[ad_1]
JawaPos.com–Anggota DPD Abdul Rachman Thaha menyatakan, vaksin Covid-19 di Indonesia digunakan dengan dasar izin penggunaan darurat yang dikeluarkan BPOM. Dari sebutannya, izin darurat, berarti ada kegentingan yang harus segera teratasi lewat vaksinasi massal.
Menurut dia, seluruh pemangku kepentingan harus punya mindset yang sama bahwa dalam situasi darurat yang terpenting adalah bagaimana sebanyak-banyaknya vaksin bisa diterima seluruh lapisan masyarakat.
”Menjadi aneh bahwa dalam situasi darurat yang bahkan kian memburuk seperti sekarang ini, pemerintah justru memakai mindset non-kedaruratan dengan melakukan komersialisasi vaksin melalui apotek tertentu,” ujar Abdul Rachman Thaha.
Menurut Abdul Rachman Thaha, ketika target satu juta orang divaksin per hari masih belum tercapai, termasuk akibat keterbatasan pasokan vaksin, sungguh aneh sebagian vaksin justru dialokasikan tidak untuk mencapai target itu.
”Apakah pemerintah memanfaatkan sumbangan vaksin dari negara-negara lain lalu menjadikan persediaan vaksin sebelumnya sebagai barang dagangan?” ucap Abdul Rachman Thaha.
Dia menjelaskan, seharusnya pemerintah patut meniru negara jiran, Filipina misalnya, yang bersikukuh tidak memperdagangkan vaksin Covid-19 dan memperlakukan perdagangan vaksin sebagai perbuatan ilegal.
”Pelakunya dijatuhi hukuman. Tambahan lagi, dalam situasi sepelik sekarang, saya khawatir pemerintah belum siap membangun safeguard untuk menangkal perdagangan gelap vaksin dan penjualan vaksin palsu,” tutur Abdul Rachman Thaha.
Kekhawatiran itu beralasan karena, menurut Abdul Rachman Thaha, berbagai perlengkapan dan peralatan untuk penanganan Covid-19 ternyata sudah dipalsukan dan beredar di masyarakat. Antara lain, masker bekas pakai, oximeter palsu, dan sertifikat palsu.
”Jika nantinya terbukti vaksin palsu dan lain-lain itu lalu lalang tak terkendali, semakin nyata bahwa inisiatif perekonomian lewat perdagangan vaksin justru mendatangkan persoalan keamanan dan penegakan hukum yang luar biasa peliknya,” papar Abdul Rachman Thaha.
Dia juga mempertanyakan bagaimana sistem prioritas pemberian vaksin masih bisa dipertanggungjawabkan keberlanjutannya. Sebab, dulu yang diprioritaskan adalah tenaga kesehatan dan petugas layanan publik. Lalu manula. Prioritas berikutnya orang dengan gangguan jiwa.
”Saya tak menangkap informasi tentang prioritas-prioritas berikutnya. Dalam konteks ini, saya memandang perdagangan vaksin via apotek makin kuat mengindikasikan bahwa pemerintah sendiri kini justru abai terhadap sistem prioritas yang pernah dibangunnya sendiri,” kata Abdul Rachman Thaha.
”Untuk mengujinya hal tersebut termasuk mudah. Sajikan data berapa persen orang-orang dari kelompok prioritas yang telah divaksin. Lalu tanyakan ke pemerintah, bagaimana komersialisasi vaksin bisa mempercepat tuntasnya vaksinasi bagi seluruh anggota kelompok-kelompok prioritas tersebut,” tambah Abdul Rachman Thaha.
Dia mengakui, perekonomian negara yang dinilai banyak kalangan kian mendekati titik kolaps perlu diselamatkan. Hal itu demi kepentingan seluruh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat lapisan bawah yang terdampak paling hebat.
”Tapi pemerintah perlu mengerahkan kreativitas guna menemukan terobosan-terobosan ekonomi yang lebih prospektif sekaligus sensitif terhadap masyarakat. Dan perdagangan vaksin pada masa sekarang, menurut saya, tidak patut menjadi terobosan itu.” Ucap Abdul Rachman Thaha.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!