Raff

oleh

[ad_1]

Baik dari tutur orang yang mengalami zaman itu maupun dari buku-buku literatur, tidak banyak yang mengatakan bahwa Raff –begitu aku memanggilnya– telah memberi kenangan istimewa perihal masa pemerintahan peralihan Inggris di Hindia Timur.

KENYATAAN tentang adanya monumen Olivia di Buitenzorg1 pun bukan lantas menandai bahwa Inggris, terkhusus Raff, telah berperan banyak bagi Hindia. Kisah perihal Pesanggrahan Buitenzorg akan lebih banyak dikaitkan dengan orang-orang Belanda. Jika ada yang menghubungkan Raff dengan monumen tersebut, sering kali yang muncul justru cemoohan untuk dirinya. Selama di Jawa, Raff dianggap hanya mengurusi segala hal yang memuakkan.

Jangan salah, aku mengungkit pernyataan tersebut –jika Raff mendengar pasti dapat membuat dia jengkel– karena kenyataannya memang ada beberapa orang yang mengatakannya begitu. Jadi, bukan karena aku sentimen kepada Olivia. Bukan, bukan itu! Terlebih karena aku tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa dia dulu juga istri Raff, yang tentu saja sama-sama menginginkan yang terbaik bagi seorang suami. Jujur, aku juga tidak merasa berkecil hati karena adanya monumen tersebut. Bahkan, aku malah berpikir, adanya monumen itu bisa menjadi pertanda bahwa Raff ternyata lelaki yang romantis.

Hal lain yang bisa menjadi rujukan bahwa sesungguhnya Raff sering disepelekan, adanya kenyataan bahwa sekarang ini, mungkin banyak orang yang merasa bekerja bagi Hindia sedang mencoba menapaki tangga-tangga batu hitam untuk menuju puncak Candi Budha2 itu. Bisa jadi mereka tidak pernah mau tahu bahwa tempat itu dulu Raff yang menemukannya di Kedu, yang ketika itu masih berwujud perbukitan hijau. Selebihnya, orang-orang di sini, mungkin juga dunia, tidak pernah mengerti apa yang sesungguhnya telah Raff perbuat.

Termasuk tentang adanya sanggahan kuat perihal nama Malioboro yang disematkan untuk salah satu jalan di Jogjakarta, yang senyatanya memang bukan prakarsa Raff, menurutku hal itu perkara remeh-temeh yang dibesar-besarkan. Jika kenyataannya memang bukan Raff, sebenarnya cukup adanya klarifikasi saja, bukan lantas terus diulik agar menjadi buah bibir untuk menciptakan kesan bahwa Raff memang tidak pantas mendapatkan nama baik.

Pada kenyataannya, masa pemerintahan peralihan Inggris di wilayah itu memang hanya berlangsung lima tahun, yang hal itu bisa menjadi petunjuk, bahwa rentang waktu yang singkat tersebut sebenarnya memang tidak cukup untuk berbuat banyak. Meski sesungguhnya jika dilihat perihal peristiwa pembukaan masa kolonial, senyatanya memang melibatkan Raff, karena dialah yang saat itu menjadi salah satu pimpinannya. Namun, dua kenyataan tersebut justru dijadikan bahan untuk membuat kesimpulan bahwa Raff tidak becus bekerja.

Ketika aku menemukan Raff terkapar di anak tangga terbawah pada musim panas tahun 1826 karena sakit stroke, aku merasa prihatin dengannya. Aku merasa saat itu sesungguhnya Raff telah menanggung beban psikologis besar, selain karena Raff harus meninggalkan Jawa yang dicintainya, juga terkhusus masalah kehidupan kami setelah itu. Mengapa aku bisa mengatakannya, karena masa sebelum dan setelah kisah Traktat London aku selalu setia menemani Raff. Oya, saat kami di Bengkulu, musibah secara beruntun menimpa kami.

Di sana, kami harus mati-matian berjuang untuk mempertahankan hidup. Sejak itulah aku telah bertekad akan membuat buku catatan tentang kisah perjalanan Raff, terkhusus saat di Bengkulu, setidaknya dengan ceritaku nanti, aku berharap kisah tentang Raff tidak melulu berisi perihal kehancurannya yang memilukan. Aku merasa ada yang perlu aku ceritakan, karena kupikir hanya aku yang tahu perihal itu.

