KKB Papua Jadi Organisasi Teroris, Polri Kerahkan Densus 88 Antiteror

oleh

[ad_1]

JawaPos.com – Pemerintah menegaskan bahwa kelompok kriminal bersenjata (KKB) berikut pihak-pihak yang terafiliasi adalah teroris. Pernyataan tersebut disampaikan secara tegas oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD di Jakarta kemarin (29/4).

Keputusan itu diambil berdasar Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Selain itu, pemerintah mengambil keputusan tersebut setelah menyerap masukan dan pandangan banyak pihak. Mulai pemerintah daerah, tokoh masyarakat Papua, hingga DPRD Papua. Pemerintah juga mendapat masukan dari kementerian dan lembaga lain di level pusat. Mulai MPR, BIN, Polri, hingga TNI. Mereka sepakat bahwa aksi KKB di Papua sudah memenuhi unsur pelanggaran tindak pidana terorisme. ”Yang dilakukan KKB dan segala nama organisasinya serta orang-orang yang berafiliasi dengannya adalah tindakan teroris,” tegas Mahfud.

Atas keputusan tersebut, pemerintah meminta Polri, TNI, dan BIN untuk mengambil langkah strategis. ”Melakukan tindakan secara cepat, tegas, dan terukur. Terukur menurut hukum, dalam arti jangan sampai menyasar ke masyarakat sipil,” lanjut Mahfud. Meski resmi menyatakan KKB sebagai kelompok atau organisasi teroris, penindakan akan tetap mengedepankan norma hukum.

Mahfud menyatakan, Polri masih berada di garda terdepan dalam penindakan KKB. ”Tentu dengan bantuan TNI,” imbuhnya. Terkait dengan personel yang dikerahkan, dia menyebut tidak berubah banyak. Hanya, pemerintah meminta koordinasi dan sinergi Polri-TNI diperkuat. ”Menurut istilah presiden kemarin disinergikan saja. Jangan jalan sendiri-sendiri,” terangnya.

Sementara itu, BIN tetap melaksanakan tugas mereka. Yakni, melanjutkan kegiatan intelijen yang bersifat politis. ”Misalnya, penggalangan terhadap tokoh-tokoh (di Papua) dan mengidentifikasi lokasi-lokasi,” katanya. Selain itu, menggalang diplomasi bersama Kemenlu terhadap negara-negara sekitar di Pasifik atau negara-negara lain yang menjadi tempat pelarian para separatis.

Di luar penindakan terhadap KKB, pemerintah menegaskan bahwa upaya-upaya menyelesaikan beragam persoalan Papua tetap dilakukan lewat peningkatan kesejahteraan, penataan lingkungan, dan upaya-upaya lain. Persis sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020. ”Yang menginstruksikan penyelesaian masalah Papua dengan penyelesaian kesejahteraan, bukan dengan penyelesaian bersenjata,” jelas Mahfud.

Setelah pemerintah memastikan KKB sebagai kelompok teroris, Polri mempertimbangkan pelibatan Densus 88 Antiteror untuk mengejar KKB. Asisten Kapolri Bidang Operasi (Asops) Irjen Imam Sugianto menjelaskan, pelibatan Densus 88 Antiteror sedang dimatangkan. ”Kami rapatkan di KSP. Nanti arahan dari Kapolri bagaimana,” ujarnya. Dia berharap masyarakat tidak berspekulasi terlebih dahulu. Jika menilik Satgas Madago Raya, tentu Densus 88 Antiteror juga menggelar operasi yang terhubung dengan satgas operasi di Poso tersebut. ”Satgas operasi dibentuk, densus juga operasi,” paparnya.

Dia menyatakan bahwa sangat mungkin ada perubahan pola operasi pemeliharaan keamanan di Papua. Nanti Polri menyusun kembali pola operasi tersebut. ”Perubahan pola operasi nanti ya,” kata jenderal berbintang dua tersebut.

Dinilai Bukan Solusi

Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab menyatakan, pemerintah harus bertanggung jawab atas segala keputusan yang sudah diambil. ”Tanggung jawab terhadap seluruh implikasi dan ekses dari penetapan itu. Harus tanggung jawab nanti kalau ada ekses negatif,” ujarnya. Sebagai sosok yang cukup lama mengurusi penyelesaian masalah di Papua, Amiruddin tidak terlalu optimistis atas langkah yang diambil pemerintah.

