Percepatan Penyelesaian Sengketa Lahan Dorong Pemulihan Ekonomi

oleh

[ad_1]

Masih segar dalam ingatan isi pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), 16 Agustus lalu. Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menjelaskan terkait ‘skema’ RAPBN 2022.

Miris memang, karena skema RAPBN 2022 seperti yang disampaikan presiden, berkaitan dengan pembiyaan utang negara. Padahal, saat ini kondisi keuangan negara cukup memprihatinkan akibat dampak pandemi Covid-19 sejak 2 Maret 2020 lalu. Meski demikian, utang negara tetap harus dibayar dan pemerintah harus memutar otak untuk dapat memenuhi kewajibannya.

Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi menjelaskan terkait komposisi pembiayaan utang negera tahun depan. Yakni, terdiri atas rencana penarikan utang Rp 1.058,4 triliun serta pembayaran cicilan utang sebesar Rp 84,8 triliun. Presiden juga merinci penarikan utang yang akan dilakukan melalui penerbitan SBN neto sebesar Rp 991,3 triliun, kemudian penarikan pinjaman dalam negeri Rp 3,6 triliun, serta penarikan pinjaman luar negeri Rp 63,5 triliun.

Belum selesai di situ, Presiden Jokowi pun menjelaskan bahwa pemerintah harus melakukan pembayaran cicilan pokok pinjaman sebesar Rp 84,8 triliun. Di antaranya, pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri sebesar Rp 1,8 triliun dan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 83 triliun. Dengan semakin membengkaknya utang negara, otomatis beban bunga utang menjadi meningkat dalam setiap tahunnya. Dalam RAPBN 2022, pemerintah telah mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp 405,9 triliun.

Dari sini kita sudah dapat membayangkan betapa beratnya beban pemerintah dalam upaya memulihkan perekonomian nasional. Ya, mengingat sumber pendapatan negara yang sebelumnya mengalir deras, saat ini mulai seret akibat wadah virus Corona yang melanda Indonesia sejak 2 Maret 2020 lalu.

Sepanjang pandemi, pendapatan negara dari pajak tereduksi cukup signifikan. Negera hanya mampu meraup sekitar 89,3 persen dari yang ditargetkan sebesar Rp 1.198,8 triliun seperti dalam Perpres. Sementara pemasukan dari laba BUMN ditaksir hanya mencapai Rp 1.200 triliun, atau turun 25 persen dibandingkan pendapatan pada tahun 2019 yang mencapai Rp 1.600 triliun.

Meski demikian, kita tetap harus mengacungi jempol buat pemerintah yang sigap dalam mencari cara untuk dapat memaksimalkan pendapatan negara. Selain mengoptimalkan pendapatan dari sektor yang jadi andalan, menurut hemat saya, pemerintah juga harus mempertimbangkan pendapat dari sektor lain yang selama ini tidak terekplorasi. Salah satunya, potensi pendapatan dari Barang Milik Negara (BMN) yang belum tereksplorasi secara maksimal.

Berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat pada tahun 2020, Kementerian Keuangan (Menkeu) mencatat total aset pemerintah mencapai Rp 11.098,67 triliun. Naik dibandingkan tahun sebelumnya yakni Rp 10.467,53 triliun.

Dari angka tersebut yang aset paling besar berbentuk tanah, yakni mencapai Rp 4.539 triliun atau hampir 80 persen itu aset tetap negara dalam bentuk tanah. Aset tersebut pengelolaanya tersebar di semua kementerian. Terbesar ada di Kementerian PUPR sebesar Rp 1.937,73 T dan di Kementerian Pertahanan sebesar Rp 1.749,48 triliun.

Selain itu ada juga aset tanah yang dikelola oleh BUMN. Saat ini aset-aset itu tengah dilakukan proses sertifikasi dari bagian dari uji coba penerapan sertifikat elektronik yang dilaksanakan kementerian ATR/BPN sejak Maret 2021 dan ditargetkan beres pada akhir 2023.

Tentu pendataan aset itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Mengingat selama ini banyak aset tanah milik BUMN yang masih belum terdata dan dikelola dengan baik sehingga kerap menimbulkan konflik atas lahan dan juga berpotensi menjadi ruang terjadinya tindak pidana korupsi.

Pemulihan Ekonomi Nasional

Tidak banyak aset tanah milik pemerintah yang menjadi bagian dalam Barang Milik Negara (BMN) dijadikan sumber pendapatan negara. Padahal aset itu merupakan barang berharga bila dioptimalkan. Sudah barang tentu, aset tersebut bukan untuk dijual.

