Mereka Mungkin Ada di Sekeliling Kita

oleh
oleh

[ad_1]

Dan seharian ini dia kerap tertawa. Kadang lepas, keras. Ada juga yang tipis-tipis saja. Tapi tak jarang pula hanya senyum dengan bibir miring ke kiri.

YA, ke kiri. Tak sekali pun terlihat ke kanan. Jangan ditanya kenapa. Coba pikir saja sendiri. Barangkali dia sedang menyimpan kegetiran, kebohongan, amarah, atau entah lah.

”Ketiadaan jangan sampai membuatmu hilang pegangan. Apalagi sebagai lelaki,” tiba-tiba dia bicara pada awal malam. Tapi tertawanya tak serta-merta berhenti.

Dia tidak gila. Waras sewarasnya. Masih tahu dengan orang. Kewajiban sebagai manusia pun masih dijalani.

Tapi begitulah. Biasanya soal kerjaan. Dari kantor. Tepatnya bukan kerjaan itu betul. Tapi orang yang di sekeliling pekerjaannya itu.

”Bos… hahaha, gila!” Nada suaranya tinggi seiring dengan kaleng kerupuk nasi berderam di lantai.

Nah, kan. Apa aku bilang. Bos lagi, bos lagi. ”Hei…! Jangan kausetel keras-keras musik itu. Mengganggu tetangga. Kalau kau mau, tumpahkan saja padaku.”

”Di masa chaos, musiknya harus cadas,” jawabnya sambil mengempaskan pintu kamar.

”Edan. Aktivis gagal. Seniman tanggung. Laki-laki tak…, agh.” Tak tega aku menyambungnya. Dia sahabatku. Kawan dari kecil.

Saat sudah begitu, memang jarang dia mau mendengarkan. Seandainya mau, pilihan kami main catur. Baca puisi di atap rumah. Atau keliling kota.

Bila tak digubris, aku duduk di warung Bang Bintang di depan kos-kosan putri Nenek Salma. Kopi setengah gelas, kerupuk jengkol lima bungkus, dan donat dua. Itu habis dua atau tiga jam sambil ngomong banyak hal dengan Bang Bintang. Lalu pulang lagi.

*

Soal bosnya itu sudah sering aku nasihati. Matahari jangan ditentang. Kalau minta rokok, belikan saja. Kalau suka memotong uang makan siang, bawa bekal dari rumah. Kalau si bosnya itu suka dipuji-puji, paling tidak kasih lah jempol dan katakan mantap.

Saat dia memburuk-burukkan koleganya, bila benar-benar tak bisa pergi seperti dalam rapat, senyum-senyum saja lah. Tapi jangan miring ke kiri. Ke kanan pun tak usah. Angguk-anggukkan juga kepala sedikit. Bukan tanda setuju. Itu tanda seolah-olah menyimak saja. Apa susahnya?

”Aku tahu, Bur. Tapi lihat sekelilingmu. Teman-temanmu orang yang takut kehilangan pekerjaan. Kau tidak ada kawan, tapi tak mau pula meninggalkannya. Heran.”

Pembicaraan yang tenang akhirnya bisa kami mulai. Sudah tengah malam.

”Mereka ada di mana-mana. Merasa jagoan. Giliran diminta maju ke depan, ngakunya nanti tak bisa bendung emosi dan tak ingin terjadi perkelahian. Beh…!”

Selain si bos, yang sedang dibicarakan Bur itu adalah seniornya. Arif Talago. Orangnya juga tak mau makan kritik. Sering merasa bisa mengerjakan kerja orang lain.

Yang membuat Bur tak simpatik padanya adalah tingkat kepelitannya. Jahit sakunya rapat. Kalau ada seseorang yang mendapat fee proyek sibuk dia menyindir-nyindir untuk ditraktir. Bila yang bersangkutan tak mau, habis lah di-bully.

Nah, kalau dia yang sedang mendapat, banyak alasannya. Mungkin bisa dimaklumi juga. Sebab, gajinya pas-pasan, punya tanggungan lima anak dan dua bini.