Meski begitu, ketika tiba waktunya aku mengutarakan niatku, buru-buru banyak orang telah menganggap aku akan membuat proyek pencitraan nama baik, agar Raff lebih dikenal sebagai pahlawan besar, membuat kisah perjalanan Raff menjadi agung. Sungguh, aku lebih menghargai apa yang dilakukan Travers, temannya itu. Setidaknya dia tetap berkata sopan bahkan sampai setelah Raff meninggal. Aku merasa tidak ada sedikit pun keinginan Travers untuk ikut-ikut menyepelekan Raff. Tentu saja aku senang ketika dia sempat menyampaikan obituari singkat perihal kepergian Raff saat diwawancarai sebuah koran.

”Dia seorang genius,” katanya.

Meskipun menurutku memang agak berlebihan, mungkin wajar bagi Travers. Dia mantap mengatakan hal itu semata karena dia tahu apa yang sudah Raff lakukan di masa tugasnya, terkhusus pada masa pemerintahan di Jawa, itulah yang mungkin dimaksud Travers. Meski begitu, pernyataan Travers tidak lantas mempunyai efek yang berarti bagi dunia, dan orang-orang di sini tetap menganggap Raff sebagai tentara gagal, bahkan pecundang. Orang-orang dari negara ini yang pernah bekerja di Hindia Timur masih sering mengejek Raff, bahkan ketika mereka sekadar mendengar namanya. Bagi mereka, begitu mendengar Raff disebut, akan menjadi bahan empuk untuk membuat lelucon, setelah itu mereka akan bersama-sama terbahak.

Semua itu bisa jadi sesungguhnya rasa iri mereka, karena pada kenyataannya ada satu bukti Raff telah mempersembahkan sesuatu yang teramat manis bagi tanah Jawa, yaitu tulisan Raff yang berjudul The History of Java, sebuah buku sebagai bukti kecintaan Raff pada tanah Jawa itu. Bukti tersebut sesungguhnya sudah bisa menjadi alat peruntuh bagi orang-orang yang menganggap remeh dia. Meski begitu, tampaknya Raff tidak melayani omongan mereka. Bagi Raff, jika dia menanggapi hal itu hanya akan membuat hidupnya tidak bahagia. Celakanya, sikap dingin Raff justru semakin disalahpahami, Raff menjadi bulan-bulanan, bahkan sampai menganggap Raff tidak pernah masuk dalam sejarah penting pemerintahan di Hindia.

Bagiku sendiri, sesungguhnya tidak begitu peduli perihal pemerintahan. Aku hanya memperhatikan Raff karena dia suamiku. Jikapun aku akan membuat memoar tentang dia, sesungguhnya bukan untuk menyucikan dia agar namanya bisa sewangi lavender. Aku membuat memoar tentang Raff karena aku mencintai dia. Aku mengagumi dia. Setidaknya ketika dia harus berpisah dengan tanah Jawa, lalu akhirnya ke Bengkulu, hal itu bukan sesuatu yang mudah. Setelah kisah kekalahan Inggris dari Belanda, Bengkulu memang sudah tidak terawat lagi. Di sana kami benar-benar mulai dari nol.

Aku masih ingat, waktu itu bulan Oktober, aku sedang hamil tua. Raff mendapat tugas kembali setelah diistirahatkan dari Jawa. Saat itu kami melakukan pelayaran ke Bengkulu. Anak pertama kami –Charlotte Sophia Tanjung Segara Raffles– lahir di kapal, dan karena cintanya pada tanah Jawa, Raff memakai dua kata dari bahasa Jawa untuk disematkan pada nama anak kami itu. Ketika kami pertama menginjak tanahnya, kami seperti memasuki hutan rimba. Ternyata Bengkulu semakin hancur karena sebelumnya ada gempa bumi. Kota mati, itulah yang pantas untuk julukan Bengkulu saat itu.

Namun, Raff bukan tipe orang yang mudah menyerah. Selain menyempatkan memperbaiki Benteng Marlborough yang telah rusak parah, dia juga menerapkan kebijakan seperti yang telah dia lakukan di Jawa. Seiring berkembangnya Bengkulu, Raff menerapkan pembatasan perbudakan dan pelarangan judi. Raff berjuang terus untuk kemajuan Bengkulu. Dan mungkin salah satu keberuntungan besar Raff di masa itu, ketika suatu hari dia bersama dokter Arnoldi menemukan bunga berukuran raksasa. Dan menurutku, kisah penemuan bunga raksasa itu memang kuyakini kelak akan sedikit mengangkat namanya.

