[ad_1]
Satu
Aku terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Kepalaku seperti diganduli besi, pening luar biasa. Aku kembali menutup mata. Mungkin berbaring lebih lama akan membuat perasaanku sedikit membaik. Tetapi tidak, aku tidak merasakan sakit di kepalaku berkurang. Karena pijatan ringan di kepala sama sekali tidak membantu, aku memaksa membuka mata. Analgetik. Ya, sepertinya aku butuh sebutir analgetik untuk memulai hari.
Tunggu dulu, ini di mana? Suasana asing menyergap ketika mataku benar-benar terbuka. Ini bukan kamar Yanti yang sudah empat bulan kutempati. Pening yang aku tadi menyiksa mendadak berkurang drastis.
Telapak tanganku tiba-tiba berkeringat di tengah dinginnya suhu yang ditebar pendingin ruangan. Ini kamar hotel. Bagaimana aku sampai bisa berada di tempat ini? Tenang, Key, tenang.Ak menyugesti diri sambil menarik napas panjang dan teratur. Sulit.
Aku beringsut ke tepi ranjang, menjuntaikan kaki ke bawah tanpa menjejak lantai sambil mencoba mengingat-ingat. Berusaha mengumpulkan detail peristiwa yang akan membuat keberadaanku di sini masuk akal.
Sakit kepalaku hampir sepenuhnya hilang secara ajaib. Baiklah, aku ingat saat pulang dari klinik. Yanti berteriak panik dan menyeretku keluar rumah dari pintu dapur yang sempit saat aku sedang menyendok nasi dari rice cooker.
“Mereka datang, Key!” seru Yanti sambil berlari. Dia terus mencekal lenganku supaya kami tidak terpisah. “Hidupku memang menyedihkan tapi mati muda di tangan mereka nggak masuk dalam daftar pilihanku sekarang.”
Aku tahu siapa yang dimaksud Yanti dengan mereka. Selama hampir empat bulan menumpang tinggal di rumah kontrakannya, aku sudah beberapa kali melihat pria-pria sangar dengan tubuh kekar itu. Aku hanya mengintip di balik tirai karena Yanti tak mengizinkan aku keluar bertemu mereka.
Orang-orang itu adalah debt collector. Mereka datang menagih utang. Ayah Yanti meminjam uang dalam jumlah besar kepada bos mereka sebelum pergi dari rumah.
Dua tahun lalu ayah Yanti kehilangan perusahaannya karena bangkrut. Untuk bangkit kembali, dia menjual semua aset miliknya yang tersisa setelah membayar pinjaman di bank. Hanya saja, yang tersisa memang tidak banyak, dan rentenir menjadi satu-satunya pilihan. Bukan rencana cemerlang karena usaha baru ayah Yanti gagal dan yang tersisa hanyalah tumpukan utang yang harus dilunasi. Sayangnya pilihan ayah Yanti dengan pergi tidak serta-merta menghilangkan masalah, karena para debt collectors itu mengalihkan serangannya pada Yanti. Mereka memaksa Yanti yang membayar utang itu.
“Mengapa kita harus lari sih, Yan?” Aku tersengal-sengal. Jarak rumah reyot kontrakan Yanti dengan jalan raya yang sedang kami tuju lumayan jauh. Aku jaga dua shift sekaligus dan melewatkan makan siang. Sekarang sudah hampir jam sepuluh malam. Aku kelelahan. Kelaparan. Dan berlari sekuat tenaga sama sekali bukan hal yang ingin kulakukan sekarang.
“Aku sudah janji untuk ngasih paling nggak lima belas, minggu lalu, Key,” kata Yanti ketika kami sudah berada dalam taksi yang membawa kami pergi. “Tapi aku belum dapetin duitnya. Mas Ray janji untuk kasih uang itu malam ini setelah pekerjaan tambahanku selesai.”
“Lima belas?” Aku memperjelas. “Juta?”
“Nggak mungkin lima belas ribu kan, Key?”
“Kamu nggak bisa minta perpanjangan waktu gitu?” Aku masih berusaha mengatur napas. Keringatku yang bercucuran belum sepenuhnya kering meskipun AC taksi cukup dingin.
