[ad_1]
JawaPos.com – Sejak 2017, tidak ada penyesuaian tarif listrik nonsubsidi. Padahal, berbagai indikator pembentuk harga mengalami kenaikan. Hal itu menjadi alasan pemerintah mengajukan usul kenaikan tarif listrik nonsubsidi.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menyebutkan, pembentuk tarif listrik, antara lain, harga komoditas energi dan nilai tukar rupiah. Dua hal tersebut telah mengalami perubahaan harga. Dengan begitu, ada selisih harga jual listrik PT PLN (Persero).
“Dan untuk segmen itu, kompensasi setiap tahunnya dibayarkan APBN ke PLN,” tuturnya.
Rida memerinci, saat ini PLN memiliki 38 golongan pelanggan. Jumlah itu terdiri atas 25 golongan yang mendapatkan subsidi dan 13 golongan nonsubsidi. Golongan nonsubsidi itulah yang tidak diberlakukan penyesuaian tarif sejak 2017 dan berujung pada pemberian kompensasi kepada PLN.
Jika nanti penyesuaian tarif dilakukan, ada tambahan tagihan yang bakal dibayarkan pelanggan dengan kisaran beragam sesuai golongan masing-masing. “Kalau diubah, itu naiknya Rp 18 ribu per bulan untuk golongan 900 VA, 1.300 VA naiknya Rp 10.800. Kemudian, yang R2 (2.200 VA) itu mungkin naiknya Rp 31 ribu per bulan. R3 (3.300 VA) naiknya Rp 101 ribu per bulan,” tuturnya.
Kementerian ESDM mengalkulasi, kenaikan terbesar akan dialami kelompok pelanggan I-IV (industri). Meski demikian, pemerintah belum menetapkan kapan kebijakan tarif adjustment itu akan dilakukan.
Menurut Rida, kebijakan tersebut bakal berpengaruh pada penghematan APBN. Dia mencontohkan, saat ini total masyarakat yang menjadi pengguna listrik 450 VA yang masih disubsidi sebanyak 24,5 juta pelanggan. Namun, merujuk data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), hanya ada 9,3 juta yang berhak menikmati subsidi.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!