Pas Sudah di Kapal pun Masih Sempat Kirim Foto ke Ayah

oleh
oleh

[ad_1]

KRI Nanggala mempertautkan dua orang yang masih satu keluarga, Lettu Ady Sonata dan Kelasi Kepala Roni Effendi. Sertu Ardi Ardiansyah dan Kelasi Satu M. Faqihudin Munir menempuh perjuangan keras sebelum akhirnya bisa mewujudkan mimpi menjadi tentara.

ANDHIKA A., Nganjuk; FIMA P., Blitar; ANANIAS A.P.-M. HAMMAM D., Tulungagung; Jawa Pos

TAK pernah ada yang berubah dari sikap keseharian Ady Sonata.

Baik semasa kecil, remaja, maupun ketika sudah menjadi perwira TNI Angkatan Laut (AL).

”Dia itu ramah, family man sekali. Enggak pernah ke mana-mana. Kalau libur ya pulang, ngobrol, dan cerita-cerita sama keluarga besar,” kata Widya Ayu Retno Wulan, sepupu dekat Ady Sonata, saat ditemui Jawa Pos Radar Blitar di Dusun Glondong, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Di desa itulah kediaman orang tua Lettu (P) Ady Sonata berada. Karena itu, Widya mengenal dengan sangat baik pria yang biasa disapa Sona dan berasal dari keluarga militer tersebut.

”Mandiri banget dia itu. Walaupun sudah perwira, habis makan ya masih cuci piring sendiri,” imbuh Widya tentang kru KRI Nanggala-402 itu.

Di kabupaten tetangga Blitar, Tulungagung, keluarga juga mengenang dua kru Nanggala lainnya, Sertu (Ttu) Ardi Ardiansyah serta Kelasi Satu (Mes) M. Faqihudin Munir, sebagai sosok-sosok yang penuh perhatian kepada keluarga. Sebelum Ramadan, Ardi mudik bersama istri. Bahkan, Senin dua pekan lalu (19/4), dia masih sempat membalas SMS dari sang ayah, Sujarno.

Di hari yang sama pula Faqih menelepon orang tuanya, Matroji Sudiarjo dan Siti Munawaroh. ”Saat itu Faqih memberi kabar hendak berlayar ke Bali dari Surabaya bersama timnya. Sebagai orang tua, ya kami bilang hati-hati,” kata Matroji kepada Jawa Pos Radar Tulungagung.

Dua hari kemudian (21/4) tersebarlah kabar itu: Nanggala hilang kontak di perairan utara Bali. Kabar yang membuat keluarga 53 kru tercekat dan terpukul. Apalagi ketika Sabtu-nya (24/4) Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengumumkan Nanggala berada dalam fase tenggelam. Dan, keesokan harinya Hadi menyatakan semua kru kapal selam buatan Jerman itu dinyatakan gugur.

Dalam satu pukulan musibah itu, Weny Supratiwi kehilangan dua anggota keluarga sekaligus: adik iparnya, Lettu (P) Ady Sonata, dan Kelasi Kepala (Eta) Roni Effendi, sepupunya.

”Dua tahun lalu dia (Ady, Red) menikah dengan adik saya, Irma Dewi,” ujar Weny yang tinggal di Desa Banarankulon, Bagor, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, membuka perbincangan dengan Jawa Pos Radar Kediri.

Ady dan Irma sama-sama anggota TNI-AL. Perkenalan mereka terjadi saat masa pendidikan. Ady merupakan kakak tingkat Irma yang kini berpangkat letda.

Jalinan kasih keduanya diresmikan pada Oktober 2019. Keduanya dikaruniai seorang anak lelaki yang diberi nama Elfighter Submarino Antasena. ”Usianya masih 7 bulan,” lanjut perempuan berkerudung itu.

Meski sudah bertugas di Surabaya, sebulan sekali mereka selalu menyempatkan pulang ke Bagor. Terlebih, buah hati mereka dititipkan kepada orang tua Irma.

”Persalinannya dulu di sini. Karena kesibukan tugas, akhirnya (anaknya) dititipkan di sini,” tutur Weny sembari tersedu-sedu mengingat keponakannya yang masih bayi itu.

