Bidadari Bunga Sepatu

oleh

[ad_1]

Satu kali ia datang ke dalam mimpiku, dengan paras cantik, seperti orang mati yang berubah menjadi bidadari, dan aku menyapanya, ”Hai.”

IA mengabaikan sapaanku dan pergi meninggalkanku, menyelinap di antara rumpun bunga sepatu di pekarangan. Ia dan bunga sepatu hilang pada saat aku membuka mata dan aku merindukan keduanya, ia dan bunga sepatu. Bertahun-tahun aku berharap mimpi itu muncul lagi, tetapi tak ada mimpi kedua tentangnya.

”Mungkin sekarang kita bisa meneleponnya, Nyonya Maria,” kataku.

Nyonya Maria melintas di depanku dari jalur berbatu-batu putih yang membelah warna hijau rumput-rumput pelataran, dan di pelataran itu batang-batang cemara tegak berjajar, dan Nyonya Maria berhenti sebentar.

”Ia yang akan menelepon. Ia bilang ia yang akan menelepon,” katanya.

Ia adalah Akina, wanita Jepang bersepatu merah tumit tinggi, sepatu yang berbunyi seperti tapak kuda setiap ia melangkah. Aku tak pernah melihat perempuan secantik itu datang ke rumahku.

”Kamu seperti bidadari!” kataku.

Aku sedang memetiki bunga sepatu di pelataran rumah, menyesap pangkal-pangkalnya, mendapatkan rasa manis pada tetes cairan di pangkal-pangkal bunga itu. Ia datang bersama ayah. Kuserahkan kepadanya bunga yang belum kusesap, bunga sepatu, semerah sepatunya yang berderap seperti kuda.

Ia tersenyum, ”Gushonu hana!” katanya.1

”Kau benar, Sani. Akina adalah bidadari!” kata ayah.

Saat itulah aku tahu namanya, dan aku senang mendengar persetujuan ayah, dua belas tahun silam, saat surga, bidadari, dan kematian hanyalah gambar di benak kanak-kanakku. Kupikir ayah mungkin telah melakukan hal yang Jaka Tarub pernah lakukan: ia mencuri selendang dan menghadiahi aku seorang ibu yang tak pernah kumiliki.

Akina adalah bidadari dengan sepatu yang berbunyi seperti derap kuda. Ia berbeda, sepatunya berbeda. Semua sepatu biasanya pendiam kecuali sepatu Akina. 2 Di kepalaku terdengar lagu ”Pada Hari Minggu” dan aku membayangkan suara sepatu kuda berderap dari kejauhan dan kuda meringkik ketika kereta menepi. Ayah sering tersenyum di sebelah Akina, seperti kuda meringkik dan menepi.

Akhirnya kami berkendara bersama, bukan pada hari Minggu dan bukan ke kota seperti dalam lagu, melainkan ke tempat jauh, terlalu jauh, tempat terjauh sepanjang hidupku. Aku tertidur karena setiap kali aku bersemangat mengajak Akina bicara ayah selalu menyela dengan meletakkan jari telunjuk pada bibirnya. Pengetahuan pertamaku tentang bidadari adalah fakta bahwa mereka tak bicara. Aku lelah memandang jalan yang kabur oleh hujan badai yang tak berakhir, dengan wiper mobil yang terus bergerak ke kiri dan ke kanan, seolah sedang menyihir mataku. Aku tertidur.

Saat aku bangun Tuhan sudah selesai menyapu bersih warna hitam pada langit dan aku bertanya pada ayah di mana kita dan ia menjawab, ”Di surga!”

Ayah pernah berkata, ketika aku bertanya tentang ibu, bahwa ibuku telah menjadi bidadari di surga. Ayah menceritakan surga seolah-olah surga adalah taman bermain bagi orang-orang yang sudah mati, dan ibu adalah bidadari yang menemukan surganya dan ia senang bermain di sana tanpa harus menceboki aku atau memberiku susu saat malam.

”Kita akan bertemu ibu?” tanyaku.

”Surga tak cuma satu,” katanya.

Kupikir hanya ada satu. Tapi aku paham bahwa taman bermain memang ada bermacam-macam. Dan sebuah tempat bernama surga pasti letaknya jauh, dari dulu aku meyakini itu, dan kami sudah pergi sangat jauh, dan itu bisa kujadikan alasan untuk memercayai kata-kata ayah bahwa kami tiba di surga. Aku memang selalu memercayai kata-kata ayah karena aku hanya hidup berdua dengannya dan ayahku tak pernah seperti ayah orang lain. Ia tak pernah merasa perlu berbohong, seperti ia tak merasa perlu menghiburku karena ia sendiri memerlukan hiburan untuk dirinya.

Kendaraan memasuki pekarangan dengan sebuah bangunan yang terlihat seperti kastil tua. Ayah dan Akina menggandengku masuk ke dalam bangunan yang dikelilingi oleh tembok pagar yang tinggi dan pohon-pohon besar yang menjulang. Kami melangkah di atas batuan putih yang berderik kala terinjak dan itu menambah kesan suram-muram pada tempat ini.

Seorang wanita paro baya dengan wajah kaku menyambut kami dengan menyebut namaku. Ia memaksakan suaranya terdengar ramah dan itu membuat ia terlihat tersengal oleh napasnya sendiri.

”Mari kutunjukkan tempat bermain!” katanya.

”Ikutlah dengannya, Sani!” kata ayah dengan jari telunjuk yang ia tekan pada belakang bahuku, mendorong aku maju.

