Melintas Media, Melintas Makna

oleh

[ad_1]

Dua belas artikel di buku ini memotret reproduksi karya lintas media yang kian menggejala. Seperti jamaknya buku bunga rampai yang rawan dalam standardisasi konten, masih ada sebagian kecil artikel yang seolah dipaksakan selesai.

MESKI bukan fenomena yang sepenuhnya baru atau unik, reproduksi karya lintas media semakin menggejala dalam industri budaya digital mutakhir. Bermula dari karya sastra, misalnya, buku yang bisa mewujud dalam film, panggung teater, vlog, atau bahkan podcast.

Sebagai contoh, novel Bumi Manusia menginspirasi para pendulang rupiah melalui tiket bioskop, teater, berikut pemburu monetisasi berbasis subscribe dan komentar. Berbagai kritik dari sejumlah kalangan dilontarkan kepada para pelaku industri hiburan tersebut.

Antara lain, anggapan bahwa agen industri itu semata mencari laba ekonomi dan justru ”mengkhianati” makna serta semangat otentik dari karya dan penulis aslinya. Nyatanya, kritik-kritik tersebut –meskipun tetap sangat perlu dilakukan– sekadar menjelma riak kecil di tengah derasnya arus industri budaya yang berwatak anything goes.

Lalu, bagaimanakah fenomena-fenomena reproduksi lintas media itu sebaiknya dimaknai? Masih relevankah ide tentang otentisitas di era digital ini? Pada aras inilah buku Intermedialitas dan Politik Identitas di Era Digital ini dapat ditempatkan.

Buku yang dieditori Budiawan dan Satya Limanta ini berisi dua belas artikel yang diikat dalam dua tema utama, yakni intermedialitas dan politik identitas. Secara definitif, intermedialitas di buku ini dibedakan dengan dua istilah lain yang lazim terdengar: multimedialitas dan transmedialitas.

Dengan asumsi dasar bahwa terdapat celah atau ruang antara satu media dan media lainnya, intermedialitas dipercaya sebagai korelasi media, yakni kesalinghubungan dan kesalingpengaruhan antara satu media dan media lainnya (halaman viii). Sebagai suatu pendekatan, intermedialitas tidak sekadar menelaah tren reproduksi lintas media berikut pergeseran-pergeseran pola yang menyertainya. Lebih jauh dari itu, pendekatan ini digambarkan mampu mengelaborasi beragam konteks, baik historis, ideologis, maupun politis, dari media-media yang muncul berikut pemaknaan kritis terhadapnya.

Muncul pertanyaan: apa bedanya intermedialitas dengan intertekstualitas, satu konsep yang lebih dulu mapan dalam studi humaniora, khususnya ilmu sastra? Atau juga multimodalitas yang kerap dipakai para linguis?

Terdapat beberapa pernyataan singkat dalam buku itu yang mencoba menjelaskan. Di antaranya, ”Intermedialitas merupakan konsep yang baru…Dua teoretisi Jerman, Jurgen Muller dan Ernest Hess-Lutich, mulai mengembangkan konsep ini pada awal 1990-an sebagai bagian dari proyek teori hypertext mereka. Melalui konsep ’intermedialitas’, teori ’intertekstualitas’ diperluas untuk diterapkan pada analisis bentuk-bentuk tekstual berbasis internet, digital, dan baru (halaman x).” Paparan di subbab pembuka tersebut, sayangnya, belum menyediakan deskripsi terperinci dan adekuat untuk mengantarkan pembaca pada intermedialitas yang menjadi pendekatan utama kajian di artikel-artikel lain dalam buku ini.

Meskipun demikian, pembaca dapat menyimak kilasan deskripsi konseptual di artikel-artikel selanjutnya pada buku ini. Misalnya, dalam artikel Citra dan Pesona: Intermedialitas di Era Digital tulisan Stefanus Suprajitno, terdapat informasi bagaimana Irina Rajewsky, salah seorang teoretisi intermedialitas, membangun konsep teoretiknya dari teori dialogis Mikhail Bakhtin dan Julia Kristeva.

Lynda Susana dalam artikel Intermedialitas Sang Liyan dalam Film Kucumbu Tubuh Indahku (2018) memerinci tiga konsep kunci intermedialitas Rajewsky, masing-masing medial transposition, media combination, dan intermedial references (halaman 71). Lynda mengilustrasikan penerapan intermedialitas melalui kajian yang kompleks dengan temuan-temuan yang cukup meyakinkan dari hasil analisisnya. ”Film ini,” ujar Lynda, ”mengartikulasikan kompleksitas diskursif pada tubuh di mana hal ini diilhami riset tentang tubuh yang juga dituangkan dalam tarian berjudul Medium (halaman 84).”

Barangkali, sesuai dengan napas intermedialitas yang berupa kesalinghubungan dan kesalingpengaruhan, editor buku ini mengondisikan pembaca untuk merangkai sendiri pemahaman terhadap intermedialitas dari paparan satu artikel ke artikel lainnya.

Lebih jauh, fenomena-fenomena budaya yang dijadikan objek kajian buku ini beragam, mulai manga, film fiksi dan dokumenter, cosplayer, iklan, hingga selebgram. Isunya pun cukup menantang: politik identitas, yang merujuk pada bagaimana subjek menghadirkan diri dalam ruang sosial. Identitas androgini selebgram Jovi Adhiguna dan Anastasia Lie, misalnya, dibahas Selly Asatari secara apik dengan kelindan performativitas gender dan ekonomi.

Selly menunjukkan betapa feminitas dan maskulinitas bukan lagi sesuatu yang otentik dan fixed. Melainkan dinamis dan diniatkan sebagai komodifikasi tubuh yang dilakukan secara sadar.

Kajian serupa dilakukan Ariany Hendrayuwana dengan angle berbeda, yakni praktik crossdressing serta bagaimana media bisa menjadi peranti pembangun solidaritas kelompok para crossdresser. Memang, kompleksitas analisis khas kajian budaya diilustrasikan secara mantap oleh sebagian besar penulis di buku ini.

Baca juga: Menguak ‘Sihir’ Para Pesohor

Meski demikian, jamaknya buku bunga rampai yang rawan dalam standardisasi konten, masih ada sebagian kecil artikel yang terkesan deskriptif dan seolah dipaksakan selesai. Artikel berjudul Fluiditas Identitas Agnez Mo, misalnya, berakhir bahkan sebelum analisis dilakukan, meskipun ide kajian itu sesungguhnya bisa dielaborasi lagi secara dalam.

Namun, secara umum, buku kumpulan artikel ini layak menjadi gambaran awal bagi pembaca yang ingin mengetahui pemaknaan terhadap beberapa fenomena budaya di Indonesia melalui pendekatan intermedialitas. (*)


  • JUDUL: Intermedialitas dan Politik Identitas di Era Digital
  • PENERBIT: Penerbit Ombak
  • PENULIS: Budiawan dan Satya Limanta (Editor)
  • CETAKAN: Pertama, 2021
  • TEBAL: xxiv + 258 halaman
  • ISBN: 978-602-258-588-6

KUKUH YUDHA KARNANTA, Staf pengajar di Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Airlangga Surabaya

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.