Selain family man, Ady terkenal taat beribadah dan berkomitmen tinggi dengan tugas yang diemban. Telah banyak operasi dan tugas yang dituntaskan olehnya. Salah satunya operasi pencarian pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh awal tahun ini.

SELAMANYA DIKENANG: Kediaman orang tua Sertu Ardi Ardiansyah di Desa Kormasan, Ngunut, Tulungagung. (MUHAMMAD HAMMAM DEFA SETIAWAN/JAWA POS RADAR TULUNGAGUNG)

Sementara itu, Fendi, sapaan akrab Roni Effendi, merupakan warga asli Banarankulon. Karena itu, Weny mengenalnya dengan dekat. ”Kebetulan dia (Fendi, Red) hanya beda satu tahun di bawah saya,” ucap perempuan berumur 33 tahun tersebut.

Fendi menikah dengan Anisa Budi Mulya. Jalinan kasih keduanya membuahkan seorang buah hati yang berumur 5 tahun. Sama seperti Ady dan Irma, Fendi berdomisili di kompleks prajurit di Surabaya.

Tapi, Fendi justru jarang pulang ke Bagor. Awalnya, dia ditugaskan di Papua. Lalu berpindah ke Surabaya dan akhirnya menjadi prajurit di KRI Nanggala-402 sejak tiga tahun lalu. Sementara itu, Ady mulai bertugas di kapal selam tersebut sekitar tiga bulan terakhir. ”Tidak sengaja bisa satu tugas,” ujarnya.

Meski jarang pulang, komunikasinya dengan Fendi tidak pernah terputus. Awal April lalu pun keduanya masih sempat berhubungan lewat video call. ”Dia (Fendi, Red) meminta doa karena akan mengikuti tes untuk bertugas ke Lebanon,” terang Weny.

Seperti halnya Ardi dan Faqih, Sona tak pernah lupa untuk saling menanyakan kabar dengan keluarga besar. Pamitan dan meminta doa keselamatan juga selalu dilakukan. Termasuk saat berangkat berlatih menembak torpedo dengan KRI Nanggala dua pekan lalu.

”Kemarin pas di kapal juga sempat kirim foto ke ayahnya,” kata Widya sambil menunjukkan foto sepupunya tersebut.

Faqih di mata keluarga dikenal sebagai cocok yang pendiam, tapi aktif dengan berbagai kegiatan olahraga. Sedari kecil dia tertarik untuk menjadi prajurit TNI. Alumnus SMK Sore Tulungagung itu mulai tergabung sebagai prajurit TNI sejak 2015.

Meski istirahat selama satu tahun semenjak lulus SMK, dia menggunakan waktunya untuk melakukan persiapan diri mengikuti seleksi prajurit TNI. Tak disangka, usahanya terbayar dan Faqih pun resmi bergabung sebagai prajurit TNI dan menjadi kebanggaan keluarga.

Di KRI Nanggala-402, sulung dua bersaudara itu bertugas sebagai awak bagian mesin dengan pangkat kelasi satu. Sehari-hari dia tinggal di Surabaya bersama istri dan buah hatinya yang baru berusia 7 bulan. Hanya sekali waktu pria 26 tahun tersebut pulang ke rumah orang tuanya di Pulotondo, Kecamatan Ngunut, Tulungagung.

Perjuangan Ardi untuk bisa menjadi tentara juga berliku. Dia pernah mendaftar di kesatuan polisi dan TNI-AD sebelumnya.

Tapi, akhirnya dia berjodoh ketika mengikuti seleksi di TNI-AL. Ardi lega, keluarga bangga. Kebanggaan itu bisa terlihat di dalam kediaman orang tuanya.

Hampir semua dinding rumah itu dihiasi foto-foto gagah Sertu Ardi Ardiansyah ketika menggunakan seragam TNI-AL. ”Sebelum puasa kemarin dia pulang dan kemudian berpamitan untuk menjalankan pelatihan di Banyuwangi,” tuturnya.

Dan, SMS yang dia kirimkan dua hari sebelum Nanggala hilang kontak ternyata menjadi semacam ”salam perpisahan”. ”Sampai sekarang tak ada lagi SMS dari dia,” kata Sujarno berkaca-kaca.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tentang Penulis: Redaksi

Pimprus
Website media INFOMURNI merupakan website resmi yang berbadan hukum, Berisikan berbagai informasi untuk publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.