[ad_1]
Covid-19 betul-betul membikin warga dunia gemetar dan gentar hari-hari ini. Mala tak kasatmata itu serupa kabut pekat menelan rembulan dalam muram dan remuk redam.
—
KITA dipaksa menjauh dari pergaulan sehari-hari. Kita diminta menepi dari arus ramai. Kita pun terasing dalam kesunyian masing-masing.
Tapi, hidup bukan untuk, pinjam kata-kata Binatang Jalang dari Medan, menunda kekalahan sebelum akhirnya kita menyerah. Hidup adalah ikhtiar untuk, pakai kata-kata Malin Kundang dari Batang, membikin abadi yang kelak retak.
Itulah panggilan eksistensial seniman. Dengan imajinasinya, seperti kata seorang kritikus dari Negeri Kincir Angin, seniman bersyarat mutlak ”mengatasi kenyataan yang memaksa manusia serta menemukan yang hakiki untuk kebahagiaan”.
Itulah yang menggerakkan saya bertandang ke Tirtodipuran Link, Jalan Tirtodipuran No 50, Mantrijeron, Jogjakarta, pada 19 dan 27 Maret untuk menonton pameran The Wanderlust Galih Reza Suseno.
Ekshibisi solo kali ketiga dalam sembilan tahun terakhir perupa kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 1990, itu menampilkan 10 lukisan akrilik di kanvas (dengan teknik plotot yang diambil aduk dari maestro Affandi dan ibunya yang pandai bikin kue), 8 lukisan (3 di antaranya berbentuk bulat) lempung dan akrilik di kanvas, dan 1 objek-instalasi dari kayu, resin, lempung, dan akrilik. Semuanya bertarikh 2020.
Seluruhnya merupakan penggambaran dan pernyataan alumnus Pascasarjana ISI Jogjakarta itu atas pandemi Covid-19. Segenapnya merefleksikan dengan bagus sosok Galih sebagai perupa perenung, perasa, dan spiritual.
Yang terakhir itu tersua dalam lukisan lanskap Mengintai Tanah Perjanjian (180 x 300 sentimeter), Disclosure of Leviathan (180 x 300 sentimeter), Menyibak Deus Absconditus (180 x 240 sentimeter), dan Dwelling in the Sky (200 x 160 sentimeter).
Empat lukisan tersebut menyandarkan kebijaksanaannya pada Alkitab-Perjanjian Lama atau bertolak dari ide-ide Kristiani yang termaktub dalam Alkitab, terutama berkenaan dengan hikmah 12 pengintai Tanah Kanaan, paus raksasa penguasa laut, kebenaran yang tersembunyi, dan keinsafan manusia akan cermin diri atau jarak kritis untuk hidup selaras dengan alam.
Tapi, itu bukan berarti Galih menutup rapat proses kreatifnya dari pemikiran-pemikiran nonreligius. Dalam lukisan lanskap Disclosure of Leviathan (180 x 300 sentimeter) dan Mengejar Biofilia (160 x 200 sentimeter), Galih menambatkan gagasan estetisnya pada filsuf Martin Heidegger tentang hidup sebagai ”ketersingkapan demi ketersingkapan” dan psikoanalis Eric Fromm mengenai biofilia atau ”kecintaan mendalam terhadap kehidupan”.
Tak ingin terkesan kebarat-baratan, dalam lukisan lempung dan akrilik di kanvas, Urai (100 sentimeter bundar), Merindukan Rahim (200 x 160 sentimeter), dan Agent of Change (120 x 120 sentimeter), Galih menautkan permenungannya tentang bumi dan virus korona pada filsafat alam Jawa dan RA Kartini.
Di situlah Galih menampakkan diri sebagai perupa perenung dan perasa dengan kidung kebijaksanaan insani berseri-seri. Bisa dimengerti jika lukisan-lukisan yang menggambarkan mimpi dan refleksinya akan wabah Covid-19 dan gundah gulana yang menyertainya, seperti Welfare of All Creatures (180 x 300 sentimeter), Menemukan Akal Sehat (180 x 300 sentimeter), dan Equilibrium (170 x 240 sentimeter), tampak menyenangkan, dengan warna-warna cerah ceria, alih-alih menyeramkan.
Bahkan, rupa Covid-19 tergambar dalam lukisan Perayaan Kemanusiaan tanpa Manusia (180 x 240 sentimeter) dan Mencari Pendar Niskala (160 x 200 sentimeter), dan objek-instalasi The Symptom (tiga buah, 220 x 220 x 150 sentimeter) seperti gulali, rambutan, dan brokoli, yang manis, segar, dan menggiurkan.
Atas semua itu, The Wanderlust menjanjikan penikmatan dan petualangan manasuka pemirsa ke lanskap-lanskap surealistik penuh benda-benda ganjil, makhluk-makhluk renik menggelitik kuduk, dan binatang-binatang garib: kuda bermuka rusa, anjing berkepala singa, kelinci berwajah anak anjing, dan naga berjanggut perak, yang bakal menggirangkan Alice sebagaimana aneka satwa aneh yang dijumpainya di Negeri Ajaib.
Dugaan saya tak meleset. Sepuluh hari setelah The Wanderlust terhampar, seturut keterangan Kohesi Initiatives selaku penajanya, 5.588 orang datang bertualang ke sana. Rupanya, The Wanderlust berhasil memikat pemirsa, khususnya pemirsa muda-remaja generasi TikTok, bahwa Covid-19 dan mikroorganisme lainnya pun memiliki keanggunan dan keindahannya sendiri.
Baca juga: Sastrawan Berseni Rupa…
Dengan begitu, rampung pada 10 April, The Wanderlust boleh dibilang berhasil mengejawantahkan ikhtiar kreatif Galih untuk berarti dan berbagi di masa pandemi sebagaimana terartikulasi dalam objek-instalasi The Symptom dan delapan lukisan lempung dan akrilik di kanvas, yaitu Agent of Change, Semua Realitas Adalah Satu, Dwelling in the Sky, The Splendor (200 x 150 sentimeter), Merindukan Rahim (200 x 160 sentimeter), Perai (100 sentimeter bundar), Urai, dan Derai (100 sentimeter bundar).
Sayangnya, The Symptom tak dihadirkan di ”ruang khusus”, bagian integralnya, yang akan mendefinisikan keberadaannya sebagai objek-instalasi sebenar-benarnya dengan efek kejut tak terduga.
Adapun Agent of Change dan tujuh kerabatnya menjanjikan penemuan bentuk-bentuk lukisan dan pokok perupaan dengan bahan lempung yang belum pernah dimanfaatkan oleh pelukis Indonesia lainnya.
Yang menjanjikan itu, saya kira, bisa jadi penanda posisi eksistensial nan khas lukisan-lukisan Galih dalam khazanah seni lukis kontemporer (di) Indonesia di masa depan. (*)
—
WAHYUDIN, Kurator seni rupa, tinggal di Jogjakarta
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!