Membela Palestina Atas Nama…

oleh

[ad_1]

KONFLIK Israel-Palestina selalu mendapatkan banyak perhatian dan dukungan dari masyarakat Indonesia. Lebih tepatnya, dukungan untuk Palestina dan kecaman terhadap Israel yang kerap menyerang Palestina secara brutal. Baik dilihat dari momen penyerangan (seperti penyerangan kali ini yang berbarengan dengan Hari Raya Idul Fitri) maupun dilihat dari target serangan (seperti kalangan sipil, perempuan, anak-anak, bahkan media).

Hal yang harus diperhatikan adalah tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mendukung Palestina karena alasan keagamaan. Palestina dianggap sebagai umat Islam yang ditindas maupun dijajah Israel. Anggapan seperti ini tidak sepenuhnya salah mengingat banyak rakyat Palestina yang beragama Islam. Bahkan, umat Islam merupakan penduduk mayoritas Palestina.

Meskipun demikian, anggapan di atas juga tidak sepenuhnya benar. Persoalan yang acap memancing aksi kekerasan antara Israel dan Palestina tidak melulu soal agama. Pada tahap tertentu, dukungan terhadap Palestina dengan mengatasnamakan agama justru memudaratkan terhadap Palestina.

Dikatakan demikian karena dukungan dengan mengatasnamakan agama (Islam) akan membuat canggung umat agama lain untuk memberikan dukungan yang sama. Padahal, sangat mungkin mereka memiliki perhatian dan kepedulian yang sama. Dan yang paling penting, dukungan terhadap Palestina atas nama agama bisa menambah perpecahan di tubuh Palestina itu sendiri.

Sebagaimana dimaklumi, saat ini banyak faksi di Palestina dalam mencapai kemerdekaan. Baik faksi-faksi yang bercorak nasionalis seperti Fatah maupun faksi-faksi yang bercorak Islamis seperti Hamas. Apa pun coraknya, faksi-faksi ini berjuang demi tujuan yang kurang lebih sama, yaitu mewujudkan kemerdekaan Palestina.

Karena itu, Palestina membutuhkan persatuan di internal mereka sendiri. Tanpa persatuan internal, Palestina yang merdeka akan selalu menjadi sebuah mimpi belaka. Di sinilah letak bahaya dari dukungan atas nama agama terhadap Palestina. Dukungan seperti ini hanya akan memperparah friksi-friksi di antara faksi-faksi yang ada di Palestina.

Dan bila ini terjadi, Palestina yang merdeka bukan hanya menjadi sebuah mimpi, tapi bisa menjadi mimpi buruk dengan jumlah korban yang terus bertambah. Baik dari kalangan anak-anak, perempuan, maupun orang-orang yang sudah lanjut usia.

Dalam hemat penulis, dukungan terhadap Palestina harus dilakukan dengan perspektif yang lebih strategis. Dalam konteks Indonesia, dukungan untuk Palestina bisa dilakukan dengan menggunakan perspektif kebangsaan. Sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa; bahwa penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadailan; dan bahwa Indonesia merdeka ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dengan perspektif di atas, masyarakat Indonesia secara umum sudah sepantasnya memberikan dukungan penuh terhadap Palestina yang masih mengalami penjajahan, apa pun latar belakang sosial dan keagamaan mereka. Dan berdasar perspektif di atas, pemerintah Indonesia harus lebih aktif sekaligus strategis dalam upaya mendukung kemerdekaan Palestina. Mengingat salah satu tujuan Indonesia merdeka adalah ikut membangun ketertiban dunia yang berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Pada tahap tertentu, dukungan untuk Palestina merdeka (demikian juga bangsa-bangsa lain yang belum merdeka) harus menjadi bagian dari ”kepentingan nasional”. Mengingat ”ikut melaksanakan ketertiban dunia” berada dalam satu tarikan napas dengan kepentingan nasional dari Indonesia merdeka, seperti melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di luar yang telah disampaikan di atas, dukungan terhadap Palestina harus dilakukan dalam bentuk aksi nyata untuk mewujudkan perdamaian, bukan melanjutkan aksi kekerasan. Dengan kata lain, dalam situasi yang tidak seimbang (secara kekuatan) seperti sekarang, dukungan yang ada harus mampu meyakinkan pihak Palestina dan Israel untuk menghentikan serang-menyerang. Bila tidak, jumlah korban akan terus bertambah, khususnya dari kalangan Palestina.

Harus diakui bersama, sampai hari ini dukungan yang tidak strategis seperti di atas masih kerap disampaikan banyak pihak. Termasuk sebagian tokoh masyarakat, tokoh agama, bahkan elite pemerintahan. Padahal, bila konflik yang terjadi terus berlanjut, yang akan menjadi korban justru rakyat Palestina.

Hal yang paling penting adalah dukungan terhadap Palestina harus dalam bentuk mewujudkan kemerdekaan negara itu. Dengan kemerdekaan yang ada, Palestina bisa membangun dirinya sebagai negara-bangsa, baik terkait dengan sosial-politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, maupun persenjataan.

Tanpa kemerdekaan, Palestina hanya akan menjadi entitas yang dengan mudah ”diteroriskan” dan dikambinghitamkan Israel. Bahkan, rakyat Palestina bisa terus menjadi korban dari keganasan senjata-senjata canggih yang dimiliki negara Yahudi itu.

Mewujudkan kemerdekaan Palestina membutuhkan kerja keras dan kerja sama yang berkesinambungan, baik dengan kekuatan global maupun pihak-pihak internal di Palestina itu sendiri. Kerja sama dua arah ini harus berjalan secara simultan. Sebab, tidak akan ada gunanya sebuah dukungan dari pihak luar bila internal Palestina belum bersatu seperti sekarang. Dan dalam keadaan seperti sekarang, sekuat apa pun perjuangan internal akan sia-sia tanpa adanya dukungan dari pihak luar, khususnya terkait dengan kemerdekaan sebuah bangsa.

Baca Juga: Setelah Di-DO dari Sekolah Usai Hina Palestina, Kini MS Alami Bullying

Dengan berlandas pada pembukaan UUD 1945, ditambah derasnya dukungan dari masyarakat luas di Indonesia, pemerintah Indonesia bisa menjalankan kerja besar di atas secara senyap dan strategis. Bahkan, hal ini bisa dilakukan tidak hanya sebagai ”dukungan atau bantuan”, melainkan sebagai satu kesatuan dengan kepentingan nasional Indonesia merdeka, sesuai dengan yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 sebagaimana di atas. (*)


*) Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.