Cegah Pre-Eklampsia dengan Program Act Now Screen Now

oleh
oleh

[ad_1]

JawaPos.com–Pre-eklampsia merupakan kondisi berbahaya dalam kehamilan. Terjadi ketika tekanan darah meningkat. Banyak pihak memahami kondisi itu sebagai situasi keracunan kehamilan.

Eklampsia diambil dari bahasa Yunani yang diartikan lightning atau petir sebagai perumpamaan terjadinya kondisi kejang yang mendadak pada kehamilan. Pre-eklampsia merupakan kondisi sebelum terjadinya eklampsia.

Meskipun penyebab pasti belum dapat dijelaskan, pre-eklampsia sering dihubungkan dengan permasalahan plasenta. Pre-eklampsia terjadi pada separo akhir kehamilan (di atas 20 minggu) atau setelah plasenta terbentuk di dalam rahim hingga 6 minggu setelah melahirkan.

”Kami menganggap serius masalah ini. Kami berharap kita bersama-sama bisa lebih meningkatkan awareness dan segera bergerak (act now, screen now) untuk mencegah pre-eklampsia,” kata Ketua Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya Agus Sulistyono yang juga ketua Penurunan Angka Kematian Ibu Surabaya.

Meskipun tidak semua mengenali, pre-eklampsia terjadi pada lebih dari 10 juta perempuan di seluruh dunia dan berdampak pada lebih dari 2,5 juta persalinan pre-term (persalinan sebelum masanya).

Data dari International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy dan Preeclampsia Foundation mencatat, pre-eklampsia mengakibatkan kematian ibu hingga sekitar 76 ribu disertai kematian 500 ribu bayi setiap tahun. Artinya, sekitar 10 persen atau 1 dari 10 ibu hamil akan mengalami pre-eklampsia dan 20 persen dari yang terdampak pre-eklampsia akan berhubungan dengan persalinan pre-term.

Angka Kematian Ibu (AKI) bukan hanya sebagai indikator kesehatan melainkan indikator kesejahteraan suatu negara. AKI di Indonesia masih cukup tinggi atau sekitar 305 per 100 ribu kelahiran hidup. Jumlah itu menjadi terbanyak kedua di wilayah ASEAN (tertinggi Laos, AKI: 357; terendah Singapore, AKI: 7).

”Dengan memahami potensi bahaya yang dapat terjadi pada setiap kehamilan, kita bersama dapat meningkatkan kewaspadaan dan berjuang bersama untuk menurunkan angka kematian ibu di Indonesia,” kata Agus Sulistyono.

Keseriusan menghadapi pre-eklampsia sangat diperlukan, karena fakta menunjukkan kematian ibu sebanyak itu secara disproporsional 99 persen terjadi di negara dengan pendapatan per kapita yang rendah (low-middle income countries).

”Sekitar 14.640 ibu hamil meninggal setiap tahun dan ini terjadi secara konstan (jumlah yang sama dengan sepertiga total kematian terkait Covid-19 pada 2020). Jika kita telaah lebih dalam lagi ternyata mayoritas penyebab kematian ibu ini adalah pre-eklampsia (sekitar 33,07 persen),” tutur Manggala Pasca Wardhana dari Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya.

Hingga saat ini, belum ditemukan terapi ataupun obat untuk pre-eklampsia. Satu-satunya cara untuk menghentikan proses hipertensi dan kerusakan organ adalah dengan menyegerakan persalinan.

”Sehingga sumber toksin atau racun yang berasal dari plasenta tadi dikeluarkan, diselesaikan, dan dampak kerusakan organ ibu hamil dapat dihentikan,” jelas Nareswari Imanadha Cininta Marcianora dari Himpunan Kedokteran Fetomaternal Surabaya.

Meski belum dapat diterapi, Cininta mengatakan, pre-eklampsia dapat diprediksi melalui gejala memiliki riwayat tekanan darah tinggi sebelum hamil, memiliki riwayat pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya, memiliki penyakit tertentu (diabetes, gangguan ginjal, dan penyakit autoimun seperti lupus, antifosfolipid), obesitas (indeks masa tubuh kurang lebih 30 kg/m2).

Selain itu, memiliki riwayat keluarga menderita pre-eklampsia, hamil kembar dua atau lebih, hamil pertama kali, jarak kehamilan terakhir kurang lebih 5 tahun, dan hamil pada usia di atas 40 tahun.

”Apabila ibu hamil mengalami hal tersebut sebaiknya segera melakukan skrining risiko melalui tenaga kesehatan tempat pasien tersebut melakukan kontrol kehamilan (Act now, screen now),” tutur Cininta.

Dia menjelaskan, kebanyakan dari pasien yang mengalami pre-eklampsia tidak memberikan keluhan apapun. Oleh karena itu, ibu hamil wajib memeriksa tekanan darah secara rutin, agar mengetahui secara dini jika didapatkan hipertensi.

”Jika ibu hamil sudah merasakan keluhan seperti pusing, pandangan kabur atau nyeri ulu hati dan sesak, ini identik dengan pre-eklampsia berat, yang kemungkinan besar berdampak pada komplikasi, kecacatan, atau bahkan kematian bagi ibu dan janin,” terang Cininta.

Dia menambahkan, beberapa penelitian menunjukkan dampak jangka panjang pre-eklampsia pada ibu tersebut. Antara lain meningkatnya risiko stroke, hipertensi, diabetes melitus, kelainan ginjal, hingga kelainan jantung.

Menurut dia, tindakan kesehatan yang paling penting dan memiliki dampak signifikan adalah prevensi atau pencegahan. Peningkatan edukasi kesehatan di bidang kehamilan menjadi upaya pencegahan pre-eklampsia.

Beberapa contoh upaya pencegahan telah dibuktikan di Surabaya melalui program Penakib (Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi). Dengan menerapkan skrining pre-eklampsia secara masif di layanan kesehatan dapat menurunkan angka kematian ibu dari 60 kasus pada 2012 hingga hanya 25 kasus pada 2019. Total kematian karena pre-eklampsia juga dapat ditekan dari 18 kasus menjadi 10 kasus.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tentang Penulis: Redaksi

Pimprus
Website media INFOMURNI merupakan website resmi yang berbadan hukum, Berisikan berbagai informasi untuk publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.