[ad_1]
Tokyo, IDN times – Pada tanggal 10 Desember 2020 lalu, sebuah konferensi pers diadakan di klub Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan Teknologi di Jepang. Konferensi itu membahas tentang survei online yang dibuat untuk menyeroti kejahatan seksual yang pernah diterima seorang murid ketika di sekolah.
Diluncurkan dengan tujuan untuk memeriksa realitas kekerasan seksual di bangku pelajar, 149 tanggapan valid diterima dari orang-orang yang menderita atau hampir mengalami hal tersebut, dimana 80 persen diantaranya mengakui terjadinya pelecehan yang dilakukan oleh staf sekolah atau guru mereka sendiri, melansir dari Mainichi shimbun.
Kejadian itu hanyalah satu diantara segelintir daftar panjang kejahatan seksual yang merajalela di Jepang hingga kini. Mirisnya, banyak kasus semacam itu justru menyerang korban-korban yang diantaranya masih di bawah umur. Oleh karenanya, bersamaan dengan presentase temuan survei, sebuah petisi pun dibuat agar kebijakan pencegahan khususnya pendidikan seks dapat diterapkan sejak dini dan pemerintah pun diharapkan dapat semakin tegas terlibat dalam memerangi kasus seksualitas yang ada.
1. Hasil data survei
Dalam survei yang dilakukan pada tanggal 9 hingga 31 Juli lalu itu, salah satu isi pertanyaan menyoroti tentang jenis pelecehan apa saja yang telah dialami partisipan ketika bersekolah. Berdasarkan hasil yang dirilis, sebanyak 24,8 persen mengatakan mereka pernah disentuh atau diraba-raba, 20,8 persen pernah dibuat untuk berpartisipasi dalam percakapan seksual atau diberitahu hal-hal tak senonoh, sementara 12,7 persen melaporkan telah menjadi sasaran tindakan seksual atau dibuat melakukannya, dan 12,7 persen sisanya mengatakan tubuh mereka pernah dilihat.
Mirisnya, hampir 80 persen dari mereka yang dianiaya secara seksual ketika masih anak-anak oleh gurunya tersebut mengatakan bahwa pada saat kejadian tersebut berlangsung, mereka tidak benar-benar menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Lalu, ketika ditanya kapan pada akhirnya mereka paham bahwa yang dialami itu adalah bentuk pelecehan seksual, sebanyak 22,6 persen menjawab “dalam 10 tahun”,12,2 persen menjawab “dalam lima tahun”, dan 10,4 persen mengakui baru sadar dalam “15 tahun setelahnya”.
Hasil ini menunjukkan bahwa banyak orang yang dilecehkan ketika masih anak-anak cenderung berpikir pada saat itu jika ‘perlakuan’ yang diberikan oleh guru mereka hanyalah bagian dari sesuatu yang wajar tanpa ada maksud tertentu. Karenanya, sangat sedikit kasus semacam itu dilaporkan kepada orang dewasa lain, mengingat anak-anak jarang memiliki kecurigaan tertentu terhadap sosok yang dihormati khususnya seorang guru. Dan itulah mengapa mereka baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi justru ketika sudah dewasa.
Selain itu, fakta yang lebih mengejutkan yang diakui oleh sebanyak 63,4 persen suara mengungkapkan, bahwa pelecehan yang mereka alami sebenarnya telah disadari oleh guru-guru yang lain, namun pihak ketiga tersebut justru berpura-pura seperti tidak mengetahui apapun dan membiarkannya begitu saja.
Di antara 108 responden yang mengaku telah mendapatkan pelecehan berulang kali pun, hanya lima orang yang pernah melibatkan orangtua dan polisi, sementara lebih dari setengahnya justru terus mengalami kejahatan seksual dari gurunya hingga akhirnya lulus dan berhenti bertemu satu sama lain.