“Sama mereka? Yang benar saja!” Yanti tertawa miris. “Aku sudah bermain kucing-kucingan seminggu terakhir ini untuk lima belas juta itu, Key. Dan sialnya, uang sebanyak itu hanya untuk menebus sebagian kecil bunga utang.”
Aku terdiam. Andai saja ada yang bisa kulakukan untuk membantu. Tapi aku tidak bisa apa-apa. Alih-alih membantu, aku malah menambah beban Yanti dengan tinggal di rumah kontrakan reyotnya selama empat bulan ini.
“Maaf, Yan.” Aku benar-benar tidak berguna sebagai teman.
Yanti mengelus lenganku. “Aku senang kamu ada di sini sama aku, Key. Kamu bikin aku bersemangat. Kalau kamu nggak ada, aku mungkin sudah memotong nadiku sendiri.”
Kami berpelukan tanpa suara. Ini keadaan yang sulit untuk kami berdua.
Taksi kemudian berhenti di depan pub, tempat kerja Yanti.
“Kamu mau kerja juga dalam keadaan seperti ini?” Sulit membayangkan Yanti bisa berkonsentrasi dengan lonjakan adrenalin barusan. “Orang-orang itu tahu kamu kerja di sini. Mereka bisa saja menyusul.”
“Malam ini aku nggak kerja di sini.” Yanti menahanku yang hendak ikut turun. “Tunggu di sini saja. Aku hanya ngambil kostum, terus kita jalan lagi.”
Aku menurut, tetap duduk dalam taksi. Yanti kembali tidak lama kemudian. Sebuah tas besar tersampir di pundaknya. Aku merasa waswas ketika dia menyebut nama sebuah hotel berbintang 5 di kawasan Thamrin. Tetapi aku memutuskan untuk tidak bertanya. Beban Yanti sudah terlalu berat jika harus menjawab pertanyaanku juga.
Hanya saja, aku tidak bisa menutup mulut lebih lama saat Yanti menarikku ke toilet.
“Kamu sebenarnya kerja apa di sini sih, Yan?” Aku menarik paksa tas berisi pakaian itu. Yanti bertahan, tetapi itu malah membuat isi tas lantas berhamburan keluar. Aku berjongkok memungutnya, meneliti, dan lantas menunjukkannya dengan kasar di wajah Yanti. “Y Tuhan, apa ini? Jangan bilang kamu mau kerja dengan pakaian kayak gini!” Pakaian itu kubanting kuat-kuat ke lantai.
Aku menarik pergelangan tangan Yanti yang hendak memungutnya. Yanti menatapku. Keputusasaan dapat kutangkap jelas di sana.
“Jadi aku harus gimana, Key? Menyumpahi ayahku yang entah di mana?” Dia kembali tertawa getir “Aku nggak bisa. Ayah sudah memanjakan aku hampir seumur hidup. Bangkrut nggak ada dalam rencananya. Aku nggak bisa menyalahkan Ayah begitu saja. Ini pasti berat untuk dia juga.”
Aku terduduk di lantai. “Pekerjaan itu…,” aku tidak sanggup mengeluarkan kecurigaanku. Kostum yang kini teronggok di depanku adalah kostum perawat superseksi. Lengkap dengan cap dan stocking hitam. Yanti bukan perawat. Jarinya terluka sedikit saja dia sudah berteriak panik.
“Mas Ray yang kasih kerjaan ini.” Yanti ikut duduk bersamaku di lantai. Kami saling berhadapan, sama-sama putus asa. “Aku hanya perlu menghibur beberapa orang yang ngadain bachelor party. Mereka teman Mas Ray jadi dia berani jamin kalau mereka hanya akan melihat dan nggak menyentuhku.”
Aku menggeleng tidak yakin. “Jangan, Yan.” Bachelor party yang menyewa striptease mungkin saja berakhir liar. Aku tidak mau Yanti jadi korban keliaran para lelaki itu.
“Orang-orang itu mau bayar lima belas juta untuk bachelor party ini, Key. Lima belas juta. Aku hanya menari, dan mereka nggak menyentuhku.” Yanti mengulang kalimatnya. Entah siapa yang lebih ingin dia yakinkan, aku atau dirinya sendiri.
