Heboh Aisha Weddings, WVI: Negara Harus Tindak Tegas

oleh
oleh

[ad_1]

Jakarta, IDN Times – Wahana Visi Indonesia menegaskan, pernikahan usia dini atau usia anak merupakan pelanggaran terhadap hak anak untuk memiliki kehidupan dan masa depan yang lebih baik.

Pernikahan anak menjadi sorotan setelah kemunculan Aisha Weddings, yakni wedding organizer yang mengajak perempuan untuk menikah di usia 12 sampai 21 tahun. Di dalam flyer dan website yang kini sudah dihapus, juga termuat ajakan untuk mengirimkan informasi berupa foto dan data pribadi. Hal ini rentan disalahgunakan dan berpotensi melanggar privasi anak.

Child Protection Team Leader Wahana Visi Indonesia Emmy Lucy Smith mengungkapkan, saat ini kampanye yang harus dilakukan adalah stop pernikahan anak, alih-alih mendorong terjadinya pernikahan anak.

“Negara tegas dalam menindak pihak-pihak yang kontraproduktif terhadap hal tersebut,” ujarnya dalam siaran tertulis, Kamis (11/2/2012).

1. Pernikahan usia anak berpotensi menimbulkan masalah lebih besar

Heboh Aisha Weddings, WVI: Negara Harus Tindak Tegas

Emmy mengakui ada banyak persoalan kemiskinan di masa pandemik COVID-19, sehingga orang tua menganggap anak sebagai beban dan menikahkan anak menjadi solusi. Padahal, pernikahan usia anak justru berpotensi menimbulkan masalah lebih besar, terutama bagi anak perempuan.

“Terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah pernikahan anak, terutama anak perempuan. Pendidikanya terhambat, sehingga sulit untuk meraih cita-citanya di masa depan. Ada juga risiko kesehatan, ketika anak perempuan hamil, risiko meninggal lebih tinggi. Kemudian, anak belum matang secara psikologis, fisik dan mental. Belum mengerti bagaimana mengelola rumah tangga dengan berbagai persoalan. Risiko lain adalah kekerasan dalam rumah tangga, hingga perceraian. Kualitas hidup menurun,” ujar Emmy.

2. Jumlah permohonan dispensasi nikah meningkat saat pandemik

Heboh Aisha Weddings, WVI: Negara Harus Tindak Tegas

Berdasarkan laporan Pencegahan Perkawinan Anak Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, disebutkan prevalensi pernikahan anak perempuan di Indonesia cenderung menurun dari 2008 hingga 2018 yaitu dari 14,67 persen menjadi 11,21 persen.

Namun, di masa pandemik COVID-19 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat ada 34.000 permohonan dispensasi nikah sepanjang Januari sampai Juni 2020.

“Dari jumlah tersebut, 97 persen dikabulkan dan 60 persen yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun. Jumlah permohonan ini jauh meningkat dibandingkan 2019 sebanyak 23.700,” ungkapnya.

3. Promosi pernikahan anak oleh Aisha Weddings perbuatan melanggar hukum

Heboh Aisha Weddings, WVI: Negara Harus Tindak Tegas

Ketua Presidium Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA), Widuri, menambahkan bahwa promosi pernikahan anak yang dilakukan aishaweddings.com merupakan perbuatan melanggar hukum, karena membuka celah terhadap eksploitasi anak, melanggar privasi anak, dan dapat mempengaruhi anak muda untuk menikah siri dan menikah di usia anak.

Selain itu, juga memiliki potensi terjadinya eksploitasi seksual anak dan tindak pidana perdagangan orang.

Dalam Pasal 761 UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dinyatakan, “setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak. Eksploitasi tersebut adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari anak untuk mendapatkan keuntungan.”

4. Perkawinan anak di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah

Heboh Aisha Weddings, WVI: Negara Harus Tindak Tegas

Perkawinan anak di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Tahun 2019 lalu pemerintah melakukan revisi atas Undang-undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang akhirnya mengatur mengenai usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun.

Namun, hal ini perlu diikuti dengan langkah-langkah konkret pemerintah dalam meningkatkan pemahaman masyarakat Indonesia terhadap perkawinan anak. Oleh karena itu, pemerintah harus bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan kampanye pernikahan anak.

WVI mengapresiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang dengan cepat merespons dan berkoordinasi dengan Polri untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Di sisi lain, edukasi terhadap orang tua harus digencarkan agar tidak mudah memutuskan menikahkan anaknya.

WVI melalui program perlindungan anak dan advokasi telah dan terus mengampanyekan penghentian pernikahan anak di seluruh daerah layanan WVI, dan secara khusus di 6 area program dampingan WVI. Kegiatan seperti workshop kerap dijalankan sebagai upaya pencegahan perkawainan anak.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs idntimes.com, klik link disini!

Tentang Penulis: Redaksi

Pimprus
Website media INFOMURNI merupakan website resmi yang berbadan hukum, Berisikan berbagai informasi untuk publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.