[ad_1]
Islamabad, IDN Times – Pengadilan Tinggi di Lahore, provinsi Punjab, Pakistan, pada hari Senin, 4 Januari 2021, telah memutuskan untuk menolak tes keperawanan bagi perempuan penyintas perkosaan dan pelecehan seksual.
Keputusan itu dibuat dengan alasan bahwa praktik tes keperawanan dianggap menyinggung martabat pribadi korban perempuan dan karena itu bertentangan dengan “hak untuk hidup dan hak atas martabat”.
Kelompok aktivis hak asasi manusia sebelumnya mengajukan gugatan tersebut sebagai upaya agar tes keperawanan tidak lagi dilakukan. Itu karena tes keperawanan para korban, dianggap menyinggung martabat pribadi.
1. Tidak memiliki dasar medis
Tes keperawanan telah lama dikritik oleh aktivis karena dianggap seksis. Selain itu, tes keperawanan juga dianggap berbahaya jika dilakukan atas nama kekuasaan pemerintah. Dalam menjalankan tes keperawanan, ada anggapan yang langgeng untuk menerima bahwa pria dapat berhubungan seksual di luar nikah sedangkan perempuan tidak.
Aktivitas seksual perempuan selanjutnya harus tunduk terhadap kritik publik sedangkan pria tidak. Pria tidak memiliki lapisan hymen atau selaput dara seperti perempuan sehingga tidak ada tes keperjakaan yang bisa dilakukan dan dibuktikan.
Selain itu, tes keperawanan sebenarnya sudah lama dianggap tidak masuk akal, karena hymen atau selaput dara perempuan bisa rusak tidak hanya ketika melakukan hubungan seksual tapi juga karena aktivitas lain, seperti misalnya olahraga berkuda dan bersepeda.
Melansir dari Deutsche Welle, Pengadilan Tinggi Lahore tersebut membuat keputusan dan memberikan alasan bahwa tes keperawanan “tidak memiliki dasar medis”. Keputusan pengadilan tersebut seiring dengan pemahaman PBB yang sudah lama, bahwa tes keperawanan sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah atau medis dan dijalankannya tes tersebut dianggap melanggar hak asasi manusia.
2. Pertama di Pakistan
Tes keperawanan biasanya dilakukan dengan cara invasif, menggunakan dua jari yang dimasukkan ke kemaluan perempuan untuk memeriksa secara visual ada atau tidaknya robekan selaput dara. Wanita dan gadis yang dipaksa untuk melakukan tes keperawanan seringkali mengaku “menyakitkan, memalukan dan traumatis”.
Tes keperawanan adalah tradisi lama yang tidak ilmiah dan tidak masuk akal. Hakim yang memimpin persidangan, Ayesha Malik, memihak penggugat dan mengatakan bahwa tes tersebut “tidak memiliki nilai forensik dalam kasus kekerasan seksual”, katanya seperti dikutip dari CNN.
Hakim juga menjelaskan bahwa tes tersebut adalah tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Ayesha Malik segera mengarahkan kepada pemerintah untuk menyusun pedoman dan program pelatihan untuk memastikan para penguji menghentikan praktik tersebut.
Dengan keputusan yang telah diberikan oleh Pengadilan Tinggi Lahore, maka semua praktik tes keperawanan di Punjab, Pakistan, apapun modelnya tidak lagi diperbolehkan. Punjab yang menampung sekitar 110 juta penduduk adalah provinsi terpadat di Pakistan dan keputusan hakim itu adalah keputusan pertama kalinya di Pakistan.
3. Dukungan dari pemerintah
Pada penghujung tahun 2020, pemerintah Pakistan telah mengeluarkan peraturan sementara yang tunduk pada ratifikasi parlemen menjadi undang-undang permanen. Peraturan tersebut memiliki fungsi untuk memperkuat undang-undang anti pemerkosaan dan dukungan pengebirian kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual berantai.
Dalam peraturan tersebut, melansir dari Al Jazeera, Menteri Hak Asasi Manusia Pakistan, Shireen Mazari juga melarang penggunaan “tes dua jari”. Dukungan juga diberikan oleh Presiden Pakistan, Arif Alvi, untuk melarang praktek tes keperawanan itu.
Tes keperawanan, baik yang dilakukan dengan tujuan “menentukan kehormatan perempuan” ketika akan menikah atau ketika terjadi kejahatan seksual, justru seringkali digunakan untuk merendahkan martabat para penyintas.
Divisi HAM PBB, UN Women, dan WHO pernah membuat pernyataan bersama yang isinya adalah ketika evaluasi korban pemerkosaan dan keperawanan diuji, tindakan tersebut tidak ada hubungannya apakah pemerkosaan terjadi atau tidak. Dalam tes keperawanan juga tidak ada prediksi seberapa traumatis atau parahnya efek perkosaan terhadap seseorang.
Justru karena adanya tes keperawanan, hal itu menjadikan seorang perempuan menjadi trauma. Hasil dari tes keperawanan biasanya berdampak pada keputusan pengadilan dan sering merugikan korban. Akibatnya korban kehilangan kasusnya dan pelaku justru bebas dari jerat hukum.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs idntimes.com, klik link disini!