Langkah Terpenggal

oleh

[ad_1]

Di bawah langit-langit bar yang digetarkan suara musik, di antara aroma anggur, minuman keras, dan asap rokok, Thongsuk menanti gilirannya naik panggung.

TERLIHAT Winai, pejabat setengah umur itu, tertegun di sisi Thongsuk. Sesekali menenggak anggur merah. Mengisap rokok. Ia tak lagi peduli pandangan orang, kenapa berada di sebuah bar kawasan Khao San Road. Malam merasuk ke pusat ingar bingar turis-turis bule penuh degup dada yang menggugupkan. Tapi sungguh, daya tarik Thongsuk tak bisa dihindarinya. Ia tak bisa membebaskan diri dari pesona gadis belia yang sesekali liar dan sesekali sentimental.

Giliran Thongsuk menyanyi ke panggung, pengunjung bar bertepuk tangan. Thongsuk menyanyi dengan kegairahan yang lekat, yang menggelisahkan jiwa lelaki, dan turis-turis merasa gemas padanya. Hanya Winai yang tenang. Ia tak mau menampakkan kegairahan jiwanya di hadapan banyak orang. Barulah saat gadis itu bergelayut di lengannya dalam keletihan yang merajuk tengah malam, Winai merengkuhnya dengan lengan yang kukuh. Ingin memberi kehangatan. Ingin memberi perlindungan.

”Aku tak percaya akan bisa terus melindungimu macam ini,” kata Winai dalam suara yang tetap tenang.

”Mengapa begitu?” tukas Thongsuk, mengibaskan rambut setengkuk. Punggungnya terbuka. Lengan singsat. Rok ketat.

Thongsuk menampakkan kegairahan gadis belia. Di mata Winai, gadis itu serupa benar dengan air sungai pegunungan, gemericik deras, bening, dan mengundang orang mencebur ke dalamnya.

”Suatu ketika, barangkali aku akan mati tertembak,” kata Winai dengan suara tenang. ”Aku dibayangi pembunuh bertopeng, yang suatu saat akan menembak keningku.”

Thongsuk menatapi bias kilatan cahaya bar di puncak hidung dan lekuk bibir lelaki setengah baya itu. Ia menggeleng. Ingin menepis bayangan menyeramkan yang menggoda kekasih gelapnya itu. Ia tak ingin berangan-angan tentang kematian. Apalagi kematian Winai, lelaki setengah baya yang selalu menenteramkan hatinya.

*

Tengah malam lewat, angin beraroma embun, saat Thongsuk turun dari mobil mewah Winai. Melangkah memasuki gang di kawasan Distrik Phra Nakhon. Memasuki rumah kecil dan kembali bersua dengan nenek, ibu, dan adik perempuannya. Biasanya Winai hanya mau mengantar sampai mulut gang.

Saat Winai mengantarkan gadis itu kembali ke rumahnya, menemukan empat orang perempuan, tanpa lelaki, hatinya tergetar.

”Besok aku akan berdoa di Kuil Wat Pho,” ujar Thongsuk, sesampai di rumah, dan Winai menolak untuk memasuki pintu ruang tamu. Bergegas lelaki setengah baya itu mohon diri. Ia menghindar untuk bersua dengan nenek, ibu, dan adik perempuan gadis belia itu. Tak ingin dicecar dengan berbagai pertanyaan.

Dan memang keesokan harinya Thongsuk bersimpuh di ruang doa Kuil Wat Pho, dalam sunyi yang berpusar dalam raga, sunyi yang merapuhkan tubuhnya. Dia tak memedulikan turis yang lalu-lalang memandangi wajah patung keemasan Buddha menjelang wafat. Wajah yang memancarkan kedamaian. Bukan wajah yang mengerang.

Bila Winai tak menjemput Thongsuk menjelang sore, barangkali gadis belia itu masih bersimpuh, suntuk larut dalam doa. Baru setelah Winai mengajaknya pulang, gadis belia itu bangkit. Wajahnya sebening mawar kuning rekah pagi hari.

”Barangkali aku akan menjalani hidup sebagai biksu,” kata Winai. ”Meninggalkan kehidupan duniawi dan mencari kedamaian.”

Tersenyum, Thongsuk membayangkan Winai, lelaki setengah baya itu, menggunakan jiwon yang melilit tubuh dengan kepala gundul berkilat-kilat. Tentu ia takkan lagi dapat memanjakan diri dalam dada bidang lelaki setengah baya itu.

*

Lepas tengah malam, Winai masih menunggui Thongsuk menghibur penonton di bar. Di meja tersisa separo botol anggur merah, beberapa batang rokok, asbak yang penuh puntung –sebuah pertanda waktu dibiarkan berlalu untuk menunggu. Tapi, lelaki setengah baya itu tak merasa bosan, duduk menanti Thongsuk selesai menyanyi. Beberapa lagu di antaranya berkali-kali didengarnya, makin merasuk ke dalam jiwanya.

Anggur merah tinggal seteguk dalam gelas Winai. Musik sudah berhenti. Thongsuk tak lagi menyanyi. Ia mengisap rokok, enggan beranjak pulang. Memesan lagi sebotong anggur merah. Meminumnya, rakus, seperti memendam rasa haus setelah pertunjukan memukau. Winai memandangi garis punggung yang terbuka dan pinggul Thongsuk yang padat.

”Besok malam akan kuberikan kunci rumah baru untukmu,” kata Winai. ”Ini kado ulang tahun untukmu. Berapa umurmu? Sembilan belas?”

Sepasang mata Thongsuk bercahaya, sekejap, dan dalam keadaan yang sangat cepat kembali sendu.

”Kalau kau tak menikahiku, kelak dari rahimku lahir anak-anak yang tak pernah tahu siapa ayahnya.”

