Danse Massacre dan Kematian Berbaris

oleh

[ad_1]

Covid-19 memasuki tahapan baru: vaksinasi global. Warga dunia bersiap menerima ”perisai” untuk mempertahankan diri dari kematian.

SELAIN perang, tak pernah terbayangkan bagaimana kematian massal terorkestrasi kembali di alaf baru dengan segala inovasi mutakhir industri kedokteran.

Di tengah tarian kematian yang sungguh menakutkan ini, saya mengingat kembali bacaan remaja saya yang nyaris klasik. Sebuah buku terjemahan karya Ivan Illich yang berjudul Batas-Batas Kesehatan: Perampasan Hak untuk Sehat (YOI, 1995).

Buku itu memang tidak spesifik membahas sejarah virus, melainkan komodifikasi kematian. Lihat, filsuf radikal asal Amerika yang juga menulis buku provokatif lainnya ini, Matinya Sekolah, memaralelkan isu sehat dan mati. Terutama sekali komodifikasi kematian.

Suara Illich itu makin relevan dan dekat, selain saya bersahabat dekat dengan direktur utama Rumah Sakit JIH (Jogja International Hospital) yang kemudian makin membuat saya mengerti bagaimana kematian berbaris dalam jadwal yang tetap, juga tatkala isu yang berkembang menjelang vaksinasi nasional apa yang disebut ”vaksinasi mandiri” dan ”vaksinasi gratis”.

Komodifikasi ini bukan datang dengan sendirinya, melainkan terbentuk dalam sejarah yang panjang. Terutama saat buku Danse Massacre karya Hans Holbein terbit. Tarian kematian atau danse massacre mula-mula berada dalam kuasa para ahli agama hingga di aula Universitas Renaissance pada abad ke-15 bedah mayat kali pertama dilakukan. Setelah itu, universitas-universitas di Eropa Barat dalam dua abad kemudian secara konsisten berlomba dalam revolusi medis ini. Sebelumnya, kematian begitu misterius dan menakutkan, pengetahuan kedokteran modern mencoba menerabasnya.

Boleh dibilang, revolusi besar yang diabadikan perupa Rembrandt dalam lukisan berjudul Dr. Tulp Lesson pada 1632 ini membuang jauh kuasa Dewi Parsae dalam mitologi Romawi Kuno yang kerap menghuni cerita dan danse massacre dalam dogma gereja. Termasuk memalang segala usaha yang membawa manusia ke arah kematian gelap, seperti ”suara setan” yang bersemayam dalam komposisi lagu Gloomy Sunday yang dibawakan Billie Holiday. Lagu sedih dengan komposisi unik ini dicipta oleh pianis dan komposer Hungaria Rezso Serres tahun 1932 dan liriknya ditulis oleh penyair Laszlo Javor.

Sejak saat itulah, ritus kedokteran modern memapankan diri sebagai rujukan pertama dan utama dalam hal ”memperpanjang hidup”.

Serupa komposisi musik barok yang diorganisasi secara aristokratis, kesehatan pun menjadi sebuah privilese. Seiring dengan kebangkitan keluarga borjuasi, ”persamaan kedudukan dalam kematian” pun berakhir. Yang sanggup membayar lebih mahal bisa mengusir kematian datang lebih dini. Atau, mereka bisa menyetir kematian datang saat tenaga melemah secara alami, dan bukan saat tenaga masih produktif.

Pernyataan Illich tentang komodifikasi ini mudah sekali kita temukan praktiknya. Misal, BPJS dengan kelas-kelasnya. Rumah sakit dengan kelas-kelasnya. Selain itu, adagium garis depan ”melawan kematian” absolut di tangan dokter melahirkan sirene ambulans yang meraung di jalan raya. Bahwa ”kematian medis” di rumah sakit menjadi sesuatu yang jamak. Dan, seharusnya begitu. Kematian alami di rumah kerap dicibir sebagai ”kematian orang papa”, sementara kematian di rumah sakit adalah pertanda bahwa negara turut campur memberi perisai pada kematian. Home pun memudar dan digantikan hospital.

Saya pun bisa mengerti dan paham kala pada medio 2006 sastrawan Pramoedya Ananta Toer bersikukuh ”tidak mau mati di rumah sakit”, melainkan memilih berangkat ke akhirat dari rumah saja. Bahkan, dalam soal kematian, pujangga terbesar Indonesia itu melawan tubuhnya diikat oleh slang-slang industri kedokteran.

Manusia semacam Pram itu makin sedikit seiring dengan lenyapnya pengetahuan manusia mengenali dan mengobati dirinya sendiri secara mandiri. Gagap dalam pengetahuan obat, tambah terasing memahami anatomi tubuh sendiri.

Kini puncak-puncak kedigdayaan revolusi medis rontok dan mengalami kebingungan yang hebat di hadapan sebuah virus. Pengetahuan medis pun seperti dipaksa putar balik seperti situasi di dekade kedua abad ke-20 tatkala pandemi influenza (flu Spanyol) membekuk penduduk bumi.

Di tengah kebingungan seperti itu, kita merasakan Dewi Parsae yang mengatur takdir seperti dibangkitkan lagi.

Lihatlah, perintah yang nyaris 24 jam diserukan pemerintah dan dokter di seluruh dunia menghadapi danse massacre menjauh dari praktik medis yang khas di rumah sakit, seperti melakukan operasi, konsumsi obat produk industri farmasi, dan jarum suntik. Perintah untuk melawan Covid-19 hal-hal yang sebetulnya praktik sosial yang sudah rontok oleh ketiadaan literasi dasar hidup sehat: cuci tangan, jaga jarak, memakai masker, tinggal di rumah saja, atau isolasi mandiri. Semuanya dianjurkan sedapat-dapatnya menjauh dari rumah sakit yang menuju titik lumpuhnya.

Dalam rantai komodifikasi kesehatan yang parah ini, praktik-praktik gaya hidup ala vegan, mengonsumsi olahan organik, minum jamu, semedi, yoga, jalan kaki, bersepeda, berjemur menjadi gaya hidup aneh dalam belantara kota. Adakah yang berubah dalam pola hidup kita memahami kematian setelah jutaan penduduk bumi menjadi tumbal?

Sampai di sini, saya pun membayangkan, jika Covid-19 adalah sebuah opera bumi, naskah Hans Holbein berjudul Danse Massacre dengan anthem Riquiem in DK. 626 ciptaan Wolfgang Amadeus Mozart adalah kekuatan gaib dari abad yang jauh dalam misa arwah penduduk planet terkini. Suara Mozart yang mati muda pada Desember itu mengiang lagi tatkala kematian makin dekat bagi setiap insan yang pasrah. Wallahu a’lam bis-sawab. (*)

Baca juga: Belajar Menjadi Promotor Muda di Mocosik 2017, Keren!

ANAS SYAHRUL ALIMI

Ketua Jaringan dan Pengembangan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) dan CEO Prambanan Jazz Festival

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.