[ad_1]
JawaPos.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar dalam persidangan. Keterangan Antam dinilai penting dalam kasus penetapan izin ekspor bemih lobster yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Terlebih, nama Antam Novambar muncul dalam surat dakwaan Edhy Prabowo. Karena Edhy meminta Antam untuk membuat nota dinas kepada Kepala Badan Karantina Ikan. Hal ini bertujuan untuk membuat bank garansi terkait penerimaan uang dari para eksportir benih lobster atau benur.
“ICW mendesak agar Antam Novambar dapat dimintai keterangan sebagai saksi dalam forum persidangan nanti. Hal ini penting, untuk mengklarifikasi perihal perintah dari Edhy Prabowo tersebut,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dikonfirmasi, Jumat (16/4).
Keterangan Antam dinilai penting untuk menjelaskan soal bank garansi. Dalam proses penyidikan, KPK sempat mengagendakan Antam untuk bersaksi, tetapi ia berhalangan hadir. Karena itu, ICW meminta mantan Wakabareskrim Polri itu dihadirkan ke persidangan.
“Dalam surat dakwaan Edhy Prabowo, disebutkan ada peran Antam Novambar pada beberapa bagian, khususnya bank garansi,” tegas Kurnia.
Dalam dakwaan Edhy Prabowo yang dibacakan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (15/4) kemarin, Antam mendapat perintah dari Edhy Prabowo untuk membuat nota dinas kepada Kepala Badan Karantina Ikan. Penerbitan surat tersebut bertujuan untuk membuat bank garansi dalam perizinan ekspor benih lobster.
Antam lantas membuat surat nota dinas kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Nomor: ND.123.1/SJ/VII/2020 tanggal 1 Juli 2020. Hal ini menindaklanjuti pelaksanaan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting dan rajungan di Indonesia.
“Menindaklanjuti Nota Dinas tersebut, Habrin Yake selaku Kepala Balai Besar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jakarta I (Soekarno-Hatta) menandatangani Surat Komitmen dengan seluruh eksportir BBL sebagai dasar untuk penerbitan Bank Garansi di Bank BNI yang dijadikan jaminan ekspor BBL,” kata Jaksa Ronald membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (15/4).
Menindaklanjuti nota dinas tersebut, Andreau Pribadi Misanta selaku staf khusus Edhy Prabowo yang ditunjuk sebagai Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster meminta para eksportir benih lobster
menyetor uang ke rekening bank garansi sebesar Rp 1.000 perekor benih lobster yang diekspor.
“Walaupun Kementerian Keuangan RI belum menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ekspor BBL, sehingga kemudian terkumpul uang di bank garansi yang jumlah seluruhnya sebesar Rp 52.319.542.040,” ungkap Jaksa.
Edhy Prabowo didakwa menerima suap senilai Rp 25,7 milar oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penerimaan suap ini dilakukan secara bertahap yang berkaitan dengan penetapan izin ekspor benih lobter atau benur tahun anggaran 2020.
Penerimaan suap itu diterima oleh Edhy Prabowo dari para eksportir benur melalui staf khususnya, Andreau Misanta Pribadi dan Safri; sekretaris Menteri KP, Amiril Mukminin; staf pribadi istri Iis Rosita Dewi, Ainul Faqih dan Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI), sekaligus pemilik PT. Aero Citra Kargo (PT. ACK) Siswadhi Pranoto Loe.
Pemberian suap ini setelah Edhy Prabowo menerbitkan izin budidaya lobater untuk mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Ranjungan (Portunus spp) dari wilayah negara Republik Indonesia.
Pemberian suap juga bertujuan agar Edhy melalui anak buahnya Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses persetujuan izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bibit lobster perusahaan Suharjito dan eksportir lainnya. Perbuatan Edhy selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI bertentangan dengan Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta bertentangan dengan sumpah jabatannya.
Edhy Prabowo didakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!