Menuju Kemenangan Sejati Melawan Pandemi Covid-19

oleh

[ad_1]

KEHENINGAN, kekhidmatan, dan kekhusyukan Ramadan ternoda oleh aksi OTT KPK terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat (10/5/2021). Dia dikenal luas sebagai pejabat publik yang bersih, kaya raya, dan tidak mengambil gaji, serta calon pemimpin masa depan. Di tengah kerja keras bangsa ini keluar dari kubangan pandemi Covid-19, berita OTT tersebut ibarat palu godam yang mengentakkan kesadaran terdalam nurani bangsa ini. Ternyata kita tengah dikepung oleh dua jenis pandemi yang sama-sama ”mematikan”: pandemi Covid-19 yang menyerang fisik-jasmani kita dan pandemi moral yang menggerogoti psikis-spiritual kita.

Pelajaran moral yang bisa kita petik dari peristiwa OTT tersebut adalah setiap individu dari bangsa ini tidak boleh terlalu percaya diri atau jemawa terhadap sistem imunitas spiritual kita. Kepercayaan diri yang overdosis justru dapat menjadi toksin tambahan yang menyerupai penyakit autoimun. Alih-alih sistem antibodi kita mampu mengidentifikasi dan menghadang gempuran virus dari luar, sistem imunitas tubuh kita justru menyerang sel-sel sehat dari dalam. Selain itu, sistem deteksi internal terhadap kemunculan ancaman virus pandemi moral harus dihidupkan sepanjang hayat.

Kejatuhan Peradaban

Dahsyatnya pandemi Covid-19 sebenarnya tidak mampu menandingi dahsyatnya pandemi moral. Jika pandemi Covid-19 merontokkan sendi-sendi kehidupan yang bersifat fisik dan tangible (kasatmata), pandemi moral siap meluluhlantakkan kehidupan yang bersifat nonfisik dan intangible (tidak kasatmata). Dampak kerusakan pandemi moral dapat melipatgandakan efek penderitaan dan kesengsaraan yang bersifat masif-sistemik. Artinya, dampak kerusakan pandemi moral memiliki efek domino yang jauh lebih dahsyat ketimbang dampak pandemi Covid-19.

Dalam pandangan kaum pesimistis seperti Christopher Gowans (Innocence Lost, 1994), tragedi moral dapat menyebabkan dampak kerusakan yang tidak dapat diperbaiki (irreversible damages). Kehancuran dan kepunahan bangsa-bangsa dari panggung peradaban umat manusia selalu diawali defisit moral. Dalam konteks ini, Alquran banyak menginformasikan punahnya bangsa-bangsa terdahulu akibat degradasi moral yang telah mereka perbuat. Contoh, hancurnya Bani Rasib umat Nabi Nuh AS (QS Hud: 43), kaum Sodom umat Nabi Luth AS (QS Al-A’raf: 80), kaum Tsamud umat Nabi Saleh AS (QS Hud: 61), kaum Aad umat Nabi Hud AS (QS Fushilat: 15), dan sebagainya berawal dari dekadensi moral yang mengabaikan pesan Tuhan.

Selain narasi kitab suci, cerita hancur dan punahnya bangsa-bangsa besar juga telah dinarasikan oleh banyak sejarawan (Ibnu Khaldun, 1377; F. Guizot, 1878; J. Diamond, 2013). Berbagai dinasti, kerajaan, dan bangsa datang silih berganti mengisi lembaran sejarah peradaban manusia. Tetapi, ada satu benang merah yang membuat bangsa-bangsa tersebut hancur dan punah: faktor internal berupa sikap mental kolektif yang mengabaikan nilai-nilai moral sebagai pemandu utama kehidupan. Sikap mental semacam ini menyebabkan pembusukan dari dalam yang mengantarkan mereka pada kehancuran-kepunahan.

Pandemi Moral

Pandemi moral sebagai penyebab internal kepunahan sebuah peradaban layak digarisbawahi di sini. Erich Fromm (1982) menyebutnya sebagai ”sindrom pembusukan” (syndrome of decay), sementara Mcfarland (2020) menyebutnya sebagai ”pembusukan moral” (moral decay), dan Odunze (1983) menyebutnya sebagai ”dekadensi moral” (moral decadence).

Indonesia memang masih ada di peta sejarah bangsa-bangsa dan berdiri kukuh sebagai sebuah negara. Tetapi, kepunahannya bukan sesuatu yang mustahil jika pengeroposan dan pembusukan moral justru dilakukan dari dalam oleh bangsa sendiri.

Yang justru memprihatinkan adalah kasus-kasus OTT ternyata melibatkan figur publik yang memiliki rekam jejak ”mentereng” secara moral. OTT terhadap mantan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah yang pernah menerima penghargaan Antikorupsi Bung Hatta Award menjadi contoh yang paling gamblang, selain tentu saja OTT terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat. Ada juga OTT terhadap mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang mengorupsi dana bantuan penanganan Covid-19.

Kasus-kasus OTT terhadap sejumlah figur publik yang dicitrakan sebagai pejabat bersih menyisakan keprihatinan mendalam dalam kamus kehidupan politik kita yang masih dikuasai sistem ”kartel” dan oligarki politik. Pelajarannya adalah: figur-figur muda yang potensial tidak boleh dimanjakan oleh pujian berlebihan karena perjalanan karier politik mereka masih ”koma”, belum ”titik”. Di sepanjang karier politiknya, mereka masih mungkin menghadapi lubang ujian yang dapat membuatnya terpeleset, terpelanting, dan terjatuh di tengah jalan.

Dalam sistem politik ”kartel” dan oligarki, isunya adalah pertarungan antara kekuatan moralitas individu versus sistem politik korup yang koersif. Dalam sistem politik semacam ini, sekuat apa pun mekanisme pertahanan moral yang dimiliki oleh seorang individu tidak bisa menjamin kemenangan melawan korupnya sistem politik ”kartel” dan oligarki. Siapa pun dan sesaleh apa pun seorang pejabat belum tentu tahan uji terhadap godaan korupsi yang menghadang di depannya.

Menghadapi pandemi moral bangsa yang sedemikian akut dan mengkhawatirkan, memaknai takwa sebagai vaksinasi sekaligus detoksifikasi spiritual menemukan signifikansinya. Vaksinasi spiritual menjadi kebutuhan mendesak untuk memenangkan pertarungan melawan pandemi moral yang efeknya jauh lebih dahsyat dan sistemik. Diraihnya derajat takwa sebagai tujuan ibadah puasa (QS Al Baqarah: 183) harus dimaknai sebagai upaya membentengi diri dari segala mara bahaya yang dapat merusak diri sendiri maupun orang lain (Fazlur Rahman, 1980).

Baca Juga: Dituding Loyo dalam Membela KPK, Ivanka Slank: Akhir Jaman Makin Dekat

Namun, apa lacur, kebanyakan pelaku puasa masih berkutat pada pemaknaan puasa sebagai penggugur kewajiban. Imam Al Ghazali menyebutnya sebagai ”puasa awam”. Kata Nabi SAW, puasa yang demikian tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga. Takwa yang secara harfiah bermakna ”penghindaran” dan ”pencegahan” dari berbagai mara bahaya seharusnya diinternalisasi oleh para pelaku puasa sebagai nilai inti (core value) yang melandasi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak sepanjang hidup. Hanya dengan cara demikian bangsa ini akan dapat memenangi pertarungan melawan berbagai macam pandemi, terutama pandemi dekadensi moral. Semoga! (*)


*) Masdar Hilmy, Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.