Payung tanpa Hujan

oleh
oleh

[ad_1]

Apa yang diharapkan seorang prajurit dalam hidupnya? Jawabannya: perang. Untuk orang-orang pada umumnya, jawaban tersebut tentu saja aneh. Tapi, tidak bagi Giovanni Drogo, tokoh di novel The Tartar Steppe karya penulis Italia Dino Buzzati

PREMIS novel ini memang terasa mengganggu sekaligus menantang. Itu seperti seorang dokter berharap ada orang sakit. Bukan semata-mata agar ia punya pasien dan (mungkin) memperoleh penghasilan, tapi terutama agar pengetahuan dan keterampilannya berguna, terasah. Ia bisa membuktikan dirinya sanggup menaklukkan musuh: penyakit.

Atau, seorang pendidik berharap menaklukkan kebodohan dan ketidakberadaban. Semakin ia menemukan jenis kebodohan dan ketidakberadaban yang sulit ditaklukkan, semakin ia mencari cara untuk membawa muridnya ke cahaya benderang.

Bagaimana jika perang tak juga terjadi dan musuh yang ditunggu-tunggu tidak muncul? Itulah memang yang dialami Drogo. Sebagai prajurit muda, ia ditempatkan di sebuah benteng terpencil, di daerah perbatasan, yang menghadap ke padang rumput luas berbatu yang ujungnya tak terlihat, tersamar oleh kabut.

Dahulu kala, pasukan Tartar datang menyerang melalui padang rumput tersebut. Kini tak ada tanda-tanda kehadiran mereka. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun, benteng tersebut menjelma menjadi dunia yang membosankan. Buat apa benteng militer jika perang tak ada?

Banyak orang yang menempatkan novel ini sebagai karya eksistensialis, sebagaimana Mite Sisyphus karya Albert Camus. Ia juga memengaruhi J.M. Coetzee ketika menulis Waiting for the Barbarians.

Meskipun tahu betapa membosankannya benteng tersebut, Drogo tak juga mengajukan pemindahan dirinya. Bahkan, ketika ada kesempatan pulang ke kota dan bertemu gadis yang pernah dicintainya, tarikan untuk kembali bertugas di kesenyapan padang rumput itu lebih kuat menyeretnya.

Bagi Drogo, perang dan (seandainya) gugur dalam peperangan merupakan sejenis validasi keberadaan dirinya sebagai prajurit. Demikian pula kehadiran tentara musuh yang merupakan penegas bagi keberadaan benteng tersebut. Karena itulah, dengan sabar dari jadwal jaga satu ke jadwal jaga lain, ia selalu menunggu dan menunggu dengan keyakinan perang akan datang.

Novel ini benar-benar membuat pikiran saya berkelana ke sana kemari. Seandainya karena pola hidup yang baik dan berdisiplin rakyat sebuah negeri hidup sehat, apa yang akan dilakukan dokter? Apakah mereka masih bisa disebut dokter? Apakah profesi dokter akan lenyap? Jika lenyap, bagaimana jika satu penyakit muncul? Siapa yang akan menanganinya?

Kita tahu, bahkan meskipun tak ada perang, sebagian besar negara di dunia memiliki angkatan bersenjata. Sekali lagi, jika selama bertahun-tahun tak pernah ada perang, bahkan tak ada ancaman dari negara tetangga, apa yang akan dilakukan para prajurit itu? Duduk melamun di tangsi hingga digerogoti rasa bosan?

Drogo dan kawan-kawannya pergi ke desa terdekat. Hiburan atau selingan aktivitas yang bisa mereka lakukan hanyalah membayar gadis-gadis desa untuk cinta semalam.

Selebihnya, ia dan kawan-kawannya harus selalu menciptakan musuh dan ancaman di benak mereka. Setidaknya, mereka harus selalu berpikir bahwa musuh itu nyata, ada, dan akan tiba.

Melihat garis hitam di horison? Bayangkan itu sebagai pasukan musuh yang sedang berderap. Melihat titik cahaya redup yang hanya bisa dilihat dengan teleskop? Anggap itu strategi musuh yang sedang membangun akses jalan menuju benteng sebelum mereka menyerang.

Jorge Luis Borges menyebut novel ini sebagai salah satu dari 74 buku yang ada di ”Perpustakaan Pribadi”-nya. Koran Le Monde menganggapnya sebagai salah satu dari 100 novel penting abad kedua puluh.

Drogo di novel ini mengajari kita sesuatu yang kita tak terlalu ingin mendengarnya, setidaknya bagi saya: musuh harus selalu dibayangkan dan perang besar harus dianggap di depan mata. Tanpa itu, kita tak punya hasrat untuk memperbaiki alat perang, atau tak ada dorongan untuk memperkuat benteng.

Hidup memang mengajarkan kita untuk memikirkan hal buruk, bahkan yang terburuk. Membawa payung, siapa tahu hujan. Membeli asuransi, siapa tahu sakit. Membawa ban mobil cadangan, siapa tahu kempis di jalan.

Cerita tentang Drogo memang fiksi saja, bahkan bisa disebut sejenis fabel. Tapi, ia bisa menyiratkan dilema tentang dunia nyata.

Baca juga: Simpati untuk Iblis

Dalam keadaan damai yang berkepanjangan, bagaimana angkatan bersenjata merawat keberadaan dirinya sendiri sehingga tetap relevan? Jangan-jangan, karena gabut, malah menjalankan tugas-tugas sipil. Menjadi pejabat dan birokrat, kemudian malah lupa fungsi-fungsi utamanya?

Tanpa bayangan musuh yang nyata, bagaimana tentara memelihara kewaspadaan? Jangan-jangan malah menciptakan musuh yang salah, misalnya menganggap rakyat sendiri sebagai musuh? Atau, rakyat sendiri dianggap teroris? Atau, seperti Drogo, ketika perang besar benar-benar datang, malah kesepian di sebuah losmen, sekarat digerogoti sakit. (*)

EKA KURNIAWAN

Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tentang Penulis: Redaksi

Pimprus
Website media INFOMURNI merupakan website resmi yang berbadan hukum, Berisikan berbagai informasi untuk publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.