Hina Presiden Diancam Penjara 3.5 tahun, Yasonna Anggap Itu Lumrah

oleh

[ad_1]

JawaPos.com – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiriaej menjelaskan, kenapa pasal penghinaan terhadap presiden hanya diancam penjara 3.5 tahun.

Hal itu menurut Eddy, agar kepolisian tidak bisa langsung melakukan penahanan langsung terhadap si penghina kepala negara. Adapun, polisi bisa melakukan penahanan jika ancaman pidana di atas 5 tahu. Sehingga dalam draf RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya dibuat 3 tahun 6 bulan ancaman penjara.

“Oh tidak lima tahun. Jadi dibuat 3.5 tahun agar tidak alasan bagi kepolisian untuk melakukan penahanan. Karena penahanan itu kan untuk tindak pidanan di atas 5 tahun,” ujar Eddy di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (9/6).

Selain itu Eddy mengatakan, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden adalah delik aduan. Sehingga polisi bisa bekerja melakukan tindakan atas adanya aduan dari kepala negara.

“Jadi betul (itu delik aduan-Red), harus presiden (presiden yang mengadu ke polisi-Red),” katanya.

Eddy melanjutkan, dalam draf RUU KUHP tersebut juga menyatakan bahwa bentuk kritikan yang dilakukan di masyarakat kepada kepala negara tidak ada ancaman pidanya.

“Ada penjelasan yang menyatakan tegas bahwa berkaitan dengan kritik terhadap pemerintah tidak ada dijatuhi pidana atau dikenakan pasal,” ungkapnya.

Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly memandang perlu adanya pasal terhadap orang-orang yang melakukan penghinaan kepada presiden dan wakil presiden.

Hal ini dikatakan, Yasonna mengenai adanya pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mereka yang melakukan pindana terhadap kepala negara diancam kurungan penjara.

“Saya kira menjadi sangat liberal kalu kita biarkan (penghinaan terhadap presiden-Red),” ujar Yasonna dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (9/6).

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini memberi contoh di negara-negara lain ada pasal yang melindungi kepala negara. Sehingga wajar pasal tersebut ada di dalam KUHP.

“Di Thailand lebih parah, jangan coba-coba menghinda raja itu urusannya berat. Bahkan di Jepang dan beberapa negara lain. Jadi itu hal yang lumrah,” katanya.

Menurut Yasonna, di dalam demokrasi yang dijunjung Indonesia ini perlu juga ada batasan-batasannya. Sehingga pasal untuk menjaga martabat kepala negara sangat dibutuhkan.

“Enggak bisa kebebasan itu sebebas-bebasnya, bukan sebuah kebebasan itu namanya anarki. Saya kira harus ada batas-batasnya yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab,” ungkapnya.

Yasonna menuturkan pemerintah tidak melarang masyarakat untuk melaukan kritik terhadap presiden dan wakil presiden asalkan tetap para koridornya.

Baca Juga: Firli Bahuri dan BKN Diminta Kooperatif Penuhi Panggilan Komnas HAM

“Kadang-kadang dimunculkan presiden kita dituduh secara personal dengan segala macam isu. Beliau (Jokowi-Red) memang tidak masalah dibegitukan, tapi apa kita biarkan presiden yang akan datang dibegitukan (dihina-Red),” tuturnya.

Diketahui, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam draft RUU KUHP terbaru. Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dikenai ancaman maksimal 3.5 tahun penjara. Bila penghinaan dilakukan lewat media sosial (medsos) atau sarana elektronik, ancamannya menjadi 4.5 tahun penjara.

Adapun pada 2006 silam, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP.

Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.