[ad_1]
JawaPos.com – Hari ini mulai berlaku regulasi yang dikhawatirkan berpotensi memicu sejumlah masalah. Meski, Kementerian Komunikasi dan Informasi berdalih bahwa aturan tersebut mengatur situs-situs nonpers agar tidak sembarangan.
Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri (PM) Komunikasi dan Informasi Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Informasi Elektronik (PSE) Lingkup Privat.
Mengutip web resmi mereka, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menengarai beberapa pasal dalam PM 5/2020 tersebut berpotensi melanggar HAM dan kebebasan berekspresi. Terutama pasal 12 deklarasi universal hak asasi manusia dan pasal 17 kovenan internasional tentang hak sipil dan politik.
Jawa Pos berusaha mengontak Direktur Eksekutif Damar Juniarto, tapi belum berbalas sampai berita ini diturunkan. Kembali mengutip web resmi mereka, dalam PM tersebut, data pribadi dalam PSE privat begitu mudah diakses oleh kepentingan otoritas (pemerintah). Hal itu setidaknya ditegaskan dalam pasal 21 dan 36 yang mewajibkan PSE membuka akses data pada lembaga pemerintah dan penegakan hukum.
SAFEnet juga menyebut pemerintah banyak mengandalkan mekanisme pemutusan akses dengan ditemukannya 65 kata kunci semakna pemutusan akses, baik berupa blocking maupun take down.
Kemudian, ada larangan pada PSE untuk memuat informasi yang dilarang undang-undang, meresahkan masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum. Menurut SAFEnet, kata ’’dilarang” memiliki jangkauan yang bisa teramat luas dan penafsirannya membuka ruang perdebatan sendiri. Terutama bila terjadi konflik kepentingan bagi lembaga negara atau aparat penegak hukum.
Meski demikian, Staf Ali Menteri Komunikasi dan Informasi Henry Subiakto menganggap kekhawatiran-kekhawatiran di atas berlebihan. Pembukaan akses pada aparat hukum adalah sebuah keniscayaan dalam rangka penyelidikan dan penegakan hukum. ’’Nyadap saja boleh. Diatur dalam UU. Makanya, harus terbuka kepada aparat saat ada masalah hukum,” katanya kepada Jawa Pos.
Henry mengatakan, secara umum, PM 5/2020 adalah aturan turunan UU ITE yang bertujuan mengatur situs-situs media nonpers agar tidak sembarangan. Termasuk mencegah ruang sosial media dipenuhi penyebar-penyebar informasi tidak kredibel seperti akun-akun anonim, media abal-abal, dan para pendengung (buzzer).
Sasarannya termasuk perusahaan global seperti Google, WhatsApp, dan YouTube. ’’Kalau mau lebih bebas, harus jadi perusahaan pers. Tunduknya ke UU Nomor 40 Tahun 1999, bukan UU ITE,” katanya.
Kajian UU ITE
Sementara itu, berdasar hasil kerja Tim Kajian UU ITE, ada empat pasal yang menjadi fokus. Baik untuk revisi secara minor maupun yang akan tercantum dalam surat keputusan bersama (SKB) terkait pedoman teknis dan kriteria implementasi UU ITE. ’’Kalau subtim I menyusun pedoman implementasi untuk pasal 27, 28, 29, dan 36, subtim II ternyata paralel. Pasal 27, 28, 29, dan 36 itu diusulkan untuk direvisi,’’ jelas Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo.
Sejak dibentuk, Tim Kajian UU ITE memang dibagi menjadi dua. Meski melakukan kajian secara terpisah, fokus dua tim tersebut sama.
Pasal-pasal yang selama ini kerap menjadi masalah yang lebih banyak dibedah. Tidak heran, hasil kerja dua tim itu pun berkutat di empat pasal tersebut. Khusus pedoman teknis serta kriteria implementasi, Sugeng menyebutkan, pemerintah tengah menyiapkan SKB.
Seperti disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD, SKB tersebut akan ditandatangani menteri komunikasi dan informatika, Kapolri, dan jaksa agung. Pembuatan SKB itu tidak lain bertujuan mengatur supaya ke depan tidak ada lagi salah tafsir atas empat pasal tersebut. Dia memastikan, draf SKB sudah rampung dan telah dijadikan bahan diskusi oleh tiga kementerian maupun lembaga tersebut.
Walau tidak membeberkan draf SKB tersebut, dia memberikan contoh. ’’Misalnya begini, seseorang menuduh bahwa si A telah melakukan korupsi dana yang dikelolanya,’’ tutur Sugeng.
Baca Juga: Sepuluh Tahun Menikah, Istri Akui Dua Anaknya dari Pria Lain
Dalam kasus seperti itu, sering kali penuduh dilaporkan balik oleh pihak yang dituduh. Kemudian, aparat penegakan hukum merespons dengan memproses hukum penuduh lebih dulu. Dalam SKB yang sudah dibuat, hal itu tidak boleh dilakukan apabila tuduhan belum terbukti keliru.
Berkaitan dengan revisi, Sugeng menegaskan, revisi yang dilakukan tidak banyak. Hanya pada empat pasal yang sudah dia jelaskan. Pasal 27, 28, 29, dan 36 akan direformulasi supaya lebih jelas. Selain itu, pemerintah menambahkan satu pasal baru. Yakni, pasal 45 C.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!