Menurut dia, menjadikan KKB sebagai kelompok atau organisasi teroris, kemudian memburu mereka sampai habis, tidak akan menyelesaikan masalah di Papua. ”Mau tangkap berapa banyak orang. Dengan segala hormat saya kepada petugas-petugas di lapangan yang telah bersusah payah dengan rintangan yang mereka hadapi, dengan mengubah itu, penyebutan itu, pelabelan itu, saya nggak yakin bisa cepat (selesai masalah Papua),” beber dia.

Anggota Tim Kajian Papua LIPI Prof Cahyo Pamungkas juga kurang setuju dengan pelabelan teroris bagi para Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). ”Saya pakai istilah TPNPB, bukan KKB atau OPM,” katanya kemarin. Dia menyebutkan, label teroris justru berpotensi meningkatkan kekerasan politik di Papua. Selain itu, berpotensi menambah deretan pelanggaran HAM di sana.

Cahyo menjelaskan, pelabelan teroris tersebut bisa menyasar siapa saja. Bahkan bisa ke pejabat pemerintah daerah setempat atau warga sipil. Dengan alasan mereka pernah bertemu atau berinteraksi dengan kelompok TPNPB yang kini dicap sebagai teroris oleh pemerintah. ”Mungkin masih ingat kasus Pendeta Yeremia Zanambani yang dibunuh karena diduga separatis,” ucapnya. Padahal, tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa Pendeta Yeremia berafiliasi dengan separatis. Menurut Cahyo, Yeremia adalah pendeta yang kritis. Dia tidak ingin nanti siapa pun yang kritis terkait dengan kebijakan pemerintah terhadap situasi di Papua langsung dilabeli teroris. Karena itu, dia berharap pemerintah tidak sekadar menetapkan TPNPB sebagai teroris. Tetapi juga dapat mencegah dampak negatif seperti potensi jatuhnya korban sipil.

Menurut dia, pemerintah harus memiliki mekanisme mitigasi yang jelas dan kuat. Tujuannya, warga sipil di Papua tidak mudah dilabeli teroris oleh aparat atau pemerintah. Ujungnya ditembak atau dipersekusi tanpa proses hukum atau peradilan. Dia menegaskan, dengan label teroris, cakupannya bisa luas. Tidak hanya kepada oknum TPNPB atau kelompok separatis, tetapi juga warga sipil yang kedapatan bertemu dengan mereka. Padahal, pertemuan itu bisa jadi dalam rangka mediasi atau sebatas sosialisasi.

Dia lantas mengomentari soal masyarakat di sejumlah tempat yang melakukan eksodus atau mengungsi ke titik aman. ”Mereka mengungsi ke hutan, bukan ke daerah aman yang dikuasai TNI dan Polri,” jelasnya. Mengapa demikian? Menurut Cahyo, warga tersebut mengalami trauma atau ingatan tidak tertulis soal penderitaan masa lalu. Dia mengungkapkan, beberapa warga yang mengungsi itu trauma ketika melihat aparat berbaju loreng hijau.

Respons TPNPB-OPM

Di pihak lain, Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sambom menuturkan, pelabelan teroris terhadap pihaknya tidak akan membuat panik. ”Kami ada di negeri kami sendiri. Jadi, kami sangat percaya diri bahwa kami membela hak bangsa, rakyat, dan negeri kami,” tuturnya.

Di tempat terpisah, Gubernur Papua Lukas Enembe meminta pemerintah dan DPR mengkaji lagi penyematan label teroris terhadap KKB. ”Kami berpendapat bahwa pengkajian tersebut harus bersifat komprehensif dengan memperhatikan dampak sosial, ekonomi, dan hukum terhadap Papua secara umum,” kata Lukas dalam keterangan tertulisnya.

Menurut dia, terorisme adalah konsep yang selalu diperdebatkan dalam ruang hukum dan politik. Dengan begitu, penetapan KKB sebagai teroris perlu ditinjau dengan saksama dan memastikan objektivitas negara dalam pemberian status tersebut.

Baca juga: Tangani Papua Tak Cukup dengan Tumpas Kombatan

Pemprov Papua sepakat, segala tindakan yang dilakukan sekelompok orang yang mengaku sebagai KKB adalah perbuatan meresahkan, melanggar hukum, dan mencederai prinsip-prinsip dasar HAM. Namun, Lukas meminta TNI dan Polri lebih dulu memetakan kekuatan KKB. Melingkupi penyebaran wilayah, jumlah orang, dan ciri-ciri khusus dari KKB.

”Hal ini sangat dibutuhkan karena Pemerintah Provinsi Papua tidak menginginkan adanya peristiwa salah tembak dan salah tangkap yang menyasar penduduk sipil Papua,” tutur Lukas.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *