[ad_1]
Dalam kunjungannya ke Madiun pada Kamis lalu (19/8), Presiden Jokowi memberi atensi khusus komoditas ini. Yakni, budidaya porang dan sarang burung walet. Dua anugerah yang luar biasa. Begitu melimpah ada di bumi Nusantara. Pundi devisa negara triliunan rupiah. Tapi, nasibnya kini?
SOAL budidaya sarang burung walet, Kabupaten Gresik termasuk satu di antara ‘’cuilan surga’’. Daerah dengan begitu banyak pelaku usaha burung dengan nama lain Collocalia fuciphaga itu. Dalam sejumlah penelitian, Gresik termasuk daerah pelopor di Indonesia. Bersama daerah lain di sepanjang pesisir Pulau Jawa seperti Babat, Rembang, Semarang, hingga Cirebon.
Bekas-bekas masa kejayaan itupun masih tampak sampai sekarang. Terutama di kawasan Sidayu. Saat melintas di jalur pantura atau Jalan Deandels, melemparlah pandang ke kiri-kanan. Begitu banyak bangunan besar dan berusia tua. Ada yang bertuliskan tahun 1926, Di gedung-gedung itulah burung walet banyak bersarang. Berkembang biak. Burung-burung itu pergi pagi, pulang jelang Magrib.
Cerita sukses para pelaku usaha sarang burung walet, dulu begitu populer di kalangan masyarakat Gresik dan sekitarnya. Mulai ribuan orang bisa berhaji ke Tanah Suci, membeli puluhan hektare sawah dan tambak, membangun rumah megah, hingga pengembangan ke bisnis lainnya. Semua dari berkah sarang burung walet.
‘’Bahkan, Profesor Fuad Amsyari itu juga sukses menguliahkan anak-anaknya menjadi dokter di Unair itu juga termasuk barakahnya burung walet,’’ kata Wahyudin Husein, pelaku usaha sarang burung walet asal Gresik, Jumat (20/8).
Prof Fuad Amsyari yang dimaksud tidak lain salah seorang guru besar Unair Surabaya. Orang dekat Prof Yusril Ihza Mahendra saat di Partai Bulan Bintang (PBB). Prof Fuad Amsyari memang asli kelahiran Sidayu. Dia meraih gelar Master of Public Health dari Royal Tropical Institute, Amsterdam. Lalu, melanjutkan studi S-3 di New York University dan memperoleh gelar PhD pada 1979. Di era kejayaan sarang burung walet dulu, keluarganya memang dikenal sebagai salah satu pelaku yang sukses.
Pun demikian dengan keluarga Wahyudin Husein. Usaha sarang burung walet yang masih ditekuni saat ini warisan dari generasi ke empat. Mulai dari Haji Moh. Thohir Suratama, menurun ke sang kakek Haji Sofyan Thohir, lalu ke ayahnya Haji Husein, dan kini berpindah ke Wahyudin. ‘’Mbah Buyut saya, Haji Thohir Husein itu sudah menggeluti walet sejak 1865,’’ ujarnya.
Wahyudin masih ingat betul masa keemasan sarang burung walet. Terkhusus di kampung Sidayu maupun Gresik. Yakni, pada kurun 1980 sampai 1990-an. Harga 1 kilogram sarang burung walet, setara dengan harga 100 kilogram beras. Usaha yang menjanjikan. Sungguh penuh cuan. Uang dan keberuntungan. Ada sebuah anekdot, burung walet itu tidak ubahnya seperti ‘’anak sholeh’’ bagi sang pemilik usaha. Kalau anak sholeh pahala yang mengalir tanpa putus bagi orang tuanya, burung walet air liurnya yang terus mengalir ke pemilik usahanya.
Tidak heran, di masa itu banyak warga Sidayu berlomba-lomba membangun rumah walet. Di kawasan Sidayu saja, ada sekitar 500 pelaku usaha walet. Kalau se-Kabupaten Gresik, jumlahnya lebih banya lagi. Ribuan. Kini? ‘’Paling tinggal 100-150 orang saja. Yang lainnya, sudah ampun tuan, Artinya, sudah tidak nyucuk hitungannya,’’ gurau Wahyudin.
Dulu, dalam satu rumah walet bisa menghasilkan sebanyak 20 kg pada kurun 40-50 hari. Nah, saat ini panen 3-5 kg saja sudah bagus. Tak ayal, ratusan rumah yang dulu menghasilkan cuan itu, banyak yang tidak lagi terurus serius. Bahkan, tidak sedikit yang dialihfungsikan. Sebab, burung walet tidak lagi mau menjamah. Alih-alih yang datang malah burung hantu atau kelelawar.
