[ad_1]
JawaPos.com – Utang luar negeri (ULN) Indonesia kian membengkak. Kemarin (16/4) Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa nominalnya mencapai USD 422,6 miliar atau sekitar Rp 6.146,7 triliun per Februari. Jumlah tersebut naik 4 persen year-on-year (YoY).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengkritik kenaikan ULN itu. Terutama, dari porsi utang jangka panjang pemerintah yang naik 5 persen menjadi USD 209,2 miliar (sekitar Rp 3.046 triliun).
Kenaikan tersebut tentu memengaruhi ruang fiskal. Sebab, total beban bunga utang tinggi dari tahun ke tahun.
“Itu tidak sejalan dengan rasio pajak yang menurun. Padahal, salah satu cara meningkatkan kemampuan bayar utang ya lewat kenaikan penerimaan pajak,” kata Bhima kepada Jawa Pos tadi malam.
Menurut dia, pemerintah perlu mencermati utang yang berasal dari Tiongkok. Nominal utang dari kreditur tersebut naik 4,5 persen ketimbang tahun lalu.
Itu lebih tinggi daripada rata-rata kenaikan ULN secara keseluruhan. Itu menunjukkan bahwa Tiongkok punya pengaruh besar dalam perekonomian Indonesia.
Kalau tidak hati-hati, tegas Bhima, Indonesia bisa masuk jebakan utang atau debt trap. “Harus dievaluasi juga apakah pendanaan dari Tiongkok ini efektif atau ada agenda lain,” imbuh alumnus University Of Bradford tersebut.
Di sisi lain, utang swasta yang turun merupakan indikasi bahwa penjualan dari sektor tersebut butuh waktu untuk pulih. Jika dibedah per sektor, utang sektor konstruksi justru melambat.
Itu menandakan perlambatan pembangunan proyek infrastruktur. Sejak Desember lalu pun, sektor perdagangan melambat.
Terpisah, Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menuturkan, naiknya ULN berbanding lurus dengan upaya penanganan dampak pandemi. Selain itu, selaras dengan akselerasi program vaksinasi dan perlindungan sosial pada triwulan I 2021.
Dalam memenuhi target pembiayaan APBN 2021, pemerintah memprioritaskan dan mengoptimalkan sumber pembiayaan dari dalam negeri.
Selain itu, pemerintah lebih mengutamakan pengadaan utang dengan tenor menengah-panjang. Pemerintah juga mengelola portofolio utang secara aktif untuk mengendalikan biaya dan risiko utang.
“Pemerintah tetap mengelola ULN secara terukur dan berhati-hati untuk mendukung belanja prioritas,” terang Erwin.
Erwin menegaskan, ULN Indonesia tetap sehat. Itu tecermin pada rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terjaga pada kisaran 39,7 persen.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!