[ad_1]
Sepulang dari rumahnya, Rena menemaniku ke danau. Matahari sudah hampir terbenam, langit tampak merah keabu-abuan seperti tubuh yang kehabisan darah.
“Apa yang paling ingin kamu lakukan sebelum hari kiamat terjadi?” tanya Rena ketika aku mencelupkan kakiku ke air. Dia hanya duduk di batu cadas dekat danau sambil merokok.
“Hari kiamat yang sebenarnya atau pura-pura?”
“Dua-duanya.”
Aku tidak perlu memikirkannya.
Aku ingin melihat keluargaku tinggal di rumah paling besar sejagat raya. Ayah dan Ibu tidak perlu bingung mencari pekerjaan, Anna menjadi anak paling sehat sedunia, dan aku akan berada di kota lain, pergi dari kota ini.
“Aku belum tahu,” kataku.
“Kalau aku, aku ingin mati.”
“Rena!”
Rena tersenyum jail. “Bercanda. Maksudku, mati oleh mabuk. Serius deh, kamu harus nyobain LSD atau ganja. Dua barang itu cocok untuk mati.”
“Tidak tertarik,” kataku. Rena memainkan asap rokoknya. “Kevin memberimu rokok itu?”
Rena menggeleng. “Toko di dekat restoran itu tidak memiliki CCTV. Aku hanya coba-coba memasukkan barang ini ke saku dan ternyata ….” Dia mengepulkan asap rokoknya ke arah danau.
Aku meringis. “Jangan melakukannya lagi.”
“Gimana Anna?” Rena mencoba untuk mengubah topik pembicaraan.
“Lumayan,” jawabku. “Tadi pagi dia mimisan. Ayah dan Ibu panik, tapi kayaknya mereka masih tidak punya niat untuk ke rumah sakit. Ayah sedang sibuk dengan kenaikan jabatannya. Ibu sedikit gelisah karena bosnya sering menghindarinya.”
“Orang tuamu benar-benar seperti boneka.”
“Bibi menelepon beberapa hari yang lalu. Katanya, aku dan Anna boleh datang saat liburan tengah semester.”
“Jalang.”
Aku mendelik ke arahnya. “Jangan bermulut kotor begitu.”
“Dia jalang karena hanya menawarkan liburan. Aku semakin yakin kalau bibimu hanya ingin kamu dan Anna. Atau, dia mungkin malah berharap orang tuamu mati dengan cepat.”
Aku membiarkannya mengatakan itu. Bukan karena dia benar, tapi karena aku tidak sengaja menatap bayang-bayang wajahku di air. Ketika Rena mengatakan itu, rasanya kata-kata itu terserap ke dalam bayang-bayang, dan kupikir: Rena tidak tahu apa-apa.
“Nora.” Aku menoleh. Rena melemparkan puntung rokoknya, lalu menginjaknya. “Jangan menatap air seperti itu. Kamu membuatku takut.”
***
Aku terlahir ketika Indonesia mengalami krisis moneter. Saat itu, Ayah bekerja sebagai buruh. Dua minggu sebelum aku dilahirkan, dia dipecat. Ibu juga tidak bisa bekerja karena dia sakit saat mengandungku.
Mereka sekarat secara finansial.
Lalu, aku lahir. Dan, segalanya tidak langsung menjadi baik-baik saja. Ayah masih berusaha mencari pekerjaan. Apa saja. Kuli. Tukang parkir. Sopir. Dia melakukan semuanya. Ibu yang baru melahirkan langsung pulang ketika aku lahir agar tagihan rumah sakit tidak membengkak. Sebenarnya, mereka berencana untuk mengundang dukun beranak saja, tapi ternyata aku begitu susah dilahirkan. Jadi, Ibu terpaksa harus dibawa ke rumah sakit.
Aku hidup dalam kesekaratan itu.
Namun, aku tidak ingat pernah merasa sekarat, sebab Ayah dan Ibu merawatku dengan baik. Sesekali, mereka mengajakku ke taman dan kami bertingkah seperti orang kaya dengan berpakaian paling bagus yang kami punya, lalu membeli es krim. Aku menikmati momen-momen itu.
Aku juga menikmati momen ketika Ibu menyuruhku menunggu di dekat gerobak ketika dia menyiapkan bakso. Saat itu, mereka masih berusaha bertahan hidup dengan berdagang bakso. Aku menatap wajah orang-orang yang membeli bakso dan mempelajari tingkah serta ekspresi mereka. Aku sering menghibur Ayah dan Ibu dengan menggunakan teknik meniru tersebut.
Saat aku berumur tiga tahun, Ayah mendapat pekerjaan tetap menjadi tukang bersih-bersih di suatu perusahaan. Keuangan kami mulai membaik. Dan, ketika liburan datang, aku mengunjungi Nenek dari pihak ibuku.
Saat umurku empat tahun dan Ibu mengandung Anna, keadaan kembali memburuk. Ayah dipecat dan Ibu berhenti berjualan bakso karena tempatnya berjualan sudah dipindahkan untuk pembangunan gedung baru. Saat itulah, aku dibawa ke rumah bibiku. Hanya aku sendiri.
Aku di rumah Bibi selama lima bulan. Bibi tidak mempunyai anak dan suaminya meninggal karena kecelakaan pesawat. Aku selalu ingat perlakuan Bibi yang memanjakanku ketika di sana. Aku dibelikan baju baru, sepatu baru, semua yang baru. Namun, aku merasa kesepian karena Bibi tidak seperti Ayah dan Ibu. Dia hanya memanjakanku dengan barang-barang dan pelukan, bukan dengan cerita-cerita dan pengalaman.
Nenek dari ibuku meninggal dua hari setelah Anna lahir. Dia mewariskan rumah dan harta kekayaannya pada Ibu dan Bibi, tetapi Bibi memberikan semuanya pada Ibu. Jadi, kami pindah ke rumah Nenek ketika umurku 4 tahun dan umur Anna satu minggu. Kami memulai kehidupan baru dengan si bayi mungil.
Dengan warisan yang diberikan Nenek, Ibu bisa memulai usaha baru, dan Ayah mendapat pekerjaan yang lebih baik berkat bantuan Bibi. Karena Bibi sangat baik pada kami, aku sering dijadikan tumbal dengan tinggal di rumahnya.
Beberapa kali aku tidak naik kelas karena sering berpindah-pindah dari rumah keluargaku ke rumah Bibi. Ketika memasuki masa SMP, Ibu memutuskan agar aku tinggal di rumah dan datang ke rumah Bibi hanya bila liburan saja. Itu sebabnya saat aku kelas 12 SMA, Anna kelas 10.
Kami menikmati kehidupan apa pun yang diberikan semesta.
Semuanya baik-baik saja, sampai aku beranjak dewasa dan mengetahui segalanya.
***
Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!
storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs idntimes.com, klik link disini!