Cerita tentang ragam koleganya di kantor sudah sangat sering dia ceritakan padaku. Terutama ketika ada masalah yang menampar mukanya di kantor. Tapi dia tak kunjung angkat kaki. Mencari di tempat lain. Bahkan sudah datang sejumlah tawaran.

Nah, soal itu, satu setengah bulan lalu aku tahu alasannya. Ternyata karena cinta. Tidak pada pekerjaan, tapi pada perempuan. Via namanya. Sering muncul dalam bait-bait puisinya setelah ajakan menikahnya ditolak dengan halus.

Karena ditolak secara halus, Bur beranggapan dia masih punya kesempatan. Apalagi Via yang memang baik hati itu tak pernah menjauhinya. Bahkan suka dengan puisi-puisi Bur. Sering Via memberi like pada setiap posting-an puisi Bur di Facebook.

Dan yang membuat Bur merasa masih punya kesempatan karena Via kerap minta dibelikan es krim bila mereka berjumpa di kantor. Permintaan yang tak pernah ditolaknya. Sesekali, tanpa diminta pun akan dibawakannya untuk Via.

”Makasih es krimnya ya, Bur. Moga rezekinya makin banyak.” Dapat pesan singkat seperti itu dari Via, senangnya tak dapat dikata. Jadi pula satu puisi. Judulnya Es Krim Itu Meleleh di Jantungku.

Sekali saja aku baca puisi itu. Dalam hati saja. Jelek. Sulit untuk dipahami. Mungkin hanya Via yang paham. Karena satu-satunya like pada posting-an puisi itu ya dari Via.

Bur suka Via, bukan karena Via cantik dan juga baik hati. Ini alasannya. ”Kami memiliki jiwa yang sama,” kata Bur pada suatu ketika.

Ya, paling tidak alasan itu berlaku hingga Via tiarap karena serius diancam akan dipecat. Biasa, sebagai mantan aktivis, Via tak bisa diam kalau melihat sesuatu tidak pada tempatnya. Tak peduli itu pada sikap atasannya. Jadi, alasan Bur menyukai perempuan berkacamata itu sepertinya omong kosong saja.

*

Enam bulan berlalu. Jam makan siang baru saja lewat beberapa menit lalu. Tapi Bur, lelaki ikal berbadan atletis itu, sudah pulang saja. Langkahnya agak lunglai. Pintu pagar dibiarkannya terbuka. Masuk rumah, sepatu tak dibuka.

Sepertinya, ada yang dia genggam di tangan kirinya. Sesampai di kamar, sepatu tak juga dilepaskan. Lagu-lagu Barat romantis 80-an dan 90-an yang ada dalam playlist-nya dia setel. Tidak keras-keras. Ia pun menjatuhkan badan ke tempat tidur. Tanpa sepatah kata pun. Pandangannya ke langit-langit.

Sesuatu yang dalam genggamannya tadi ada di meja kerja. Aku buka dan baca. Surat mutasi kerja. Pindah ke daerah. Ke kampung halamannya. Tapi naik jabatan. Jadi kepala perwakilan.

”Selamat, Teman. Sudah berkawan kau dengan si bos? Harusnya ini dirayakan,” aku girang. Tapi dia senyum saja tidak.

Lalu, meski dengan nada rendah, amarahnya tetap terasa. ”Begitulah cara menyingkirkan orang-orang yang sering berseberangan denganmu. Agar orang lain tak bisa merabanya.”

Seketika dia bangkit. Kini tepat di depan mukaku. Tatapannya intimidatif. ”Kau mau tahu, apa kata tikus itu saat memberikan surat ini? ’Bur. Orang sepertimu punya talenta yang tak boleh disia-siakan. Ini kepercayaan besar untukmu.’ Dia ucapkan itu tanpa melihat mataku. Tapi ke samping kiri telingaku, tepat ke arah pintu ruang kerjanya. Kautafsirkan saja lah lagi.”