Untuk selanjutnya, apa yang akan aku kisahkan adalah bagian yang sesungguhnya menjadi impianku hendak membuat memoar mengenai Raff. Apa yang aku ceritakan tentu saja berhubungan erat dengan siapa sebenarnya diri Raff yang kukenal, setidaknya Raff sebagai suamiku. Terus terang aku mengaguminya. Selama kami di Bengkulu, Raff giat bekerja, bahkan dia juga rajin melakukan penelitian botani dan zoologi. Terkait hal itu, dia mengoleksi banyak sketsa tentang hewan dan tumbuhan khas. Dia sadar benar, saat kami di Bengkulu adalah babak baru dalam kehidupan kami. Dengan tekun dan telaten Raff memperbaiki kondisi Bengkulu dan terus bertahan sampai aku melahirkan empat anak lagi di sana.

Mulai saat itulah ujian berat menguji kami. Sesungguhnya kami tidak tahu akan menemui jalan hidup yang begitu terjal. Bahkan ketika satu per satu tragedi itu menimpa kami, seakan kami belum memercayainya. Masa suram seperti tiba-tiba menyerang. Bengkulu yang saat itu sebagian besar masih berwujud rawa-rawa, menjadi pusatnya penyebaran penyakit malaria dan disentri. Tragedi mahabesar menghampiri kami.

Belum lagi keadaan sanitasi yang buruk, hingga keadaan itulah yang menjadi salah satu penyebab keempat anak kami satu demi satu menemui celaka. Mereka pergi dan tak pernah kembali, bahkan kematian itu terjadi saat usia mereka tidak lebih dari empat tahun. Aku tidak ingat, sudah berapa kali saat itu jiwaku jatuh. Mungkin bisa dibilang aku hampir gila karenanya. Namun, menurutku tekanan terhadap Raff pasti lebih besar, karena dia bukan hanya menghadapi ketragisan keluarga, tapi juga tekanan dari kepentingan pemerintahan kolonial Inggris. Namun, nyatanya yang terjadi, Raff masih bisa bertahan, meski aku sendiri tidak tahu persis bagaimana caranya dia bisa lepas dari jeratan tekanan dan impitan itu.

Baca juga: Sajak Ratna Ayu Budhiarti

Tragedi besar tersebut dimulai dengan kematian Leopold Stamford –anak kami kedua– karena terserang kolera. Dia hanya sempat hidup dua tahun. Berikutnya kematian Stamford Marsden –anak ketiga kami– karena radang usus. Sebelas hari kemudian Charlotte –anak pertama kami– menemui giliran waktu ajalnya dengan sebab kematian yang sama. Sepuluh bulan kemudian Flora Nightingall –anak kelima kami– menyusul. Empat buah hati kami dikubur di Kompleks Permakaman Inggris, sebelah timur Benteng Marlborough. Hanya Ella Sophia –anak keempat kami– yang bisa melewati masa genting itu. Bahkan selamat sampai kami di Singapura.

Kenyataan itulah yang tidak diperhatikan banyak orang. Menurutku, ketegaran Raff melebihi sifat dasar manusia. Dan semata karena itulah sesungguhnya alasanku membuat memoar bagi Raff. Aku sebagai istri ingin menghormati dia yang telah berhasil mengantarkan keluarga selamat dari maut. Dengan sisa harapan yang ada, Raff mampu lolos dari lembah kehinaan.

Oleh karena itu, sebanyak apa pun hinaan kepadaku atas penyusunan naskah memoar ini tak sedikit pun meruntuhkan tekadku. Bahkan ada yang menganggap apa yang aku lakukan hanya usahaku untuk menciptakan sosok pahlawan yang bermartabat, sebuah usaha untuk membuat monumen pennyucian diri, tidak sedikit pun membuatku goyah. Kuakui, mungkin benar, aku ingin menunjukkan Raff sebagai sosok pahlawan, tetapi sungguh bukan pengertian pahlawan yang seperti mereka bayangkan. Pahlawan yang kumaksud lebih merujuk kepada pengertian bahwa Raff telah berhasil memperjuangkan keluarga dari jurang kehancuran.

Aku telah berkali-kali disadarkan oleh pemikiran tentang bagaimana nasibku saat itu jika Raff tidak berusaha bertahan untuk melewati kisah tragis itu. Jadi sesungguhnya, aku tidak pernah peduli, ketika naskah memoarku yang berjudul Memoir of the Life and Services of Sir Thomas Stamford Raffles telah mewujud menjadi buku dan akan disambut dengan kesinisan. Semata itulah impianku tentang bakti pada suami. (*)


YUDITEHA

Pegiat Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Buku terbarunya Sejarah Nyeri (Kumcer, Marjin Kiri, 2020).

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.