“Ada banyak kasus saat pihak ketiga berpaling, dan orang-orang (di sekitar korban) cenderung mengatakan hal-hal seperti, ‘Guru itu tidak pernah bisa melakukan hal seperti itu,’ atau, ‘Kamu harus menyimpannya untuk dirimu sendiri.'” kata Ikuko Ishida, sosok yang merancang survei.
2. Kasus pelecehan seksual oleh staf pengajar terus meningkat sejak 2013
Menurut laporan yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan Teknologi Jepang, pada tahun 2018 silam ada sebanyak 282 kasus dimana staf pengajar di sekolah umum dari SD, SMP, SMA, dihukum karena telah melakukan tindak senonoh terhadap muridnya. Jumlah itu meningkat dari tahun-tahun sebelumnya dan selalu melebihi angka 200 sejak tahun 2013. Meskipun presentase itu hanya 0.02 dan 0.03 persen saja dari total keseluruhan staf pengajar yang ada di Jepang, tetapi kondisi itu jelas sangat mengkhawatirkan.
Pada bulan Juli lalu, Mainichi Shimbun melaporkan bahwa pemerintah Jepang akhirnya mulai mengadopsi serangkaian kebijakan untuk memperkuat tindakan melawan kekerasan seksual. Hal itu adalah untuk pertama kalinya pemerintah melakukan tindakan komprehensif terkait kasus pelecehan, yang terjadi sebagai buah tanggapan dari aksi “flower’s demo” (protes besar terhadap kejahatan dan kekerasan seks yang menyebar di seluruh Jepang sejak tahun lalu).
Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah diantaranya seperti mempromosikan pendidikan dan kesadaran tentang kekerasan seksual, meningkatkan dukungan bagi korban kejahatan dan melakukan pencegahan agar kejadian tidak berulang kembali. Jepang juga telah menyediakan pusat dukungan satu atap di sekitar 47 perfektur seluruh negeri yang akan memberikan perawatan medis, psikologis dan nasihat hukum bagi korban-korban kejahatan seks. Selain itu, pemerintah ikut menerapkan sistem untuk melacak pergerakan pelaku kejahatan yang dijatuhi hukuman percobaan atau bersyarat, dengan memasang perangkat GPS ke tubuh mereka. Namun untuk hal ini, negara tengah melakukan studi lebih lanjut selama dua tahun dalam penerapannya, agar langkah itu tidak disamakan dengan pelanggaran hak asasi manusia.
3. Pemerintah perlu lakukan lebih untuk tangani kasus kejahatan seks
Kekerasan seksual seringkali dikaitkan sebagai “pembunuhan jiwa” karena korban yang mengalaminya kerap mengalami ‘kerusakan’ secara fisik dan mental hingga membuatnya sulit menjalani kehidupan sehari-hari. Ikuko Ishida, si pengagas survei yang juga pernah menjadi korban pemerkosaan oleh gurunya, berkata bahwa tindakan peningkatan penanganan yang saat ini dilakukan oleh pemerintah masih belum cukup. Menurutnya, perlu ada rasa krisis yang lebih besar untuk menangani masalah tersebut.
“Saya tidak memiliki konsep apa pun untuk mencurigai seseorang yang adalah seorang guru, seseorang yang dimaksudkan untuk memberi contoh sebagai orang dewasa yang ideal,” kata Ishida, menceritakan pengalaman pahitnya dulu. “Jauh di lubuk hati, saya pikir saya berada di batas maksimum ketakutan. Seperti saat arus listrik mencapai puncaknya dan pemutus aliran listrik mati, ketika saya mengalami kekerasan seksual, saya malah terdiam dan tidak bisa merasakan apapun.”
Ishida juga menyampaikan bahwa anak-anak tidak memiliki kesadaran saat telah menjadi korban. Sampai pada akhirnya seseorang dapat menghadapinya, mereka akan cenderung menghindari untuk memikirkan atau membahasnya. Ia pun berharap agar orang-orang dapat menyadari tentang betapa mudahnya kasus pelecahan yang dilakukan seorang guru terjadi, dan ingin agar permasalahan itu lebih diperhatikan dengan sangat serius.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs idntimes.com, klik link disini!