisasi ada kreditur yang tidak setuju atau akhirnya banyak tuntutan-tuntutan legal terhadap Garuda, bisa terjadi tidak mencapai kuorum dan akhirnya bisa terjadi akan menuju kebangkrutan. “Ini yang kami hindari sebisa mungkin dalam proses legalnya, karena harapannya akan ada kesepakatan dari seluruh kreditur untuk menyepakati restrukturisasi,” imbuhnya.
Tiko memaparkan, kondisi keuangan Garuda yang berantakan disebabkan oleh beban masa lalu terutama berasal dari penyewa pesawat (lessor) yang melebihi biaya (cost) yang wajar. Di samping itu, Garuda juga mengelola banyak jenis pesawat sehingga menimbulkan masalah pada efisiensi. Kemudian, banyak rute-rute yang diterbangi tidak menghasilkan keuntungan bagi Garuda.
Sebenarnya, menurut Tiko sebelum pandemi Covid-19 Garuda sudah meraup keuntungan dari perjalanan domestik, namun rute penerbangan internasional merugi. Setelah Covid-19 muncul permasalahan baru yaitu perubahan pengakuan kewajiban, di mana operational lease yang tadinya dicatat sebagai opex kemudian dicatat sebagai utang.
“Sehingga utangnya yang di kisaran Rp 20 triliun jadi Rp 70 triliun. Ya, memang secara PSAK diharuskan dicatat sebagai kewajiban,” sambungnya.
Tiko melanjutkan lebih jauh, restrukturisasi pun harus dilakukan secara fundamental. Utang Garuda saat ini sekitar USD 4,5 miliar harus dipangkas sampai di kisaran USD 1 miliar hingga USD 1,5 miliar. Secara sederhana, EBITDA sekitar USD 200-250 juta, itu secara kondisi keuangan yang normal maksimum rasionya 6 kali.
“Jadi sekitar 250 kali 6, USD 1,5 miliar. Di atas itu Garuda tidak akan bisa bisa going concern karena nggak mampu bayar utang-utangnya,” katanya.
Tiko menyampaikan, saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan pemegang saham termasuk Kementerian Keuangan terkait restrukturisasi dalam rangka pengurangan utang. Sebab, dalam hal ini juga ada peminjam dalam bentuk global sukuk bond yang dimiliki oleh pemegang sukuk dari middle east.
“Sehingga mau nggak mau kalau kita melakukan renegosiasi secara internasional harus melalui proses legal internasional. Tidak bisa hanya di Indonesia, karena justru mayoritas daripada utang Garuda adalah kepada lessor dan pemegang sukuk internasional,” paparnya.
Tiko menambahkan, saat ini pihaknya juga dalam proses penunjukan konsultan hukum dan keuangan untuk memulai proses ini sebab harus segera melakukan moratorium atau standstill dalam waktu dekat karena tanpa moratorium maka kasnya akan habis dalam waktu yang sangat pendek sekali.
“Ini yang harus kami pahami. Apabila Garuda bisa melakukan bisa restrukturisasi secara masal dengan seluruh lender, lessor dan pemegang sukuk dan melakukan cost reduction, harapannya cost itu menurun 50 persen atau lebih, maka Garuda bisa survive pasca-restukturisasi,” pungkasnya.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!