[ad_1]
Sudah divaksin? Ingin tahu apakah antibodi sudah terbentuk? Alat buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ini bisa membantu. Diluncurkan pada pertengahan tahun ini, bahan baku inovasi ini berasal dari dalam negeri.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta, Jawa Pos
—
SALAH satu ruang rapat di lantai 3 gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terlihat padat pagi itu. Sejumlah orang yang sudah mendapatkan suntikan vaksin dosis lengkap tampak rapi mengantre dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Mereka meriung di ruangan itu pada Kamis dua pekan lalu (20/5) karena penasaran antibodi sudah terbentuk atau belum setelah divaksin.
Kegiatan tersebut merupakan rangkaian pengujian teknologi pengukuran antibodi Covid-19 inovasi BPPT. Mereka yang penasaran dengan jumlah antibodi itu lantas menjalani pengambilan darah dari ujung jari. Hanya 20 mikron.
Bagi yang ingin menjadi bagian dari sampel penelitian, darah yang diambil lebih banyak: sebanyak 9 cc dan ditempatkan di dalam tiga tabung kecil.
Prosedur selanjutnya, yang hanya ingin mengetahui kadar antibodinya tinggal menunggu 15 menit untuk proses inkubasi. Tetesan darah tadi dimasukkan ke reagen khusus buatan tim BPPT. Kemudian, setelah menunggu 15 menit, dimasukkan ke alat pengukur kadar antibodi. Seketika, keluar struk dengan keterangan jumlah antibodi.
Sementara itu, bagi yang mengikuti prosedur sebagai sampel riset, 9 cc darah yang diambil diproses dahulu di mesin centrifuge selama 15 menit. Kemudian, ditunggu 15 menit lagi. Baru setelah itu dimasukkan ke alat pengukur antibodi. Satuan jumlah antibodi dalam tubuh adalah AU/mL.
Bagi sampel yang kandungan antibodinya di bawah 1 AU/mL, hasil ujinya dinyatakan negatif. Artinya, antibodi di dalam tubuh belum terbentuk. Sebaliknya, jika jumlah antibodi lebih dari 1 AU/mL, hasilnya dinyatakan positif atau antibodi sudah terbentuk. Angka optimal adalah 20 AU/mL dan dipercaya dapat menangkal infeksi Covid-19. Dalam pengukuran itu sempat ada peserta yang negatif. Namun, ada juga yang jumlah antibodinya mencapai 70 AU/mL, bahkan 100 AU/mL.
Direktur Pusat Teknologi Bioindustri BPPT Asep Riswoko menceritakan, riset inovasi pengukuran antibodi atau antibodi kuantitatif dimulai awal tahun ini. Bermula dari instruksi hasil rapat pimpinan BPPT dengan Kemenristek saat itu. ’’Saat itu Kemenristek berkeinginan ada program pendampingan vaksinasi pemerintah,’’ jelasnya.
Penasaran dengan teknologi pengukuran antibodi tersebut, wartawan Jawa Pos turut menjadi relawan penelitian. Tahap pertama adalah wawancara dengan dokter. Yang ditanyakan, antara lain, riwayat disuntik vaksin dan pernah positif Covid-19 atau tidak. Setelah lolos di meja wawancara atau skrining itu, bergeser ke meja pengambilan darah. Hanya sekali suntikan, 9 cc darah sudah bisa diambil. Dan, setelah dilakukan penghitungan, ternyata hasilnya negatif. Sebab, jumlah antigen di bawah 1 AU/mL.
Asep yang juga terlibat dalam riset alat pengukur antibodi mengungkapkan, ada potensi antibodi tidak terbentuk meski sudah divaksin. Karena itu, dia mengingatkan masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan meski sudah divaksin.
Menurut Asep, inovasi pengukur kadar antibodi dari BPPT itu bukan sesuatu yang baru. Sebab, ada laboratorium swasta di Indonesia yang memiliki alat serupa. Tetapi, lebih besar dan harganya mahal. Jadi, kurang efektif jika harus disebar di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan sampai ke tingkat kecamatan.
Akhirnya, tim di BPPT memutuskan untuk membuat inovasi alat pengukur kadar antibodi bagi masyarakat yang sudah divaksin Covid-19 berbekal bahan baku dalam negeri. ’’Inti inovasi ini ada di kitnya,’’ katanya. Pembuatan kit tersebut menggunakan protein Covid-19 yang ada di Indonesia. Dia menegaskan bahwa perjalanan inovasi ini masih panjang. Sebab, sejumlah pengujian harus dijalankan.
