Maaf, Mau ke Belakang

oleh

[ad_1]

Paling menyebalkan memang kalau sedang santai bersepeda di sore hari, melalui jalanan sepi, tiba-tiba disalip anak muda yang mempergunakan sepeda motor. Tak hanya kencang, tapi suara knalpotnya melebihi kebisingan deru balap MotoGP di televisi.

KENAPA ia mengubah knalpotnya? Apakah itu membuat sepeda motornya berlari lebih kencang? Buat apa, toh jalanan juga sempit dan kerap macet. Toh, ia juga tak mempergunakannya untuk balapan. Atau, sesederhana ingin menimbulkan suara gaduh sebagai penanda keberadaan diri dan sepeda motornya?

Ketika anak saya masih sangat kecil, belum bisa bicara, ia juga kerap menangis tiba-tiba tanpa pasal apa pun. Tangisannya kencang dan sering kali sulit dihentikan. Saya sering lelah, dan kalau terjadi di malam hari, besoknya mesti minta maaf ke tetangga sekiranya itu mengganggu.

Apakah ada sesuatu yang mengganggunya, dan ia mencoba menarik perhatian orang dewasa agar membantunya? Mungkin. Kita tak pernah bisa bertanya kepada seorang bayi, kita hanya bisa menebak-nebaknya. Kadang berhenti setelah diganti popok, dipangku, atau diajak ngobrol.

Dulu, saya pernah membaca bahwa iklan di televisi sengaja memiliki volume suara yang lebih kencang dari program tempatnya mendompleng. Tampaknya memang untuk menarik perhatian penonton. Bahkan, penonton yang memalingkan mukanya ketika iklan tayang jadi terpaksa menoleh, atau setidaknya terpaksa mendengar lebih kencang.

Suara yang keras memang kerap kali dipakai untuk meminta perhatian, dengan beragam alasan. Penjual keliling berteriak tentu agar orang tertarik dengan jualannya. Penjual pisang yang kerap kali datang ke kompleks rumah saya sering berteriak menyebutkan nama dua jenis pisang andalannya, sementara pedagang sate padang cukup mengeluarkan suara pendek seolah membentak, ”Te Padang!”

Suara yang sangat keras masalahnya bukan cuma mencari perhatian, sering kali juga terasa intimidatif. Seperti kasus suara sepeda motor dengan knalpot kencang, saya yang mempergunakan sepeda sering terpaksa minggir takut tertabrak, padahal sepeda motornya masih jauh.

Begitu pun anak yang menangis menjerit-jerit, sering menyebarkan ketakutan kepada orang dewasa. Kita dipenuhi pikiran buruk: jangan-jangan anak sedang kesakitan. Sesuatu yang tampaknya sepele, seperti popok basah, tiba-tiba menjadi ketakutan yang besar.

Sering kita saksikan dalam diskusi atau perdebatan yang mulai memanas, satu atau beberapa pihak mulai kehilangan kontrol. Ia ingin menguasai perdebatan dan mengambil jurus mengintimidasi, yakni dengan berteriak. Argumentasi menjadi tak lagi penting, dikalahkan volume suara. Bahkan dibumbui gebrak meja.

Saya jadi ingat peribahasa, tong kosong nyaring bunyinya. Semakin kencang, jangan-jangan memang isinya semakin bolong tak ada apa-apa. Ia hanya ada untuk membuat kegaduhan, untuk menjauhkan kita dari isi, atau membuat kita lupa kepada isi.

Saya jadi ingat satu buku karya Tanizaki Jun’ichiro berjudul In Prise of Shadow. Itu esai tentang estetika Jepang yang senang sekali dengan cahaya remang-remang, permainan bayangan, apresiasi terhadap permainan terang dan gelap. Yang paling terkesan adalah ketika ia membahas kamar kecil.

Baca juga: Mau Makan Apa? Terserah!

Ada kemiripan antara kamar mandi tradisional kita dengan Jepang. Biasanya terpisah dari rumah, berada di belakang, tapi terutama adalah itu tempat sepi. Ini penting, karena kesenyapan inilah yang sering kali menempatkan kamar kecil menjadi penting.

Di kebanyakan rumah, kamar mandi (atau sering juga disebut kamar belakang, kamar kecil) merupakan tempat paling sepi, juga agak remang-remang. Saya sering duduk sambil buang air di kamar kecil, sambil membaca buku, melamun, memikirkan ini dan itu. Jauh dari keriuhan dunia, kamar kecil justru menjadi semacam oase untuk mendengar keriuhan pikiran sendiri.

Di film, kita juga sering melihat adegan ketika satu karakter ingin menyendiri, ia lari ke kamar kecil. Di sana ia menutup pintu, mengunci, lalu menangis. Yang terdengar adalah kepedihan hatinya. Jauh dari teriakan tawaran produk, jauh dari adu mulut politikus yang berebut pengaruh, jauh dari suara bos yang menyemangati karyawan agar lebih produktif. Bisa jadi jauh dari kemarahan pasangan dalam hubungan penuh racun.

Kita kadang memang perlu menjauh dari keriuhan. Piknik, cuti, puasa bermedia sosial. Dalam kesunyian, siapa tahu kita bisa belajar makna keriuhan, arti kebisingan. Setidaknya, dari pengalaman saya sering duduk menyepi di kamar kecil, saya sadar satu hal. Bahwa suara paling kencang yang terdengar di kesunyian kamar kecil adalah suara cemplung kotoran sendiri.

Benar, bukan? (*)


*) EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis,nomine The Man Booker International Prize 2016

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.