Mengenal Janet Teowarang, Penerima Australian Alumni Grant Scheme

oleh

[ad_1]

Terus menyebarkan konsep sustainability dalam industri fashion membuat Janet Teowarang, fashion designer asal Surabaya, melanjutkan proyeknya yang dibuat pada 2019–2020. Yakni, memberikan pelatihan kepada perajin batik Pasuruan. Proyek yang merupakan skema dana hibah dari pemerintah Australia itu akan dimulai awal Juni.

MARIYAMA DINA, Surabaya

SIANG itu Janet Teowarang bersama timnya, Rahayu Budhi Handayani dan Enrico, berkumpul di lantai 17 Universitas Ciputra (UC) Tower untuk membahas proyek mereka Juni nanti. Pada 2019, Janet terseleksi menjadi salah seorang penerima Australian Alumni Grant Scheme untuk membuat sebuah proyek perubahan. Janet pun ingin menyebarluaskan konsep sustainability di industri fashion melalui dana hibah yang diterimanya.

Proyek yang diberi nama Promoting Three-Pillar of Sustainability Fashion Industry itu telah selesai pada Juni 2020. Dan, pada 2021 ini, dia kembali melanjutkan proyeknya dengan tetap mengangkat konsep tiga pilar tersebut. Proyek itu diteruskan karena Janet ingin membuka pemikiran masyarakat lebih luas lagi terkait dengan konsep sustainability yang sebenarnya tidak hanya berfokus pada lingkungan.

Tiga pilar yang dimaksudkannya di sini dijelaskan dengan detail. Pilar sosial yang berfokus pada pemberdayaan perempuan perajin batik di Kabupaten Pasuruan. Pilar lingkungan yang berfokus meningkatkan kesadaran pada ciri khas motif batik Kabupaten Pasuruan. Juga, pilar ekonomi yang berfokus untuk pemulihan para perajin batik di Kabupaten Pasuruan. Tujuan lain adalah memperkuat proyek kolaborasi antara Indonesia dan Australia.

”Yang berbeda, kali ini saya lebih mengerucutkan siapa saja yang ikut dalam proyek ini,” jelasnya saat ditemui Selasa (25/5).

Jika di proyek sebelumnya yang ikut adalah warga di Desa Tenun di Pasuruan, kali ini hanya warga yang memang perajin batik yang boleh berpartisipasi. Janet tidak pilih-pilih. Namun, berkaca dari pelatihan sebelumnya, tidak sedikit warga yang merasa kurang antusias karena tidak mempunyai background di industri yang sama dengannya.

”Jadi, di sini kami bakal bener-bener fokus pada industri fashion,” tuturnya.

Proyek yang akan dimulai pada 5 Juni itu diikuti 100 perajin batik dari kabupaten tersebut. Namun, karena pandemi masih berlangsung, semua pelatihannya akan diadakan secara online. ”Benar-benar full online. Kami nggak akan ke Pasuruan ataupun temen-temen perajin yang ke Surabaya,” ujar perempuan yang juga seorang dosen fashion di Universitas Ciputra tersebut.

Pelatihan berbasis online itu bakal sedikit menantang. Sebab, melatih untuk membuat motif batik yang benar-benar sesuai dengan pasar internasional tentu tidak mudah. ”Di sini saya bersama tim, yakni Bu Rahayu dan Pak Enrico, tahun lalu pernah memberikan pelatihan tentang batik secara online,” jelasnya.

Rahayu dan Enrico yang juga dosen fashion UC menjelaskan cara mereka untuk bisa memberikan pelatihan yang bukan sekadar materi. Namun, hasilnya juga bisa sesuai dengan harapan. ”Yang pertama, karena banyak pesertanya, akan kami bagi menjadi dua kelompok besar,” terang Rahayu. Setiap sesi diikuti 50 peserta. ”Jadi, memang pelatihannya nggak langsung sehari 100 orang,” lanjutnya.

Setelah itu, mereka akan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil lagi. Barulah pendampingan berkala terus dilanjutkan. ”Nah, masalah selanjutnya mungkin akan seperti ini. Kalau cuma dilihat lewat layar monitor, batik tentu berbeda dengan aslinya,” jelas Enrico.

Terlebih soal proporsi gambar dan warnanya. ”Jadi, nanti mereka mengirimkan sampel kecil-kecil. Dari situ baru benar-benar bisa dilihat hasil riilnya,” terangnya.

Goal dari pelatihan untuk perajin batik Pasuruan tersebut adalah membuat motif batik khas Pasuruan yang memanfaatkan pewarna alami. Tantangannya, motif dan warnanya tentu harus sesuai dengan selera pasar internasional meski tetap dengan ciri khas ketradisionalan Indonesia. Sebab, di akhir proyek nanti, motif batik tersebut didesain menjadi 10–12 desain baju yang ditampilkan di Australia.

Janet menyatakan, ciri khas dari batik Pasuruan adalah motif bunga krisan hingga Penanjakan Bromo. ”Tapi, untuk warnanya nanti, kami bermain di warna natural atau indigo,” katanya. Janet akan mendesain sesuai dengan konsep sustainability fashion. Salah satunya, desain yang timeless atau tidak terbatas musim.

Namun, akibat pandemi, fashion show yang mereka tampilkan nanti dihelat secara virtual. ”Jadi, kami hanya mengirimkan video semacam runway untuk show yang akan digelar pada Maret 2022,” ungkapnya.

Batik karya 100 peserta yang mendapatkan pelatihan pun kembali dikurasi untuk mengetahui motif-motif mana yang sesuai dengan konsep Janet dan tim.

Baca Juga: Ada Pertanyaan Soal Qunut, TWK Dinilai Bisa Memecah Belah Bangsa

Dia berharap para perajin batik bersemangat membuat motif batik yang kreatif. Sebab, hasil kerja keras mereka juga bakal ditampilkan di kancah internasional. Dari situ, diharapkan para perajin batik dari Pasuruan tidak hanya mendapatkan pelatihan. Mereka juga bisa mengembangkan lagi ilmu-ilmu yang telah didapat selama proyek yang bakal berlangsung sekitar 10 bulan tersebut.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.