Aku mengusap sudut mataku dengan kasar. Lima belas juta. Di masa lalu, uang sejumlah lima belas juta itu bisa habis dalam waktu setengah jam, kami tukar dengan sebuah tas dan sepatu. Dan sekarang, uang sebanyak itu hanya bisa dibayangkan dalam angan.
“Jangan, Yan, aku mohon….” Tapi suaraku bahkan tidak terdengar yakin di telingaku sendiri. Sialan, miskin itu ternyata sangat menyesakkan.
“Aku harus melakukan ini, Key. Kalau bertahan hidup bisa bikin ayahku bangga, aku akan melakukannya. Aku belum pernah bikin dia bangga sebelumnya.”
Aku terus menggeleng. “Pasti ada cara lain, Yan. Jangan kerja kayak gini.”
“Aku nggak apa-apa, Key.” Yanti mengelus lenganku, seolah akulah yang harus ditenangkan. “Aku hanya perlu menari dan melepas sedikit pakaian di depan orang-orang itu. Nggak lebih. Mas Ray sudah janji dan aku percaya.” Mas Ray adalah pemilik pub tempat Yanti bekerja. “Kalau tahu nasibku akan jadi kayak gini, dulu aku pasti rajin ke sekolah dan kuliah kedokteran kayak kamu.” Yanti mencoba bercanda. Sama sekali tidak lucu. Tangannya meraih pakaian yang tadi kubuang. “Aku ganti pakaian dulu.” Dia menuju salah satu bilik di situ.
“Belum terlambat kalau kamu mau berubah pikiran, Yan!” teriakku setengah membujuk dari luar pintu.
“Jangan pulang ke kontrakan, Key. Aku takut mereka masih nungguin di sana dan malah menangkap kamu. Kamu tunggu di lobi saja sampai aku selesai dan kita bisa bayar mereka.” Yanti mengabaikan permohonanku. Tekadnya jelas sudah bulat. Dia lantas keluar dari bilik itu. Baju perawat seksi itu tidak terlihat karena dibungkus mantel panjang. Syukurlah. Aku tidak bisa membayangkan dia berjalan di lobi dengan kostum tidak senonoh seperti itu. Yanti mulai merias wajah di depan cermin besar. Dia terlihat sempurna. Sangat cantik. Sayangnya untuk alasan yang salah.
Kami lalu berjalan beriringan keluar toilet. Aku masih mengusap pipi sesekali, terus mengutuk nasib kami yang buruk.
“Tunggu aku di lobi,” ulang Yanti ketika kami sudah berada di depan lift, siap berpisah. “Astaga, tidak mungkin…!” Yanti mencengkeram lenganku. “Mereka datang! Dari mana mereka tahu kita di sini?”
Aku melihat ke pintu masuk dan mengenali beberapa pria kekar itu. Para penagih utang.
“Yan…!” Aku belum pernah merasa sepanik ini dalam hidupku. “Gimana nih?” Habislah kalau kami sampai tertangkap.
“Key, kamu harus menolongku. Aku nggak bisa kehilangan lima belas juta itu. Kamu ke kamar 2025 sekarang. Bilang sama mereka kalau aku akan datang. Aku hanya perlu sedikit waktu untuk mengelabui orang-orang gila itu.”
“Yan…!” Aku menggeleng panik. “Aku nggak bisa.”
“Kamu bisa, Key. Kamu nggak perlu melakukan apa-apa. Kamu hanya minta supaya mereka nunggu aku. Aku pasti datang. Aku benaran perlu lima belas juta itu. Tolong, Key. 2025.” Yanti berlalu setengah berlari. Disusul pria-pria sangar itu.
Sekarang aku ingat bagaimana aku bisa sampai di kamar ini. Aku melangkahkan kakiku sendiri ke sini. Mengetuk pintu itu untuk diizinkan masuk dengan tanganku sendiri! Tiba-tiba aku merasa ngeri. Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan semalam?
Ketakutanku makin menjadi ketika mendengar suara gagang pintu diputar dan daun pintu lantas terkuak.
***
Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!
storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs idntimes.com, klik link disini!