Para Pengawas PAI Kemenag Surabaya yang Punya Skill Membaca Braille

oleh

[ad_1]

Pengalaman mengajarkan mapel pendidikan agama Islam (PAI) pada anak-anak tunanetra selama kurang lebih 18 tahun membuat Umi Sa’adah menyadari satu hal. Yakni, masih dibutuhkan orang-orang awas yang memiliki kemauan sekaligus kemampuan untuk mengajarkan braille. Demi memberantas buta aksara pada mereka yang tunanetra.

NURUL KOMARIYAH, Surabaya

’’RASANYA tidak ada dukanya. Hanya perlu kesabaran dan ketelatenan yang lebih pas ada bocah yang motivasi belajarnya kurang,’’ ungkap Umi Sa’adah setelah ditanya suka dukanya selama puluhan tahun mengajarkan baca tulis kepada tunanetra.

Yang dirasakannya justru bukan duka, melainkan tantangan untuk terus mengembangkan metode mengajar yang tepat. Menurut dia, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam metode mengajar pada anak-anak awas dan tunanetra.

Anak yang kemampuannya masih kurang akan di-drill beberapa huruf hijaiyah terlebih dahulu. Terus-menerus secara berulang-ulang dan intens.

’’Metode dan strateginya hampir sama. Hanya, pada anak tunanetra lebih ditekankan ke perabaannya. Matanya pindah ke tangan. Istilahnya, tanganku menjadi mataku,’’ terangnya.

Kecakapan motorik memang menjadi salah satu yang terpenting. Dan, anak-anak tunanetra pun dimotivasi untuk terus giat berlatih agar memiliki kepekaan perabaan yang tinggi.

’’Kalau lama tidak berlatih, bisa lupa. Makanya, keterampilan motorik tangan diasah terus supaya peka. Ada yang cakap menghafal lewat audio, tapi ketika baca tulis kurang bisa. Istilahnya, masih tunak-tunuk,’’ paparnya.

Jika hanya menghafal lewat audio, lanjut dia, kadang yang didengar sebetulnya tidak sama dengan tulisan aslinya.

Perempuan 49 tahun itu mengungkapkan, sebetulnya di lapangan masih dibutuhkan banyak pengajar dari orang awas yang bisa membaca braille. Sayangnya, Umi jarang menemukan sosok yang punya niat dan kemauan untuk itu. Dia sampai saat ini menjadi satu-satunya tenaga di Kemenag Surabaya yang memiliki spesifikasi mengajarkan braille.

’’Regenerasi orang awas yang mau dan mampu membaca braille itu memang langka. Menurut pengamatan saya, hal itu bisa jadi karena fokusnya memang nggak ke situ. Mereka merasa braille bukan menjadi bagian dari dirinya atau bukan kebutuhan dalam hidupnya sehingga minat untuk belajar pun kurang,’’ paparnya.

Selain itu, Umi menilai bahwa sosialisasi untuk mempelajari braille memang sangat minim. Karena itu, orang awam tidak memiliki pengetahuan atau informasi yang cukup mengenai ilmu braille. Informasi yang seolah tertutup tersebut menjadikan orang tidak sampai berpikir untuk belajar braille.

’’Bisa juga karena belum apa-apa sudah merasa sulit. Padahal, sebetulnya gampang. Kalau mau pasti bisa. Karena ini kan barang katon, nggak perlu mikir banget. Tidak seperti matematika kok,’’ kata Umi dengan nada bercanda.

Umi menambahkan, pelatihan braille pada guru-guru inklusi bisa menjadi langkah kecil yang bisa dilakukan. Siapa tahu dari sana, muncul 1–2 bibit yang punya minat belajar braille lebih dalam.

Umi ingat betul, beberapa tahun lalu ada salah seorang dari Jombang yang berniat belajar braille kepadanya. Saat itu Umi senang bukan main. Sebab, akhirnya ada yang mau belajar. Namun, belum sampai tuntas, kelas privat itu terpaksa berhenti karena terkendala waktu dan jarak.

’’Tunanetra itu kan bisa jadi berawal dari orang awas yang punya sakit gula atau pernah kecelakaan, kemudian tidak bisa melihat. Jadi, kalau di sekitar kita ada yang seperti itu, dengan kemampuan braille, kita bisa mendampingi mereka untuk bisa tetap belajar. Dengan begitu, keterampilan braille itu sebetulnya memang sangat dibutuhkan,’’ jelas pengawas pendidikan agama Islam (PAI) Kemenag Surabaya itu.

Umi kali pertama belajar braille setelah dirinya lulus dari Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia menempuh program sertifikasi guru pendidikan agama Islam (GPAI) untuk tunanetra murni karena panggilan jiwa. Selama satu tahun dia mempelajari braille latin, braille Arab, metodologi, hingga anatomi mata. Pada 2001 saat menjadi pegawai Kemenag, dia diperbantukan mengajarkan PAI di SLB YPAB hingga akhir 2019.

Baca Juga: Mudik Lokal Dilarang, Pemkot Surabaya Perketat Perbatasan

Saat mengajar, Umi merangkum sendiri pelajaran PAI dari buku untuk anak yang awas. Sebab, belum ada buku ajar PAI khusus tunanetra. Kemudian, dia membuat rangkuman dalam versi braille demi memudahkan pembelajaran. ’’Saya punya beberapa formula yang saya buat sendiri. Misalnya, menyimbolkan bacaan tertentu lewat jari. Dan beberapa metode lain yang berhasil membantu tunanetra dalam belajar, khususnya mengaji braille. Sudah saya tulis, semoga ke depan bisa dibukukan,’’ tandas alumnus Magister Studi Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.