”Jangan cemas. Aku akan menjalani hidup sebagai biksu,” balas Winai. ”Aku tak akan lagi bersamamu.”

”Akan segampang itu kau meninggalkanku?”

”Tak ada yang bisa menghalangiku.”

”Tanpa kau, bar ini akan sangat sunyi.”

Dalam remang ruang bar yang mulai ditinggalkan pengunjung, seseorang bertopeng mengarahkan pistolnya ke belakang kepala Winai. Pada saat ledakan peluru berdesing, Thongsuk menjatuhkan kepalanya ke lengan Winai. Posisi kepala Winai bergeser. Lesat peluru menghancurkan botol anggur yang baru dipesan Thongsuk. Anggur muncrat ke segala arah. Winai dan Thongsuk terperanjat. Gadis itu panik, memekik nyaring, memeluk lelaki setengah baya di sisinya. Wajahnya disurukkan ke dada. Napasnya tersengal-sengal. Winai kelihatan tenang. Mengusap-usap punggung Thongsuk yang terbuka, tepat pada tato kupu-kupu, menenteramkan perasaan gadis belia itu.

Setelah itu sangat sunyi. Orang tak menangkap sosok bayangan pembunuh bertopeng yang telah menembakkan pistolnya dari ambang pintu bar. Ia serupa siluman yang gampang sekali menghilang, serupa bayangan yang gampang lenyap.

*

Senja gerimis setelah bumi dipanggang panas matahari tanpa angin, di rumahnya keriangan Thongsuk memancar dari wajahnya sepanjang hari.

Dengan naik tuktuk, Thongsuk mencapai bar tempatnya bekerja. Masih sunyi. Siapa pun yang datang di bar itu tak penting bagi Thongsuk. Yang ditunggunya cuma kedatangan Winai. Lelaki setengah baya itu akan hadir dengan sebuah kunci rumah baru di tengah kota. Meski bukan di daerah pusat perbelanjaan atau dekat istana berkilau disepuh emas, cukup baginya bila tinggal di rumah yang tidak lagi kumuh, mudah mencapai Kuil Wat Pho dan mencapai kawasan Khao San Road. Tapi, tiba giliran gadis belia itu menyanyi, Winai belum lagi muncul. Harapannya belum surut. Barangkali lelaki setengah baya itu akan muncul nanti, menjelang tengah malam. Ia berharap terjadi sebuah kejutan yang membuatnya meledakkan kebahagiaan: lelaki setengah baya itu menyerahkan kunci rumah baru.

*

Dengan lift, Winai turun dari ruang kerja, mengantongi kunci rumah baru yang akan diberikan pada Thongsuk. Bersiul-siul ia, membayangkan bakal bersua gadis belia dengan pakaian backless merah menyala dan punggung terbuka. Gadis itu pasti bahagia. Tertawa-tawa jenaka. Juga akan dilihatnya nenek, ibu, adik perempuannya yang tertawa menempati rumah baru. Selama ini setiap mengantar Thongsuk pulang, Winai merasakan betapa dingin wajah mereka. Betapa mereka selalu menatapinya dengan curiga. Lelaki setengah baya itu ingin mengakhiri pandangan tiga perempuan yang menikam dengan kecurigaan itu.

Saat Winai melangkah ke pelataran kantornya dalam remang senja, terasa gerimis tipis menyusupi rambutnya. Ia mencapai tempat parkir mobilnya. Usai membuka pintu mobil, sebuah bayangan bertopeng berkelebat menembakkan pistol. Peluru melesat mengenai kening: antara kedua ujung lengkung tebal alisnya. Tergeletak ia berlumur darah. Wajahnya sedamai perangai patung keemasan Buddha di Kuil Wat Pho. Wajah yang ikhlas menerima apa pun peristiwa dalam kehidupan.

*

Tak ada lagi tuktuk menjelang dini hari. Mulut Thongsuk beraroma anggur. Napas beraroma rokok. Ia kehilangan harapan untuk bersua Winai. Matanya sayu. Bukan mengantuk. Tapi, ia mengutuki diri sendiri atas pemujaannya terhadap lelaki setengah baya itu. Ia harus kembali, harus pulang, ke sebuah rumah di kawasan kumuh tempatnya dilahirkan dan dibesarkan.

Dibukanya tas kecil. Masih tersisa beberapa lembar uang bath. Cukup untuk membayar ongkos taksi. Sepanjang jalan itu ia tak berkata apa pun dengan sopir. Turun di mulut gang. Melangkah pelan-pelan ke rumah. Membuka pintu. Rumah yang dulu juga, yang sudah sangat dikenalnya. Bukan sebuah rumah baru di pusat kota. Ditengoknya nenek dan ibu tidur berimpit. Dipandanginya cukup lama. Dirapatkan kembali pintu kamar. Ia mesti kembali ke kamarnya. Tidur berjejal dengan adik perempuannya. Saat berbaring, ia masih berharap, besok pagi Winai meneleponnya, meminta maaf, dan menyerahkan kunci rumah baru di pusat kota.

Lelah, Thongsuk tertidur di ujung pagi yang pengap pada rumah yang melapuk. Ia masih lelap ketika fajar ibu menonton televisi yang menyiarkan berita, ”Winai, tokoh di balik demonstrasi yang menuntut reformasi konstitusi, ditembak mati pembunuh bertopeng.” (*)

Pandana Merdeka, Januari 2021

Catatan:

jiwon= jubah biksu

tuktuk= angkutan kota Bangkok, serupa bajaj di Jakarta


S. PRASETYO UTOMO

Lahir di Jogjakarta, 7 Januari 1961. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016) dan Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017).

Saksikan video menarik berikut ini:

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.