Membaca Komunikasi Jokowi Lewat Kode soal Jabatan Presiden 3 Periode

oleh
oleh

[ad_1]

JawaPos.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku tidak ingin menjadi kepala negara selama tiga periode. Karena, Jokowi sadar dirinya bukanlah ketua umum partai politik.

Pakar komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo mengatakan Presiden Jokowi memang sudah dari dulu melakukan komunikasi dengan kode-kode politik seperti itu. Bahkan komunikasi politik itu sudah menjadi tradisi di Indonesia.

“Karena selama ini politik Jokowi seperti itu. Itu justru itu tradisi di Indonesia. Komunikasi yang dibangun dengan menggunakan simbol-simbol atau kode-kode yang tidak diucapkan tapi bisa dipahami,” ujar Suko kepada JawaPos.com, Sabtu (4/9).

Suko mengatakan, komunikasi di Indonesia berbeda dengan budaya barat misalnya di Amerika Serikat yang terang-terangan. Seperti saja di Amerika Serikat jika ada warga yang ingin menjadi calon presiden maka mereka akan terang-terangan. Namun di Indonesia berbeda komunikasinya lebih kepada kode atau simbol.

“Komunikasi politik di Indonesia berbeda dengan di barat yang nyata. Yang blak-blakan. Kita di Indonesia tidak biasa dengan komunikasi transparan, tapi memainkan simbolik-simbolik,” ungkapnya.

Suko menuturkan komunikasi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi memakai tradisi orang Jawa. Sikap penuh kode yang bisa dibaca banyak masyarakat. Di satu sisi menolak namun di sisi lainnya menerima. “Itu tradisi Jawa, karena menganggukan kepala belum tentu iya. Menggelengkan kepala belum tentu tidak,” katanya.

Suko mengatakan dalam ilmu komunikasi itu disebut dengan eufemisme. Yakni penghalusan makna atau kata. “Jadi komunikasi Pak Jokowi dengan gestur penuh makna, maknanya sangat multitafsir. Jadi tidak mungkin menolak, namun tidak mungkin mengungkapkannya ke publik,” ungkapnya.

Selain itu Suko menyoroti tentang Presiden Jokowi yang mengumpulkan para ketua umum partai politik di Istana Kepresidenan beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan tersebut membahas mengenai Ibu Kota Negara (IKN).

Kata Suko, di pertemuan itu Presiden Jokowi memberikan pesan bahwa memindahkan ibu kota tidak cukup hanya dua periode. Sehingga menyiratkan Jokowi ingin kembali menjabat di periode ketiga.

“Jokowi takut kalau dia selesai jabatan tapi pemindahan ibu kota belum terwujud. Karena ganti presiden belum tentu menyetujui. Karena itu memberikan pesan bahwa tidak cukup memindahkan ibu kota dalam dua periode,” tuturnya.

Suko berujar melanggengkan kekuasaan adalah keinginan pihak yang sedang berkuasa. Itu terjadi di banyak negara. Tidak menutup kemungikinan juga Presiden Jokowi sedang melakukan upaya tersebut. “Kalau di dalam kekuasaan melanggengkan kekuasaan itu terjadi di manapun. Saya kira Pak Jokowi kan pasti punya keinginan yang tersirat,” katanya.

Sementara, Sekretaris Jenderal Partai Hanura Gede Pasek Suardika mengatakan wacana menambah jabatan kepala negara sulit untuk terjadi. Pasalnya saat ini para ketua umum partai politik sudah bersiap untuk ikut kontestasi Pilpres 2024 dengan memasang baliho.

“Bola amandemen itu ada di partai-partai. Kalau ada di partai-partai maka rasanya tidak mungkin kalau amandemen yang sifatnya untuk menunjukkan Pak Jokowi tiga periode. Karena hampir semua ketua umum partai udah pasang baliho,” ujar Pasek.

Pasek mengatakan, jika ada amandemen UUD 1945 maka dibutuhkan kajian yang panjang. Sebab tidak mungkin perubahan salah satu empat pilar kebangsaan ini dilakukan dengan singkat. “Tapi kalau misalnya urusan kekuasaan itu saya kira harus dipikirkan matang. Artinya soal penambahan kekuasaan atau perpanjangan kekuasaan itu perlu kajian yang lebih komprehensif,” pungkasnya.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tentang Penulis: Redaksi

Pimprus
Website media INFOMURNI merupakan website resmi yang berbadan hukum, Berisikan berbagai informasi untuk publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.