[ad_1]
Bulan Bung Karno dan Sepak Terjang Keturunannya
Kiprah anak, cucu, dan cicitnya di beragam bidang memang menggambarkan kemultidimensian sosok Soekarno. Meski dinilai belum ada yang selevel dengan sang proklamator.
—
KEPADA Cindy Adams, penulis biografinya, Soekarno sudah menyampaikan harapan agar tak ada anak keturunannya yang mengikuti jejaknya terjun ke politik. Padahal, lewat politiklah, pria berjuluk Putra Sang Fajar itu mengangkat derajat negeri kelahirannya.
Kepahitan –penangkapan, pemenjaraan, dan pengasingan– yang mengiringi perjuangannya memerdekakan Indonesia bukan alasan utama keinginan tersebut. ”Tapi, karena beliau tak mau anak-anaknya akan dikomparasi dengannya,” kata Roso Daras, penulis belasan buku tentang Soekarno, kepada Jawa Pos.
Setengah abad setelah presiden pertama Indonesia itu meninggal pada 21 Juni 1970, harapan tersebut tak sepenuhnya terwujud. Putrinya, Megawati Soekarnoputri, adalah ketua partai politik terbesar di tanah air saat ini. Cucunya, Puan Maharani, juga mengetuai DPR.
Tapi, jika melihat kembali secara keseluruhan sepak terjang keturunannya di pengujung bulan di mana dia dilahirkan dan menutup usia ini, sebenarnya sangat menggambarkan kemultidimensian sosok Soekarno. Yang aktif di politik hanya sebagian kecil. Yang lain berkiprah di berbagai bidang, di antaranya pendidikan, bisnis, serta seni dan hiburan.
Soekarno lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901 dengan nama Koesno Sosrodihardjo. Di bulan ini pula Pancasila yang digagasnya lahir. Dan di bulan ini juga dia menutup mata di Jakarta pada 21 Juni 1970.
Sepanjang hidupnya, berbagai literasi menyebutkan, istri Soekarno yang resmi tercatat sembilan orang. Mereka antara lain adalah Siti Oetari (menikah 1921–1923), lalu Inggit Garnasih (1923–1943), Fatmawati (1943–1970), Hartini (1953–1970), dan Kartini Manoppo (1959–1968). Empat lainnya adalah Ratna Sari Dewi (1962–1970), Haryati (1963–1966), Yurike Sanger (1964–1968), serta Heldy Djafar (1966–1969).
Dari sembilan pernikahan itu, hanya pernikahan dengan Fatmawati (5 anak/Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, Guruh); Hartini (2 anak/Taufan, Bayu); Ratna Sari Dewi (1 anak/Kartika); dan Kartini (1 anak/Totok) yang melahirkan keturunan. Total Soekarno memiliki sembilan anak dari empat istrinya tersebut.
Keragaman sepak terjang keturunan Soekarno itu bisa terlihat dari anak-anak hasil pernikahannya dengan Fatmawati, first lady pertama Indonesia. Guntur, si sulung, misalnya lebih memilih berbisnis, menulis, dan menggeluti fotografi. Megawati dan Sukmawati di politik, dan Rachmawati, kendati juga pernah di politik, kini sibuk dengan Universitas Bung Karno. Serta Guruh yang banyak berkecimpung di seni, meski kemudian juga ikut masuk politik.
”Sangat mewakili multidimensionalnya Pak Karno sebagai politikus, intelektual, pejuang, juga penggemar seni. Tapi, tentu semua tidak semoncer bapaknya, apa pun indikatornya,” papar penulis buku Bung Karno: Serpihan Sejarah Yang Tercecer itu saat ditemui di Jakarta Kamis lalu (25/6).
GRM Paundrakarna Sukmaputra Jiwanegara, lebih dikenal sebagai Paundrakarna atau Paundra, putra sulung Sukmawati Soekarnoputri dari pernikahannya dengan KGPAA Mangkunegara IX, juga pernah mejelit di layar kaca. Perannya sebagai Galih dalam sinetron Gita Cinta dari SMA menyedot perhatian.
Menurut Reni Nuryanti, sejarawan Universitas Samudra Langsa, Aceh, keturunan Soekarno yang lahir dari Fatmawati memang lebih banyak muncul dan terlihat kiprahnya di permukaan. Penyebabnya, anak-anak Fatmawati menerima limpahan kasih sayang dan perhatian dari sang ayah sejak masih kecil dibandingkan putra-putrinya dari istri-istri Soekarno yang lain. Sebab, sang ibu adalah ibu negara resmi yang otomatis terus berada di sisi sang proklamator.
”Mereka (anak-anak Fatmawati, Red) itu seolah menjadi tumpuan harapan di mana Bung Karno mencurahkan segala impian dan cita-citanya kepada mereka,” kata Reni, penulis buku Perempuan dalam Hidup Soekarno: Biografi Inggit Garnasih.
Pada hari-hari akhirnya yang sulit di Wisma Yaso, Jakarta, salah satu hal yang membuat Soekarno bahagia adalah ia masih bisa bertemu dengan anak-anaknya. Yang paling sering mengunjunginya adalah Rachmawati dan Megawati. ”Rachma lebih sering. Megawati waktu itu ikut suaminya di Madiun,” jelas Reni.
Sebelum wafat, Bung Karno sempat berpesan kepada Megawati. Dalam buku Tragedi Soekarno: Dari Kudeta sampai Kematiannya yang ditulis Reni, Soekarno meminta Megawati tidak pernah menceritakan penyakitnya kepada rakyat. Soekarno rela menjadi korban asalkan Indonesia tetap bersatu. ”Kepada Megawati ia berpesan bahwa kekuasaan seorang presiden pun ada batasnya dan hanyalah kekuasaan Tuhan yang langgeng,” ungkap Reni.
Soekarno memberi contoh dirinya. Bagaimana di masa muda, saat jaya, dia diagungkan, tapi kala senja disingkirkan dan dibunuh pelan-pelan. ”Aku dipuja seperti dewa dan dikutuk seperti bandit,” kata Soekarno, yang dikutip dalam buku karya Reni.
Baca juga: Mega Blak-blakan, Kenapa Kadernya Wajib Turun Ke Desa
Tapi, Megawati toh ”sudah telanjur” jadi presiden. Dan sekarang, sang putri Puan Maharani, juga menunjukkan ambisi ke arah serupa. Komparasi dengan Putra Sang Fajar pun, kata Roso Daras, akhirnya jadi tak terelakkan. Apalagi di mata para Soekarnois yang kritis.
Mulai gaya kepemimpinan hingga ideologis yang digunakan. Roso Daras mencontohkan, yang paling banyak disampaikan para pengkritik adalah soal BUMN sebagai saka guru perekonomian yang digagas Soekarno. Sayangnya, justru di era ketika Megawati menjadi presiden, aset BUMN malah terjual.
Menurut JJ, munculnya keluarga Soekarno dalam panggung politik dimulai pada saat Orde Baru bergulir. ”Tapi, sebenarnya pemikiran Soekarno tidak tampil di situ,” paparnya.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!