Ini, cerita Bur, bukan ide si bos. Ini ide busuk Edo. Salah seorang kepercayaan si bos. Info itu didapatkannya dari Joko yang di kantor tersebut terkenal punya antena tinggi untuk cerita-cerita semacam ini.

Dan ini bukan soal perjalanan karier dari mereka berdua, yang sejak awalnya memang sudah bersaing dengan ketat. Memang, Edo saat ini sedang berada di atas angin. Dia lebih didengarkan si bos. Edo pun sangat pandai dengan si bos. Mau memahami dan mengikuti keinginan si bos. Bekerja baginya betul-betul mencari uang. Jadi, bila dekat dengan kekuasaan, sumber uang pun semakin dekat.

Gaya Edo sangat bertolak belakang dengan Bur. Namun sekali lagi, amarah itu muncul bukan karena persaingan dalam karier. Ini soal cinta. Sebab, mereka juga bersaing untuk mendapatkan Via. Pindah ke daerah berarti jauh dari perempuan berlesung pipi itu. Edo pun jadi punya banyak kesempatan mendekati Via.

Itu yang tak mampu dibayangkannya. Melepas begitu saja pengharapan, pujaan hati, yang selama ini membuat dia bertahan di perusahaan itu.

Menolak perintah berarti memilih untuk keluar dari perusahaan. Itu tidak bijak pula. Via pun akan tetap jauh dari pandangan dan jangkauan.

”Waktumu hanya dua pekan. Keputusan harus diambil. Apa yang akan kaulakukan, Bur? Puisi dan es krim sudah terbukti tak mampu meluluhkan hatinya,” kataku.

”Aku akan melamarnya sekali lagi. Kali ini dengan sesungguh-sungguhnya. Akan kuminta ibu melamarkannya langsung kepada orang tuanya. Doakan aku, Bro.”

*

Belum sempat Bur pulang kampung dan meminta ibunya melamarkan Via untuknya, kabar yang paling menyayat hatinya datang tiba-tiba. Di tengah kesibukan jam kantor yang sedang pada puncak-puncaknya.

Menjelang siang ketika itu. Edo datang dan berteriak minta perhatian dari seluruh orang yang ada di ruangan tempat Bur bekerja. ”Pengumuman! Kabar gembira. Perempuan yang jadi incaran banyak lelaki di kantor ini akan segera menikah!”

Pernyataan Edo berhenti sampai di situ. Dia pun mondar-mandir di depan orang-orang sembari memperlihatkan tumpukan undangan pernikahan yang dibawanya. Undangan itu tak langsung dibagikan. Dia kembali ke posisi semula. Di depan pintu masuk.

”Namanya Via!” teriak Edo melanjutkan pengumumannya.

Kata terakhir tersebut mengguncang batin Bur. Saat yang lain bertepuk tangan, dia tertunduk. Tangan kursi diremasnya sekuat tenaga agar amarahnya tak meluap seketika itu.

Orang-orang pun bertanya, ”Siapa lelaki beruntung itu?”

Dengan langkah penuh kemenangan, Edo membagikan undangan itu. Bur sekuat tenaga menyimpan emosi saat undangan itu sampai ke tangannya. ”Hampir kau tak diundang. Beruntung aku ingat namamu. Datang, ya!” ucap Edo.

Di undangan tertera nama Via dan si bos.

*

Telah 20 jam Bur di kamar. Itu setelah dua hari undangan tersebut diterimanya. Sesekali terdengar dia tertawa. Tapi ingat. Dia tidak gila. Masih waras sewarasnya.

Dan aku hanya bisa mengirim pesan singkat padanya, ”Ini bukan kekalahan, Kawan!” (*)

Padang, Januari 2021


GANDA CIPTA

Lahir 4 Mei 1984. Alumnus Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas. Selain menulis cerpen, juga menulis puisi, resensi buku, dan wartawan di Kota Padang.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tentang Penulis: Redaksi

Pimprus
Website media INFOMURNI merupakan website resmi yang berbadan hukum, Berisikan berbagai informasi untuk publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.