Usiaku enam tahun lewat tujuh bulan saat itu, saat bidadari meninggalkan aku di tempat itu dan pergi membawa ayahku tanpa pernah kembali lagi.

”Nyonya Maria, bisakah kau menelepon ayahku?” tanyaku.

”Nanti, kau bisa menelepon ayahmu sendiri setelah cukup banyak belajar!” katanya sehari setelah ayah meninggalkan aku.

Sehari, seminggu, sebulan, aku tak pernah lagi mendengar derap kuda kaki-kaki Akina yang berwarna merah. Aku hanya menemui wajah kaku wanita tua, Nyonya Maria. Sepertinya Nyonya Maria bukan bidadari; ia tidak cukup cantik untuk menjadi bidadari.

Hari-hari kemudian adalah hari ia terus mengulangi kata-katanya di setiap jarum jam berputar kembali ke angka dua belas. Setiap kali aku bertanya, aku akan mendapatkan jawaban yang sama dan aku akan terus-menerus mencoba memercayainya. Kata-kata Nyonya Maria memang lebih baik dipercayai tanpa perlawanan, sebab tidak memercayai kata-katanya akan sama dengan menambahkan sesak napas setelah lelah menangis.

Setelah lima tahun kepergian ayah, aku kembali bertanya kepada Nyonya Maria.

”Nyonya Maria, bisakah kau menelepon ayahku sekarang?”

Kali ini Nyonya Maria tak menjawab. Ia tak lagi mengatakan kata-kata penuh harapan. Ia hanya diam. Aku berpikir tak mungkin akan mendapatkan jawaban lain dengan pertanyaan yang sama, maka aku perlu membuat pertanyaan lain.

”Nyonya Maria, bisakah kita menelepon bidadari?”

Nyonya Maria tetap diam. Ia masih melihatku dengan wajah kakunya.

”Sudah lima tahun, tetapi kau tak juga belajar sesuatu?” katanya.

Aku pikir aku telah cukup belajar tentang kematian setelah lima tahun dan, seperti bunga sepatu yang membawa kehidupan baik setelah kematian, aku rasa sekarang adalah waktunya. Namun, aku tak mengatakan apa-apa yang ada dalam pikiranku. Aku hanya memandang wajah Nyonya Maria dengan tatapan permohonan dan raut menyedihkan. Perempuan tua itu mungkin mudah tersentuh oleh wajah menyedihkan seorang anak, tetapi ia tetap tak peduli berapa ratus kali pun aku memohon.

”Ayahmu telah memilih surganya pada hari kau menginjak tempat ini, Nak!” kata Nyonya Maria.

Aku terdiam. Aku berharap Akina adalah bidadari yang sesungguhnya sejak semula aku melihatnya di balik perdu bunga sepatu pekarangan rumahku. Ia adalah bidadari dengan langkah seperti derap kuda, dan ia akan datang lagi menjemputku bersama ayah. Ia adalah bidadari yang akan membawa aku dan ayah bertemu ibu, agar ibu tak hanya bersenang-senang sendiri di surga. Aku memikirkan hal itu bertahun-tahun.

Namun, kata-kata Nyonya Maria hari itu meresahkanku. Ia mengatakan surganya. Akhiran ”nya” berarti sebuah kepemilikan, sama dengan rumahnya, ibunya, ayahnya. Ayah pergi ke surganya seperti ibu pergi ke surga miliknya sendiri.

Aku terkenang pada kehidupanku dahulu saat bersama ayah. Saat aku mengompol tengah malam dan ayah marah karena harus mengalasi kasur dengan alas plastik agar bisa melanjutkan tidur. Ia mengelap kasur sambil memaki ibu dan aku bertanya kepadanya, ”Kenapa ibu lebih suka di taman bermain surga daripada bermain bersama kita, Ayah?”

Aku takut oleh pikiran bahwa ayah juga akan memilih bersenang-senang di taman surga seperti ibu dan tak ingin mengajakku.

”Aku juga akan ke taman surga, Ayah!”

”Ya, nanti pergilah setelah kau berumur delapan belas tahun!”

Suaranya terdengar marah; ia juga memandangku dengan mata marah dan pergi malam itu walau aku menangis. Ia mengatakan akan pergi ke taman bermain mencari bidadari yang tidak pergi meninggalkan anak dan tidak pula menyewa pengacara yang memaksa dirinya membesarkan anak hingga berumur delapan belas. Ayahku tak pernah berbohong.

Di usia delapan belas, aku mendengar lagi derap kaki kuda. Nyonya Maria menemuiku dan menemukanku lagi dengan Akina. Ia mengatakan bahwa Akina adalah pengacara ibuku.

”Gushonu hana!” kata Akina. Ia memberiku banyak sekali kertas yang harus aku tanda tangani.

”Bisakah aku ke taman bermain?” tanyaku.

”Apa pun yang kamu mau!” Nyonya Maria menyahut dan ia tertawa dengan wajah kaku.

Diiringi suara sepatu merah Akina, kami keluar dari kastil dan berpacu jauh ke sebuah taman bermain di kota yang lain. Di sana aku hidup bersama ibu yang terasa seperti orang asing bagiku, dan aku masih merindukan ayah ada bersama kami meski suaranya kadang keras. (*)


Catatan:

1) Gushonu hana merupakan penyebutan kembang sepatu di bagian selatan Okinawa yang berarti bunga kehidupan sesudah mati.

2) Inspirasi berasal dari cerpen Sepasang Sepatu Tua Sapardi Djoko Damono.

A.S. LAKSANA, Penulis buku Bidadari yang Mengembara (2004), Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu (2013). Alumni Ilmu Komunikasi UGM.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.