Garangan Tak Bermural

oleh

[ad_1]

Apa betul nyetir mobil matik lebih dari tujuh hari membikin lelaki semaco Gatutkaca pun akan berubah menjadi perempuan? Unek-unek itu dimuralkan. Corak-cariknya memeriahi tembok raksasa tengah kota. Itulah tembok paling angkuh yang konon bata-batanya tak direkatkan semen Merah Putih, tapi air mata netizen.

SASTRO, seniman mural itu, diburu polisi.

”Pernikahanmu gagal, ya?” tanya brigadir polisi itu.

Sastro terbata-bata mengatur ketegangannya, ”Hmmm… Mungkin sukses… mungkin gagal. Entahlah… Saya dipanggil ke sini… karena gagal menjadi suami?”

”Hmmm… Begini, Pak Sastro, dari penampilan garangan yang Sampean pelihara… Matanya… Baunya… Kami berkesimpulan, Pak Sastro ini suami gagal.”

Bajaj-bajaj berseliweran di depan markas aparat Bhayangkara itu. Asapnya sampai ke ruang pemeriksaan Sastro, campur berisik teriakan-teriakan kernet-kernet dan makelar angkutan kota menawarkan jasa. Sastro menyeka keringat di keningnya. Sang brigadir polisi mengetuk-ngetukkan buku jari tengahnya di meja.

”Memang, Drakor ngomongnya piye, Pak?”

”Drakor?”

”Nama garangan saya, Pak…”

”Oooo… Rahasia… Begini. Dulu ada petuah bagi lelaki. Menikahlah. Sebab, jika sukses, kau akan bahagia. Jika gagal, setidaknya kau akan jadi filsuf! Tapi bukan jadi muralis seperti Sampean!” tak jelas yang dimaksud brigadir ini muralis apa moralis.

Tapi, apa betul dia polisi? Jangan-jangan dia satpam. Sekarang kan orang sering dikagetkan oleh penampakan polisi, padahal satpam, atau penampakan satpam, padahal polisi.

Sastro memburu siapa yang punya ide brilian mendandani satpam ala penampakan polisi ini dan apa sesungguhnya agenda politik di baliknya? Apakah agar Korps Bhayangkara tampak lebih men-di mana-mana dibanding tentara?

Sastro terbangun gegara jempolnya dikelamuti Drakor. Di jidatnya, keringat membulir-bulir jagung.

***

Di antara pro-kontra vaksinasi Covid-19, Sastro termasuk laki-laki yang tak begitu setuju istrinya divaksin. Bukan lantaran kesal pada Jendro, istrinya.

Sebagai pelukis mural, Sastro ingin muralnya betul-betul nyeni. Sentilannya tentang korupsi dan lain-lain no kaleng-kaleng. Dibalutnya segala protes itu dengan gambar-gambar budaya yang memang berciri Nusantara.

Tak sekadar tulisan ”Tuhan, Kami Lapar…” Dalam mural Sastro, keluh kesah itu diucapkan oleh Raden Gatutkaca. Gambarnya indah banget. Persis Gatutkaca dalam Wayang Orang Ngesti Pandowo maupun Sriwedari waktu keduanya masih hidup. Kalimat ”Dipaksa Sehat, di Negara yang Sakit” ditulisnya di atas gambar bubur merah putih.

Buburnya dilukis sangat hidup. Lengkap dengan bintil-bintil udaranya menjelang meletus. Mencitrakan bubur tolak bala itu benar-benar masih kemepul. Ibu-ibu gembira. Banyak anak kecil yang minta dibuatkan bubur merah putih setelah memandang mural Sastro. Tunas-tunas bangsa ini jadi tahu rasanya bubur merah putih, tahu juga manfaatnya. Kegunaan fisiknya maupun spiritualnya.

Untuk itu Sastro perlu beli kuas bagus. Eh, kuas belum dipakai, sudah dipinjam Jendro untuk menguas bumbu saus tiram jagung bakar. Sudah itu, kuas baru dibersihkan Sastro, eh, masih dipinjamnya lagi oleh istrinya untuk membikin mural Bagong di kulit durian Petruk. Kulit durian, Cuk! Ya, amburadullah rambut-rambut kuas semahal itu.

Sastro ingin membalasnya. Ia ingin gantian pinjam lipstik dan batu alis istrinya untuk melukis mural di tembok raksasa. Batal. Tak berani. Sebab, Sastro sudah lebih dari tujuh hari nyetir mobil matik.

Bukan karena semua itu Sastro setuju istrinya dan kaum ibu lainnya tak divaksin. Dia ingin agar kaum ibu tak usah blakraan pergi-pegi ke mal lagi. Sastro beli kuas baru lagi untuk melukisnya sebagai mural. Sayang keburu terbangun. Pipinya dikelamuti Drakor.

***

Suatu malam Jumat Kliwon. Untuk kali pertama Sastro pergi ke panti pijat plus-plus. Sastro tengkurap. Perempuan memijat-mijat kepalanya. Pertanyaan perempuan itu seperti dalam meme yang lagi viral.

”Maaaas, dulu, sebelum nikah, kalau sakit kepala gini yang mijat siapa, Maaaas?”

”Hmmm…Sayaaaangku… Dulu, sebelum menikah, aku nggak pernah sakit kepala?”

Heuheuheu… Bedanya dengan meme yang ramai beredar, Sastro kemudian menengok ke belakang-atas. Jebul itu bini sendiri, Jendro. Mantan perempuan langsing ini sedang menyamar sebagai pramupijat. Drakor, garangan piaraannya, memberi sinyal-sinyal ke Jendro bahwa suaminya malam itu mutualan di suatu panti remang-remang.

Sastro marah. Kenapa kali ini, menjelang ditampar istrinya, si Drakor tak membangunkannya dari tidurnya? Apakah garangan piaraannya itu ngambek lantaran selama ini tak pernah dibikin ngetop oleh Sastro dengan menggambarnya di dalam mural-muralnya? Sastro bukannya melupakan jasa garangannya. Cuma, menurutnya, susah nggambar garangan dalam situasi politik saat ini. Anak-anak sudah tak tahu lagi beda garangan dengan musang, luak, bahkan dengan garang asem.

Kalau ”Tuhan, Kami Lapar” di muralnya dirupakan garangan yang ngomong itu, nanti anak-anak mumet. Masak garang asem bisa kelaparan? Itu kan sumber makanan? Ayam mati di lumbung padi?

”Aku tak membangunkan kamu bukan gegara ngambek, Cuuuk!” teriak Drakor. ”Tapi kepergokmu dengan istrimu di panti pijat itu memang bukan mimpi! Itu nyata! Dasar lelaki nonmatik. Muralis tak bermural!” (*)

SUJIWO TEJO

Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.