[ad_1]
JawaPos.com – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah meminta guru dan kepala sekolah di sejumlah sekolah penggerak untuk mengisi survei lingkungan belajar. Adapun, survei belajar tersebut merupakan instrumen dari Asesmen Nasional (AN).
Akan tetapi, terdapat hal janggal dalam survei tersebut, yakni isi survei yang diduga berbau suku, ras, agama dan antargolongan (SARA). Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan, berbagai pertanyaan yang diajukan berbenturan dengan kebhinekaan.
“Survei ini berpotensi berbenturan dengan kearifan lokal dan Bhinneka Tunggal Ika, serta memuat pertanyaan yang tidak relevan sebagai assessment nasional. Para guru diharuskan menjawab dengan sangat tidak setuju, tidak setuju, cenderung setuju, dan sangat setuju,” tutur Illiza, Selasa (27/7).
Anggota Komisi X DPR RI ini pun sangat menyayangkan adanya variabel dan pertanyaan dari survei lingkungan belajar untuk kepala sekolah dan guru tersebut. Sebab, itu dirasa bisa menjadi pelunturan atas karakter bangsa yang memiliki spirit toleransi.
“Oleh karena itu, kami meminta agar variabel dan pertanyaan tersebut ditarik dan dilakukan koreksi serta evaluasi secara menyeluruh,” tegasnya.
Pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek dalam survei lingkungan belajar diminta tidak memberikan pertanyaan atau polling yang bersifat tendensius kepada kepala sekolah dan guru, khususnya menyangkut isu yang sangat sensitif.
“Kemendikbudristek harus memasukkan nilai-nilai karakter yang sesuai dengan ke-Indonesia-an serta kesepahaman atas kearifan lokal yang ada, sehingga menciptakan harmoni dalam proses belajar-mengajar,” ujarnya.
Terlebih Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi kesepahaman dan kesepakatan nasional. Sehingga berbagai pertanyaan dalam survei lingkungan belajar itu tidak boleh mempertentangkan hal tersebut.
“Survei lingkungan belajar juga perlu diarahkan untuk meningkatkan kepercayaan diri Kepala Sekolah dan Guru agar memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam meningkatkan mutu pembelajaran sekolah,” pungkasnya.
Berikut contoh pertanyaan yang dirasakan mengganjal dan tidak relevan antara lain:
1. Laki-laki lebih perlu meraih pendidikan yang tinggi daripada perempuan
2. Saya lebih senang mengajar dan membimbing siswa yang berlatar belakang etnis sama dengan saya
3. Dalam penerimaan siswa baru, saya lebih memilih calon siswa yang memiliki latar belakang suku atau etnis mayoritas
4. Guru dari etnis minoritas harus merasa bersyukur jika bisa mengajar di sekolah negeri
5. Di organisasi, perempuan lebih baik berperan sebagai pendukung [seperti Wakil atau Sekretaris] daripada menjadi Ketua;
6. Cara berpakaian sesuai aturan agama kelompok mayoritas seharusnya diwajibkan bagi warga sekolah dan sejumlah pertanyaan lain.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!