Asep mengakui, perangkat pengukuran antibodi itu memang digunakan bagi orang yang sudah divaksin. Bagi orang yang belum divaksin atau belum pernah terinfeksi Covid-19, antibodinya belum muncul. Sebaliknya, antibodi orang yang sudah divaksin atau pernah terinfeksi Covid-19 sangat mungkin sudah muncul.
Dia menyatakan, inovasi mereka itu berfungsi mengukur antibodi netralisasi yang muncul karena Covid-19 masuk dalam tubuh. Apakah itu virus Covid-19 yang masuk secara alami atau sengaja diinjeksi dalam bentuk vaksin. ’’Jadi, ini spesifik mengukur antibodi untuk Covid-19,’’ ujar dia.
Sebelum didaftarkan sebagai alat kesehatan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), inovasi pengukuran antibodi itu melalui pengujian terhadap 700 sampel. Pengalamannya selama ini, kadar antibodi dari orang yang sudah divaksin memang berbeda-beda. ’’Ada yang sudah divaksin dua kali, tetapi antibodinya nol koma,’’ jelasnya.
Menurut Asep, sampai saat ini belum ada patokan resmi dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) tentang jumlah kadar antibodi dalam tubuh yang efektif untuk menangkal infeksi Covid-19. Namun, saat ini mereka menggunakan acuan angka jumlah kadar antibodi sebanyak 20 AU/mL. Dengan patokan tersebut, diharapkan tubuh bisa mematikan Covid-19 sebelum berhasil menginfeksi tubuh.
Meski izin edar alat pengukur antibodi itu belum resmi keluar, tim BPPT sudah melakukan sejumlah sosialisasi. Salah satunya, sosialisasi kepada pimpinan pemerintah daerah. Harapannya nanti, ketika BPPT sudah mengantongi izin edar, pemerintah daerah tertarik memesannya.
Sampai sekarang, Asep menuturkan bahwa pihaknya belum menetapkan harga jual kit untuk mendeteksi jumlah antibodi dalam tubuh tersebut. Namun, dia meyakini harganya terjangkau. Biaya paling mahal hanya untuk membeli alat baca yang dia perkirakan sekitar Rp 20 juta. Alat baca itu sudah banyak beredar di pasaran dan bisa dipakai dalam waktu lama. Selain itu, alat baca tersebut bisa digunakan untuk membaca indikator penyakit lainnya.
’’Inovasi kita di kitnya. Sudah dapat mitra kerja sama untuk produksi massal,’’ jelasnya. Yaitu, kerja sama dengan PT Bio Farma dan PT Pakar Biomedika Indonesia. Selain itu, BPPT bekerja sama dengan RS Hasan Sadikin Bandung.
Menurut dia, pemerintah daerah tentu tidak cukup mengandalkan data jumlah warganya yang sudah divaksin. Tetapi juga perlu mengukur seberapa banyak warganya yang sudah memiliki antibodi untuk tameng terhadap Covid-19. Data-data penting itu bisa dianalisis para ahli di setiap daerah dan menjadi landasan untuk mengambil kebijakan. ’’Misalnya, ingin membuka tempat wisata,’’ ujarnya.
Baca juga: Kisah Perempuan WN Singapura Lahirkan Bayi dengan Antibodi Covid-19
Kepala BPPT Hammam Riza menyambut baik inovasi pengukur antibodi atau antibodi kuantitatif tersebut. Dia sudah pernah mencoba menghitung kadar antibodinya. ’’Setelah suntikan vaksin kedua Maret, pada April saya tes. Muncul antibodinya,’’ ungkap Hammam.
Namun, dia mengungkapkan bahwa saat itu kadar antibodinya masih rendah. Beberapa waktu kemudian, Hammam menjalani tes serupa. Ternyata kadar antibodinya malah turun.
Menurut Hammam, inovasi itu sangat bermanfaat. Sebab, setiap warga Indonesia yang sudah divaksin Covid-19 pasti ingin mengetahui kondisi antibodi Covid-19 dalam tubuh. ’’Supaya masyarakat tidak langsung pede (percaya diri, Red), apalagi sampai mau lepas vaksin,’’ tuturnya.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!