[ad_1]
Tika dan Boni sangat rukun saat hidup masih pas-pasan. Keutuhan rumah tangga justru terkoyak ketika kondisi ekonomi sudah mapan. Bermula cekcok gara-gara suami menggunakan uang perusahaan hingga akhirnya berujung perceraian.
—
TIKA (nama samaran) dan Boni (nama samaran) belum punya apa-apa saat menikah 19 tahun lalu. Keduanya belum memiliki pekerjaan tetap. Untuk mencukupi kebutuhan, mereka mengerjakan apa pun yang bisa dikerjakan.
Saat itu Tika berusaha merintis bisnis. Dia berjualan bahan kebutuhan pokok. Lambat laun, usaha yang digelutinya itu semakin berkembang. Bahkan sudah berbadan hukum. Jika dulu hanya melayani eceran, kini Tika sudah menjadi supplier beberapa supermarket di Surabaya.
Ketika memulai bisnis tersebut hingga menjadi besar, Tika yang lebih banyak berperan. Dia yang mengatur hulu sampai hilir. Urusan kulakan, manajemen keuangan dan perputarannya, sampai pemasaran ditanganinya sendiri.
Sementara itu, Boni hanya sesekali terlibat. Itu pun tidak terlalu sentral. Misalnya, ikut menjaga toko ketika Tika harus kulakan atau mengantarkan barang pesanan.
Meski begitu, Tika tidak memperhitungkan peran. Hasil usaha itu dinikmati bersama sang suami. Namun, perubahan pendapatan mengubah Boni. ”Lelaki memang diuji ketika berada di atas,” ujar pengacara Tika, Adi Cipta Nugraha.
Sejak kesejahteraan meningkat pesat, Boni mulai bergaya hidup mewah. Pria 51 tahun itu kerap pergi ke luar negeri untuk membeli barang-barang branded. ”Beli berlian, jam tangan mewah, dan sebagainya. Kalau pakai uang dia sendiri, tidak ada masalah. Dia pakai uang perusahaan,” ungkap Adi.
Selain itu, Boni kerap berjudi saat pergi ke luar negeri. Boni memang meminta izin Tika untuk menggunakan uang perusahaan. Pria itu meyakinkan istrinya akan mengembalikan uang tersebut. Tika menurut saja. ”Tapi, apa yang dia janjikan itu tidak pernah dipenuhi. Uangnya tidak pernah dikembalikan. Padahal, dia sudah berjanji untuk mengembalikan,” katanya.
Selain itu, Boni kerap berutang. Diam-diam, dia juga menjaminkan sertifikat rumah mereka dan perusahaan untuk mendapatkan utang. Tidak jelas untuk apa utang tersebut. Namun, utang-utang itu juga tidak pernah dibayar Boni. ”Sang istri tidak tahan karena terus-terusan ditagih debt collector,” tegas Adi.
Tika lantas menagih utang-utang ke Boni. Namun, Boni justru marah-marah. Keduanya kerap terlibat cekcok. Hingga akhirnya, terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). ”Suami sampai menampar istrinya. Penyebabnya, berbeda pendapat kapan uang dikembalikan. Suaminya emosional, lalu melakukan KDRT,” jelasnya.
Tika tidak tahan lagi terhadap perilaku suaminya. Perempuan 49 tahun itu kemudian menggugat cerai Boni di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Boni mempermasalahkan harta gono-gini. ”Si laki-lakinya ini masih mengungkit-ungkit harta yang pernah didapat sebelumnya,” katanya.
Baca Juga: Ruang Kelas Disiapkan Jadi Tempat Perawatan Covid-19 di Surabaya
Gugatan cerai Tika akhirnya dikabulkan majelis hakim PN Surabaya. Perempuan itu resmi bercerai dari suaminya pada akhir Juni lalu. Hak asuh ketiga anaknya yang masih remaja diberikan kepada sang ibu. Meski begitu, permasalahan keduanya belum tuntas. Mereka masih bersengketa harta gono-gini. ”Perkara gugatan gono-gininya masih diproses karena pengadilan masih lockdown sekarang,” ujarnya.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!