[ad_1]
JawaPos.com – Di website mereka masih ada puluhan seri ensiklopedia mini. Ada pula kumpulan dongeng binatang hingga kumpulan cerita anak Nusantara.
Tapi, itu stok lama. Sudah sejak tiga tahun lalu penerbit Indoliterasi tak lagi memproduksi buku anak. ”Biaya buku anak tinggi. Harus full color dan oplah (cetak) banyak biar harga masuk,” kata Ribut Wahyudi, direktur penerbitan yang bermarkas di Bantul, Jogjakarta, itu, saat dihubungi Jawa Pos melalui telepon.
Pada 2014, berdasar survei Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia), di toko buku jaringan Gramedia, penjualan terbesar dari kategori buku-buku anak. Itu memperlihatkan di satu sisi ceruk ini punya potensi besar.
Tapi, di sisi lain, kendalanya juga tak sedikit. Dengan harga jual yang terbilang rendah dibandingkan buku untuk konsumen dewasa, biaya produksinya, seperti disebut Ribut, justru tinggi.
Itu diperparah dengan situasi pandemi sekarang ini. Riset terbaru Ikapi menunjukkan, 58,2 persen penerbit mengalami penurunan penjualan antara 31 hingga 50 persen. Sedangkan 8,2 persen penerbit lainnya penjualannya merosot 10–30 persen. Adapun yang kondisinya relatif sama dengan sebelum pandemi hanya 4,1 persen penerbit.
Dulu, sebelum pandemi, toko-toko buku masih bisa meraup kentungan lewat acara lomba-lomba untuk anak. Misalnya lomba mewarnai gambar. Selain itu, ada field trip ke toko buku anak-anak PG dan TK.
Dari situ orang tua dan keluarga yang mendampingi anak bisa belanja ke toko buku. Pembelanjaan di toko juga terdorong dari kerja sama yang dilakukan toko buku dengan pemberian voucher belanja buku saat wisuda TK. Namun, saat ini penjualan di toko buku lebih banyak dilakukan secara daring. Entah lewat layanan lokapasar, nomor WhatsApp khusus yang melayani pelanggan, maupun pembelian secara cash on delivery.
Pasokan buku-buku anak sendiri sejauh ini masih cukup. Meski tidak begitu banyak karya baru yang dilahirkan perusahaan penerbit. ”Karena buku anak itu sifatnya everlasting. Jadi, sepertinya penerbit lebih banyak menjual buku lama mereka saja. Kalaupun ada yang baru, kebanyakan hanya ada perubahan sedikit, tapi bukunya buku lama,” ungkap General Manager Toko Buku Togamas Malang Anas Farobi.
Buku-buku yang laku di pasaran selama ini lebih banyak didominasi buku cerita yang dilengkapi gambar (cergam). Sementara penjualan buku komik cenderung stagnan. Novel anak tidak begitu banyak dicari di Togamas. Sebab, Togamas sendiri lebih banyak menyasar remaja dan dewasa untuk produk tersebut.
Baca juga: Minat Baca Rendah Picu Anak Sulit Sosialisasi
Sementara itu, di Surabaya, buku-buku anak juga mengalami penurunan penjualan. Namun, toko buku tetap menyediakan seksi khusus buku anak untuk meraup pangsa pasar ini.
Sinta Gunawan, co-owner Toko Buku Uranus Surabaya, mengatakan, saat ini pihaknya lebih banyak memasarkan bukunya secara online. Di toko, ujar dia, para penerbit juga masih memasok buku untuk anak.
Di Uranus buku cerita bergambar juga masih menjadi produk yang paling diburu. Namun, seiring berkembangnya teknologi, mulai banyak orang tua yang mencari buku cerita bergambar yang impor.
Baca juga: Gaes, Hidup Itu Lebih dari Sekadar Sindrom Cinderella
Buku jenis ini biasanya tidak hanya menawarkan edukasi cerita dalam bahasa Inggris. Namun, banyak juga yang memadukan buku dengan teknologi augmented reality. Gambar-gambar bergerak bisa terlihat dari buku, hanya dengan melakukan scan dari buku fisik dengan ponsel.
Di Malang buku ini pun mulai dikenal. Namun masih belum begitu diburu konsumen. ”Buku dengan teknologi itu menghadirkan sesuatu yang berbeda. Tapi masih belum jadi yang utama lah,” ungkap Anas.
Saksikan video menarik berikut ini:
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!