Horor bagi Yang Lain

oleh

[ad_1]

”Seluruh Palestina merupakan penjara raksasa,” demikian tulis Elie Wiesel di novel Dawn (Fajar). Tidak, ia tidak sedang berkisah tentang bangsa Palestina saat ini. Ia sedang membicarakan orang-orang Yahudi ketika Palestina masih di bawah pendudukan Inggris selepas Perang Dunia II.

SAYA selalu teringat novel tersebut setiap kali orang bicara tentang Palestina, juga novel (atau memoar) dari penulis yang sama, yang terbit lebih dulu: Night (Malam). Elie Wiesel sendiri merupakan seorang penulis Yahudi, penyintas dari neraka Holocaust dan penjara Auschwitz.

Pada kedua novel, kita bisa menyaksikan bahwasanya manusia memang pencipta neraka di dunia. Apakah Tuhan menciptakan alat-alat penyiksa? Apakah Tuhan membiarkan umat manusia menderita, kelaparan, dibunuh? Berkali-kali kedua narator di kedua buku bertanya, meskipun keduanya datang dari masa lalu yang penuh kesalehan.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, tak bisa disangkal, sangatlah manusiawi. Ketika manusia dalam keadaan tak berdaya, dan doa maupun harapan tak memperoleh jawaban, dan penolong yang dijanjikan tak juga datang, salah satu yang bisa dipertanyakan adalah keberadaan Tuhan. Tapi, di luar itu, kita sadar: semua siksa dan derita itu ulah manusia belaka.

Hari-hari ini kita menyaksikan kembali konflik Palestina dan Israel, dan kekerasan tak juga berakhir. Anak-anak kehilangan ayah, dan orang tua harus membopong anaknya yang telah menjadi mayat. Kita juga terus bertanya-tanya, kenapa satu negara harus menjajah negara lain? Kenapa Israel harus terus merampas tanah-tanah warga Palestina dan memperluas permukiman untuk bangsanya?

Tak bisakah kedua bangsa hidup berdampingan?

Ironisnya, membaca kedua novel ini, yang terbit dan mengambil latar yang jauh sebelumnya (selama dan selepas Perang Dunia II), memberi kita sedikit gambaran tentang watak manusia, si pencipta neraka dunia ini.

Elisha di novel Dawn merupakan algojo yang akan mengeksekusi seorang kapten Inggris bernama John Dawson. Ia ditangkap oleh para pejuang Israel karena sebelumnya, pemerintah kolonial Inggris menangkap salah satu rekan mereka dan hendak mengeksekusinya. Nyawa dibayar nyawa.

Sebelum tiba di waktu fajar, Elisha harus berhadapan dengan hantu-hantu masa lalunya. Hantu-hantu yang tak berhasil melewati neraka dunia ciptaan Hitler: ayah, ibu, seorang rabi, gelandangan yang dikenalnya, sahabat. Mereka datang untuk melihat seorang Yahudi menjadi seorang pencabut nyawa.

“Perintah jangan membunuh diberikan di salah satu puncak bukit di Palestina ini, dan kita satu-satunya kaum yang mematuhinya. Itu harus berakhir, kita harus seperti orang lain. Membunuh bukanlah pekerjaan kita, tapi kewajiban.” Demikian dikatakan salah satu tokoh.

Untuk memenuhi kewajiban tersebut, ia harus belajar satu hal: membenci yang lain, yang berbeda, yang dianggap musuh.

Ayahnya bukan seorang Zionis, tapi Elisha memilih bergabung. Seorang yang selamat dari kekejaman Nazi, di bawah kekuasaan kolonial Inggris terpaksa menerima label yang diberikan penjajah: menjadi seorang teroris. Bertahun-tahun kemudian, hari-hari ini, ketika pejuang Palestina mencoba melawan, tragedi ini terjadi: situasi berulang, dengan peran yang berbeda.

Saya tak tahu apakah kaum Zionis, yang memilih jalan penjajahan dan kekerasan, pernah membaca buku-buku ini. Mungkin mereka membacanya, dan memilih melihatnya dengan sudut pandang lain: sebagai minyak bagi api amarah.

Jika kita membaca buku yang lebih terdahulu, Night, dengan mudah kita berempati kepada pengalaman bangsa Yahudi nyaris di seantero Eropa, di bawah cengkeraman Nazi. Eliezer, sang narator, boleh dikatakan merupakan masa lalu Elisha.

Kemanusiaan mereka direndahkan sedemikian rupa. Dicerabut dari rumah, dipisahkan dari keluarga, dipaksa bekerja, dibiarkan berebut satu sama lain demi semangkuk sup. Bahkan ada situasi di mana seorang anak terpaksa membiarkan ayahnya mati demi bisa bertahan hidup bagi dirinya.

Di buku tersebut, dua kali nama Palestina disebut. Tentu saja itu dibayangkan sebagai tempat pembebasan. Bebas dari kamp-kamp konsentrasi, bebas dari tatapan rasial penuh kebencian sebagian penduduk Eropa, dan tentu saja bebas dari siksa prajurit SS.

Sialnya, impian akan pembebasan seringkali hanya berlaku untuk diri sendiri, atau untuk kaum sendiri. Itu tak hanya ditujukan oleh buku ini dengan sangat menampar muka, tapi bisa kita saksikan di situasi dunia saat ini.

Banyak masalah bisa dibikin rumit, jika kita ingin melihatnya secara rumit. Bisa juga dilihat dengan cara sederhana, jika kita menginginkannya. Buat saya urusannya sederhana: Israel menjajah Palestina, dan mereka tak belajar apa pun dari pengalaman bangsanya.

“Ini cerita pertama yang pernah kudengar bahwa bangsa Yahudi bukanlah kaum yang takut. Sampai saat ini aku percaya misi bangsa Yahudi adalah menampilkan kengerian sejarah …” kata Elisha. Dengan kata lain, untuk merasa bebas, harus menciptakan horor bagi yang lain?

Apakah untuk menciptakan negara Israel yang berdaulat dan merdeka, mereka harus menempatkan bangsa Palestina di penjara raksasa? Kita harus bisa menjawab tidak. (*)


EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.