Perlu diketahui banyak aset tanah milik pemerintah berada berlokasi di tempat strategis yang bisa dijadikan sumber pendapatan negara. Banyak skema agar aset BMN jadi produktif. Misalnya, dibuatkan skema sewa, pinjam pakai, kerja sama pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna (BGS/BSG), kerja sama penyediaan infrastruktur (KSPI), atau Kerja Sama Terbatas untuk Penyediaan Infrastruktur (Ketupi).

Namun sebelum menggunakan berbagai skema di atas, terlebih dulu pemerintah harus memperjelas status dan legalitas lahan. Artinya sertifikasi menjadi bagian penting dan mutlak dilakukan untuk menghindari persoalan-persoalan yang timbul nantinya.

Sejumlah aset tanah milik pemerintah yang berada di lokasi strategus (pusat kota) dapat dimanfaatkan untuk membangun properti, perkantoran, sentra bisnis maupun perdagangan. Sementara di daerah pinggiran kota dapat digunakan untuk membangun sentra industri dan pergudangan. Aset yan berada di wilayah pedesaan dapat dikembangkan untuk pengembangan lahan pertanian dan perkebunan.

Selain optimalisasi aset milik pemerintah dan BUMN, ada potensi lain yang dapat didayagunakan yakni lahan terlantar. Ya, masih banyak lahan milik negara yang terbengkalai. Berapa banyak lahan yang terlantar saat ini? Organisasi jaringan pemantau hutan, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat luas lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang terlantar sebanyak 1,5 juta hektare lahan, atau hanya 2,8 juta hektare dari 4,3 juta hektare lahan HGU yang digunakan untuk perkebunan.

Sementara versi Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian ATR/BPN, hingga Juni 2021, tanah terlantar yang sudah ditertibkan mendekati angka 120 ribu hektar. Sementara sekitar 950 ribu hektar atau 88% lahan terlantar yang belum ditertibkan oleh Kementerian ATR/BPN mencapai 1,08 Juta hektar.

Lahan terlantar tersebut sebagian besar berada pada daerah yang banyak memperoleh izin Hak Pengelolaan Lahan (HPL) maupun Hak Guna Usaha (HGU).

Dongkrak Penerimaan Negara

Masih banyak kasus sengketa lahan di berbagai daerah tentu sangat merugikan pemerintah. Hingga akhir 2020, tercatat sengketa yang diperkarakan di pengadilan mencapai sekitar 9000 kasus. Pertama, sengketa pertanahan tertinggi melibatkan badan usaha selanjutnya melibatkan instansi pemerintah. Kedua, sengketa lahan antar perorangan.

Jelas, karena sengketa itu pemerintah jadi merugi. Itu karena, potensi pajak atas obyek sengketa menjadi loss. Belum lagi nilai ekonomi yang dapat dioptimalkan dari lahan tersebut mengingat banyak lahan sengketa memiliki nilai ekonomi yang tinggi, baik secara lokasi geografis maupun kandungan yang ada di dalamnya.

Dengan demikian, tidak ada pilihan bagi pemerintah segera membereskan sengketa yang terjadi. Karut-marutnya persoalan legalitas yang terjadi pada masa lalu, tentang asal-usul tanah, serta adanya penguasaan tanah oleh sekelompok pihak secara ilegal menjadi pemicu sengketa tanah selama ini.

Padahal jika negara dalam hal ini kementerian ATR/BPN mau hadir, sengketa lahan ini niscaya dapat cepat terselesaikan. Faktanya tidak semua konflik lahan harus diselesaikan di meja hijau. Ya, banyak sengketa selesai melalui jalur mediasi.

Sesuai arahan Presiden Jokowi, seluruh kampung/desa diperjelas status tanahnya agar masyarakat dapat memperoleh bantuan sosial dan hak-hak sipilnya. Jika hal ini dikerjakan dengan cepat, niscaya konflik atau sengketa lahan dapat diminimalisir.

Tidak kalah pentingnya, terkait upaya pembentukan badan bank tanah. Program yang tertuang dalam Pasal 125 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini dapat berperan penting. Badan bank tanah dapat berfungsi melaksanakan perencanaan perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.

Dalam pasal 128 juga dijelaskan, bahwa untuk mendukung investasi, pemegang hak pengelolaan badan bank tanah diberikan kewenangan melakukan penyusunan rencana induk dalam membantu memberikan kemudahan perizinan berusaha. Kemudian, melakukan pengadaan tanah dan menentukan tarif pelayanan, dasar hukumnya sudah cukup jelas. Dan sekarang tinggal bagaimana kementerian terkait melaksanakan amanat UU tersebut.

Tentu saja, kita berharap wabah virus Corona segera berlalu dari negeri ini. Dan, upaya pemerintah dalam memulihkan situasi dan kondisi khususnya melakukan recovery perekonomi nasional segera menuai hasil seperti yang diharapkan.

*) Penulis adalah Tim Ahli Wakil Presiden RI

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.