Lain Hati, Lain Kekasih

oleh

[ad_1]

Segunung apa pun diamku merenung, tak mungkin aku sampai pada pemahaman mengapa aku mencintaimu.

PENDEKAR Sastrajendra sudah undur diri dari dunia persilatan. Orang nomor wahid dunia rawan tersebut sudah tak guna lagi ditantang tarung oleh sesiapa yang bermimpi jadi suksesornya, baik kelak 2024 maupun di era ketika peristiwa ini terjadi, yaitu masa sebelum ada Candi Borobudur, bahkan Gunung Merapi pun tampak belum eksis. Impian Pendekar Bra pun kandas pada usianya yang masih ”batipul”, bawah tiga puluh tahun.

Namun, benarkah ayah angkat Tingting Bocah itu mundur lantaran ini: Selalu dia terngiangi tembang sindiran perempuan manis seberang sungai. Buat apa dibangun banyak perguruan tinggi persilatan bila darma lulusannya cuma jadi stempel penguasa tanpa sejengkal pun kuda-kuda buat mengontrolnya?

***

Seorang pengemis di tikungan dekat orang-orangan sawah membawakan madah, sejenis puisi puji-pujian yang ditembangkan. Ditembangkannya bersama kecapi purba, pendekar bertopi koboi itu mundur bersilat bukan lantaran ingin bertani, menghitung hari, mengeja musim. Bertani, mengolah hasil bumi bersama bangau-bangau, diakuinya lebih bermanfaat. Yang kelaparan bisa menjadi kenyang dan berdendang. Dunia persilatan? Huh! Mereka yang lapar akan keadilan tetap saja tinggal kulit dan belulang. Hanya, alasan mundur sang pendekar tak sebab itu.

Pengemis berhenti bermadah. Orang-orangan sawah bermuka kerupuk upil bergoyang-goyang. Burung-burung di lahan padi yang telah menguning tak merasa diusir. Rakyat burung berkata kompak, ”Orang-orangan sawah kalau bergerak-gerak pertanda senang karena burung-burung mematuk bulir-bulir padi, berbagi rezeki dengan manusia. Itu hanya pertanda ia tak senang ada manusia yang berhenti bermadah.”

Pemimpin burung tunduk para rakyatnya. Ia meminta pengemis melanjutkan madahnya.

***

Pada suatu hari Kamis respati, madah berkecapi purba berlanjut, Pendekar Sastrajendra bertemu harimau berkedok kijang. Ia melompat-lompat bagai kijang seraya mengaum-ngaum bagai aslinya. ”Wahai Pendekar Sastrajendra,” aumnya di antara geraman-geramannya. ”Dunia persilatan adalah jalan suluk, jalan menuju Gusti. Engkau adalah salik. Engkau pelangkah di jalan suluk itu.”

Si kijang menyeringai. Harimau banget. Sayang, mulutnya terlalu pas-pasan untuk menyeringai selebar harimau ori. Sudut-sudut bibirnya berdarah. ”Wahai Pendekar Sastrajendra, engkau setiap usai menumpas ribuan pendekar penantangmu merasa lebih unggul dari mereka. Itu kelemahanmu. Engkau merasa sudah sampai di haribaan Gusti. Yang lain-lain belum. Padahal, semua belum sampai kepada Gusti. Engkau pun baru sampai di suatu halte menuju Gusti dari halte-halte lain yang masih tak terhingga.”

Harimau muka kijang mencampakkan kaki depannya. Cakarnya hampir saja menyaruk wajah Pendekar Sastrajendra setelah sebelummya menghantam pohon besi perintangnya. Pohon tumbang bagai raja lalim raja disanggah. Padahal, sebelumnya, pohon terkeras itu tegak bagai raja adil raja disembah. Pendekar Sastrajendra masih sempat mengelak namun sambil berteriak, ”Kalau begini caranya, mending aku mundur saja dari dunia persilatan!!!”

Demi mendengar pekikan itu beberapa bukit nun jauh di belakang sang pemekik longsor samar-samar. Sang pemekik tetap lama bersila di atas pucuk daun teh. Ia berharap ada secercah cahaya dari bunga matahari yang dapat menjadi tanda persetujuan akan pengunduran dirinya. Seekor burung srigunting dengan bulu-bulu berembun mengibas-ngibaskan embunnya, tampak menyambut baik lengsernya sang pendekar dari dunia yang selama ini dirajainya. Perbukitan nun di belakangnya tak melanjutkan longsornya.

***

Di tikungan yang sama. Orang-orangan sawah telah berganti wajah. Tadinya berupa kerupuk upil. Sekarang rupanya onde-onde. Pengemis sudah tak melanjutkan madahnya. Telah disandarkannya kecapi purba itu di pohon nyiur. Gantian si rupa onde-onde menyambungnya bermadah. Musik kecapi purba digantikan oleh nyanyian serta senandung burung-burung yang ketakutan pada taburan biji wijen di rupa sang pemadah.

Rakyat burung bernyanyi kompak, ”Kita burung-burung pipit ini jangan kalah dengan burung elite lovebird dan kenari yang suka wijen. Kita burung kampungan ini juga harus suka wijen. Dan, semakin kita suka pada sesuatu, kita harus semakin takut itu.”

Pemimpin burung bukanlah pemimpin manusia. Dia sangat tunduk pada rakyatnya. Dia setuju untuk merayakan ketakutan itu dengan riang menyanyi-nyanyi.

Di antara nyanyian burung-burung, wajah penuh wijen bermadah, ”Wahai Pendekar Sastrajendra, engkau tahu perbedaan antara jalannya orang biasa, petani, peladang, pedagang, dan lain-lain, dan jalan suluk seperti jalannya orang-orang dunia persilatan? Bedanya, di jalan suluk banyak salik yang merasa sudah bertemu Tuhan padahal belum, di dunia orang biasa, dunianya para pekerja dan penolong sesama, banyak orang yang merasa belum bertemu Tuhan, tapi sejatinya mereka sudah bertemu.”

Duh enaknya. Itu sebabnya Pendekar Sastrajendra tak mau kembali ke dunia persilatan, walau calon-calon penantangnya ingin ia kembali. Pendekar Bra pun gagal merayunya kembali. Usahanya meminta kekasihnya, Tingting Bocah, untuk merayu ayah angkatnya itu pun gagal. Hah? Bukankah kekasih Bra adalah Tingting Jahe? Hmmm…Kasih tahu enggak, ya, tentang segunung apa pun kita berdiam merenungi cinta? Heuheuheu. (*)


SUJIWO TEJO

Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.