Menurut Wahyudin, banyak faktor kenapa burung walet berpindah. Salah satu di antaranya perubahan ekosistem dan daya dukung lingkungan. Walet butuh kenyamanan dan ketenangan. Maklum, habitat awalnya dari gua-gua gelap. ‘’Sekarang banyak pindah ke Kalimantan, Sulawesi, dan provinsi lain di luar Jawa. Jadi, di luar Jawa, banyak warga di sana yang membangun rumah-rumah walet, seperti di era keemasan di Sidayu tempo dulu,’’ ucapnya.
Wahyudin setuju dengan pernyataan Presiden Jokowi. Sebetulnya, budidaya walet masih sangat prospektif. Sebab, Indonesia terbilang satu-satunya negara di dunia yang mendapat anugerah dari Tuhan yang luar biasa. Di antaranya berupa tempat hidup burung walet itu. Kalaupun ada negara lain seperti Malaysia, jumlahnya sangat jauh dibandingkan Indonesia.
Potensi pasarnya sangat besar. Mayoritas ke Tiongkok. Jumlahnya sampai 80 persen. Bagi warga Tionghoa, mengkonsumsi sarang burung walet itu menjadi simbol kemewahan, kekuasaan, dan kewibawaan. ‘’Bagi orang Cina mengkonsumsi sarang walet itu sudah turun-temurun. Dari zaman leluhurnya. Mungkin kalau di kita seperti mengkonsumi madu itu,’’ tuturnya.
Berdasar data valid, Indonesia bisa menghasilkan sarang burung walet 1.500-2.000 ton per tahun. Kalau harga kualitas super 1 kg sarang walet antara Rp 15 juta sampai Rp 20 juta, maka potensi devisanya mencapai Rp 400 triliun per tahun. Menteri Perdagangan M. Lutfi pernah menyebut potensi devisa itu sampai Rp 500 triliun.
‘’Namun, problem dan tantangannya sekarang ini, tidak mudah untuk dapat langsung ekspor ke Cina. Aturannya panjang dan birokratis,’’ kata pria yang juga ketua umum Asoasiasi Peternak Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPSWI) itu.
Menghadapi problem dan tantangan itu, pihaknya sudah pernah berkirim surat ke Presiden Jokowi pada Desember 2019. Beberapa poin yang disampaikan adalah adanya ketimpangan antara jumlah produksi dan realisasi ekspor. Artinya, jumlah produksi sarang walet jauh lebih besar dengan realisasi ekspor yang tercatat. ‘’Misalkan produksi sampai 1.500 ton per tahun, namun realisasi hanya 250 ton. Nah, yang lainnya ke mana?’’ ungkapnya.
Dari hasil pengamatannya, hal itu terjadi karena landasan pelaksanaan ekspor ke Tiongkok masih memakai MoU protokol yang dibuat pada 2012 antara Indonesia dan Tiongkok, yakni era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Beberapa kendala antara lain birokrasi, prosedur, dan pesyaratan ekspor seperti tertuang di MoU itu sangat banyak dan merepotkan. Mulai dari penerbitan sertifikat kesehatan, akreditasi terhadap eksportir, dan agen produk sarang burung walet.
Selain itu, masih ada pencatatan akreditasi oleh pihak Tiongkok, pendaftaran peternak, surat keterangan asal (ketelusuran), pemeriksaan dan karantina oleh Tiongkok, hingga sistem lisensi. Karena birokrasi panjang tersebut, maka hanya eksportir besar saja yang mampu memenuhi. Sementara itu, pelaku UMKM pasti kalah atau tidak mampu bersaing.
Karena itu, sambung Wahyudin, pihaknya meminta agar pemerintah melalui menteri terkait melakukan berbagai upaya untuk menaikkan posisi tawar dalam perdagangan dengan Tiongkok. Selain itu, juga merevisi MoU protokol yang lebih berpihak kepada pengusaha UMKM. ‘’Selama kebijakan itu tidak dilakukan, maka tetap saja sama nasibnya. Potensi besar, tapi tidak sebanding dengan manfaat yang didapat,’’ paparnya.
Wahyudin menambahkan, usaha sarang burut walet itu tidak hanya ‘’cuilan surga’’ bagi para pelaku usaha. Namun, juga rakyat karena termasuk padat karya. Dari jumlah pelaku usaha walet di seluruh Indonesia, setidaknya ada sebanyak 12 juta pekerja yang terlibat. Sebagian besar adalah kaum ibu. Mereka antara lain bekerja mencabuti bulu-bulu buuang dari sarangnya, yang memang membutuhkan ketaletanan.
‘’Jadi instruksi Pak Presiden itu bukan hanya menolong negara di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang melalui income dari devisa, namun juga memberdayakan dan menyelamatkan jutaan pekerja. Karena itu, pemerintah dari semua tingkatan memang harus benar-benar hadir secara serius,’’ pungkasnya.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!