[ad_1]
JawaPos.com – Pemulihan ekonomi yang sudah mulai terlihat di beberapa indikator menjadi dasar keyakinan pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi nasional bisa tembus 7 hingga 8 persen pada kuartal II tahun ini. Pengamat Indef Bhima Yudhistira mengatakan, pekerjaan rumah pemerintah sebenarnya bukan hanya mengejar pertumbuhan tinggi, tapi mempertahankan kurva positif hingga akhir tahun.
“PR utama pemerintah sebenarnya bukan sekadar ekonomi tumbuh tinggi pada kuartal ke II, tapi yang lebih penting adalah mempertahankan momentum pertumbuhan positif hingga akhir 2021. Periode sisa kuartal ke III dan IV tantangan juga makin berat,” kata Bhima saat dihubungi oleh JawaPos.com, Rabu (26/5).
Bhima mengatakan, faktor pengungkit roda ekonomi saat ini belum merata di berbagai daerah. Kebijakan larangan mudik membuat mayarakat cenderung menghabiskan anggaran belanjanya di kotanya sendiri.
Sehingga butuh sinergi dan dukungan pemerintah daerah (Pemda) untuk berkontribusi menaikan pertumbuhan nasional saat pandemi masih berlangsung.
“Padahal selama larangan mudik, pemulihan ekonomi cenderung timpang antara kota besar dan desa. Jabodetabek diuntungkan dengan pembayaran THR penuh karyawan swasta, tapi uang dibelanjakan di retail yang ada di Jabodetabek,” katanya.
“Padahal biasanya uang banyak mengalir ke daerah dalam bentuk belanja selama perjalanan mudik, akomodasi, dan sektor makanan minuman,” jelasnya.
Bhima menekankan, peran percepatan serapan anggaran menjadi penting. “Jangan ditumpuk di akhir tahun karena situasi sekarang masih butuh stimulus paska lebaran,” imbuhnya.
Bhima melanjutkan, pemerintah juga perlu mewaspadai penularan Covid-19. Sebab, jika kasus naik tinggi bisa saja berakibat pada pembatasan sosial yang lebih ketat meskipun vaksin gotong royong saat ini mulai dilakukan.
Menyinggung vaksin gotong royong dari perusahaan untuk pada karyawannya, saat ini baru terdaftar sebanyak 10 juta orang pekerja. Artinya, tetap jauh dalam mencapai herd immunity dengan total target 181,5 juta orang. Sementara, vaksinasi gratis pemerintah dengan dosis penuh realisasinya baru 4,93 persen.
Ia menyebut, vaksin gotong royong malah menciptakan ketimpangan antar pelaku usaha. Harga vaksin yang mencapai 1 juta hanya bisa dijangkau usaha sedang besar sementara usaha kecil umkm yang jumlahnya 60 juta unit kesulitan beli vaksin gotong royong.
“Masalah vaksin juga timbulkan pertanyaan mendasar, kalau 10 juta orang di vaksin gotong royong tapi konsumen masih tunggu vaksin gratis dari pemerintah apakah langsung efektif dorong tingkat belanja?” ungkapnya.
Bhima menambahkan, vaksinasi bukanlah faktor utama yang menentukan ekonomi dapat kembali positif. Perbaikan faktor eksternal seperti pemulihan yang cepat di negara mitra dagang utama juga berkontribusi pada pemulihan.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!