Petuah Kehidupan dalam Abu

oleh

[ad_1]

Memori menjadi penggerak alur cerita novel ini. Menawarkan kemungkinan-kemungkinan bahwa pergulatan batin dan nilai yang menghasilkan sifat manusia itu didapat bukan hanya dari perkara usia yang menua.

PRATIWI Juliani menawarkan kisah seorang lelaki yang mengalami pergulatan batin akibat kelalaian masa lalu pada novel ketiganya, Debu dalam Angin. Kelalaian yang kemudian harus dibayar sang ayah lewat perpisahan dengan anak lelaki yang dikasihi sepanjang sisa hidupnya.

Sebuah kisah yang sekilas sering dijumpai pada kebanyakan novel bertema keluarga yang mengedepankan pesan moral. Tapi, kausa pergulatan batin dan nilai yang menjadikan seseorang pada sifat dan prinsipnya saat ini kerap menjadi rahasia. Di sisi lain, justru kerahasiaan itu yang lantas memberikan ruang bagi para penulis novel untuk menawarkan alternatif jawaban.

Pada Debu dalam Angin ditawarkan kemungkinan-kemungkinan sebab pergulatan batin dan nilai yang menghasilkan sifat manusia itu didapat bukan hanya dari perkara usia yang menua. Demi mengakomodasi hal itu, Pratiwi lantas bermain pada dimensi waktu untuk menunjukkan proses pembentukan karakter seseorang di masa lalu, kini, dan yang akan datang.

Juga bahwa proses pembentukan karakter itu melibatkan hubungan timbal balik antara faktor internal seseorang dan lingkungan yang membentuknya. Ia menunjukkan proses tersebut dengan menarasikan sisi lain kehidupan sosial para buruh proyek pembangunan jalan layang sebagai kemasannya.

Pratiwi membuka novel ini dengan apik, elegan, dan menyentuh melalui memori yang didapatinya bersama sang ayah. ”Tidak ada yang bisa menghalangi apa yang telah terbakar untuk menjadi abu. Tidak ada, Nak, tidak ada. Tapi ia adalah sesuatu sebelum menghilang” (halaman v).

Memori itu lantas menjadi penggerak alur cerita novel ini, di mana Salvador tua sebagai tokoh utamanya. Dinamika kehidupan Salvador sebagai orang tua yang dituakan dinarasikan melalui hubungannya dengan para remaja ”yang juga jauh dari kehidupan bersama keluarganya”, antara lain Tirbiani, Peter, John, juga Tobi sebagai ranting-ranting pertukaran gagasan dalam menjalani hidup.

Secara singkat, pada novel ini Salvador tua dikisahkan sedang bergulat pada perannya sebagai figur ayah di masa kini, juga masa lalu. Di masa kini, Salvador tua merupakan gambaran sosok ayah yang arif dan memiliki prinsip dalam hidup. Setidaknya itulah yang dapat diperoleh pembaca dari interaksinya dengan rekan buruh remaja, yaitu Peter, John, dan Tobi, di lingkungan kerja.

Tapi, Salvador sesungguhnya masih hidup berkelindan dengan pengalaman pahitnya di masa lalu. Seorang Salvador muda yang lalai dalam perannya sebagai ayah dalam kehidupan Tirbiani kecil dan terpaksa merelakannya untuk tinggal bersama mantan istrinya. Meski di akhir cerita, ia mendapati Tirbiani berkembang sebagai sosok pemuda sesuai impiannya.

Sementara itu, latar suasana dan tempat yang diwujudkan dalam interaksi antara para tokoh dan lingkungan (alam dan fisik) dikemas secara apik oleh Pratiwi Juliani. Kita dapat saja dibuai dan hanyut dalam ruang imajiner dengan membayangkan gerak, gaya berpakaian, dan perpindahan para tokoh, juga harmoni kehidupan alam yang secara detail dituliskan dalam pilihan diksi yang mudah dipahami dan tempo yang moderat.

Meski demikian, beberapa detail justru nyatanya membuyarkan kenyamanan berimajinasi dan justru berpotensi membuat pembaca mungkin menemukan informasi yang cukup kontras. Hal yang paling kentara menjelaskan ini adalah ketika menilik pada latar tempat.

Pratiwi mengajukan detail yang berlawanan pada kebiasaan para buruh dalam kesehariannya. Hal ini kemudian membiaskan di mana sesungguhnya latar tempat terjadi.

Pembaca akan mendapati penganan berupa bagel, roti kepang, hingga sourdough, juga plot kasino yang meninggalkan kesan kehidupan Barat dibenturkan dengan nasi berbungkus koran terikat karet gelang yang dibeli dari warung, yang jamak dijumpai dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.

Selain itu, beberapa hal masih menjadi teka-teki dalam novel ini. Teka-teki yang jika diberikan porsi yang tepat tentu akan menjawab bagaimana Salvador tua kemudian menjadi searif sekarang, sebagai sesuatu yang lebih bisa dinalar dibandingkan sebuah kisah ketuaan yang akan menjadikan seseorang lebih bijaksana dalam hidup.

Juga misteri yang membuat Salvador tua begitu disegani kelompoknya meskipun hingga akhir cerita mereka tidak mendapati informasi apa pun tentang masa lalunya. Pun tidak dapat mengonfirmasi keberadaan sosok Tirbiani yang sejak awal menjadi sebuah pertanyaan besar bagi Peter, Tobi, dan John.

Terlepas dari itu, novel Debu dalam Angin ini menyajikan banyak petuah yang berguna bagi pembaca, khususnya generasi muda, perihal bagaimana seharusnya para pria menjalankan peran sebagai lelaki yang bertanggung jawab. ”Namun, bukankah tujuan hidup seorang lelaki, sejak anaknya dilahirkan, bukan lagi tentang dirinya? Seorang ayah harus menjaga anaknya, mengorbankan hidupnya untuk sang anak” (halaman 110). Bahwa sebagai seorang lelaki, kita tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan yang sering kali dilandasi ego, terlebih sebagai kepala keluarga. ”…bahwa dalam hidup, seorang lelaki hendaklah selalu berhati-hati, bahkan terhadap keberaniannya sendiri. Sebab ada beberapa kegagalan besar yang tidak memiliki jalan keluar, selain lurus dan menerima segala akibatnya” (halaman 31). (*)


ANGGA BAGUS BISMOKO

Asisten peneliti ekonomi di LIPI yang sedang giat-giatnya menghasilkan karya sastra (puisi khususnya) di tengah kesibukan melakukan penelitian dan menulis artikel ilmiah.


  • Judul buku: Debu dalam Angin
  • Penulis: Pratiwi Juliani
  • Terbit: Cetakan pertama, Desember 2020
  • Tebal: v + 131 halaman; 13,5 x 20 cm
  • ISBN: 978-602-481-353-6
  • Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.