Retno Hastijanti, Arsitek yang Berkiprah di Tim Ahli Cagar Budaya

oleh

[ad_1]

Surabaya Selain dikenal sebagai Kota Pahlawan, Surabaya juga disebut sebagai museum hidup yang merekam segala perkembangan kota masa lalu hingga saat ini. Termasuk kampung lawas yang telah didalami TACB Surabaya.

AZAMI RAMADHAN, Surabaya

MENDALAMI sebuah kawasan atau bangunan yang mengandung nilai sejarah, bagi Retno Hastijanti, sama halnya dengan merawat atau memelihara kehidupan. Sebab, tak sedikit nilai dari sebuah kawasan yang dapat dipelajari lebih dalam. Itulah yang membuat Hasti, sapaan akrab Retno Hastijanti, memilih all-out bersama-sama tim ahli cagar budaya (TACB).

Di tim tersebut beragam profesi berkumpul. Mulai Profesor Johan Silas, sejarawan Unair Purnawan Basundoro, sejarawan Unesa Sumarno, dan Missa Demetawati dari BPCB Trowulan.

Bagi perempuan 54 tahun itu, TACB tidak hanya bertugas membuat label sebuah kawasan atau bangunan sebagai kawasan cagar budaya. Namun, perannya lebih dari itu. ”Nggak sebatas teken SK. Tapi, bagaimana dalam proses itu muncul partisipasi publik,” kata Hasti.

Dengan begitu, saat menangani kawasan atau bangunan cagar budaya tersebut, pihaknya menghindari berpikir teknis. Terlebih tentang bagaimana merevitalisasi dengan mendesain ulang sebuah kawasan atau membiarkan sebuah kawasan dan bangunan tersebut sama seperti sedia kala.

Sembari membuka file-file lama, Hasti mengungkapkan bahwa menurut Eric Weiner, seorang pengarang buku asal Inggris, setiap kota itu memiliki sedikitnya satu lubang pintu ke masa lalu. Ada dimensi tersembunyi dari setiap kawasan dan bangunan lama di Surabaya.

Jendela tersebut, menurut dosen arsitektur Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya itu, tidak hanya soal sumber sejarah yang berada di atas kertas, tetapi juga cerita dari setiap orang yang mendiami lokasi tersebut. Dengan begitu, masa depan dipastikan tumbuh dengan akar kebudayaan masa lalu yang kukuh dan kuat. Sebab, sebuah kawasan dalam kota merupakan root sekaligus soul bagi warganya.

”Partisipasi itu melibatkan banyak pihak. Akademisi, praktisi, komunitas pegiat sejarah, dan warga. Itu penting,” ujar alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu.

Dia mengungkapkan, rasa yang ada di masyarakat itu dia temui sejak dirinya bergabung dengan TACB pada 2008 dan menjadi ketua TACB pada 2017 hingga saat ini.

Meski terkesan sederhana, proses tersebut sesuai dengan ciri khas warga Surabaya yang menjunjung tinggi rasa egaliter. Rasa tersebut muncul saat dia mengawal proses penetapan kawasan cagar budaya di Kampung Maspati. Partisipasi muncul selama proses penetapan kawasan tersebut sebagai cagar budaya.

”Bagi kami, khususnya saya, proses yang paling berkesan itu saat penelusuran kampung. Salah satunya ya Maspati itu,” ungkapnya sembari menunjukkan file denah lawas Kampung Maspati.

Saat proses itu, dia bersama tim menemukan tata kawasan yang masih asli. Di sana partisipasi warga juga sudah terbentuk. Hal itulah yang membedakan kampung-kampung lawas di Surabaya dengan kawasan urban lainnya.

Total ada 22 kawasan cagar budaya berbasis kampung yang sudah diidentifikasi dan tersebar luas di seluruh Kota Surabaya, tentunya tak hanya di Surabaya Utara. Sebab, Kota Surabaya pada hakikatnya merupakan museum hidup yang mayoritas kawasan dan bangunannya masih berdiri hingga saat ini.

Tidak salah bila kali ini pemerintah kota tengah memprioritaskan kelanjutan revitalisasi kawasan. Tujuannya tentu agar lebih memiliki nilai manfaat bagi masyarakat serta menjadi faktor pemicu bagi bergeraknya ekonomi Surabaya pasca-Covid-19.

Tak hanya soal struktur bangunan, tapi juga kisah dan perjalanan arek-arek Suroboyo mempertahankan kota dan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan sekutu.

Ditanya soal rencana setelah purnatugas sebagai ketua TACB, Hasti bakal tetap bersinggungan dengan kawasan lawas. ”Terlepas dari latar belakang saya yang arsitek ya. Saya bakal tetap berkecimpung dengan sejarah dan kebudayaan,” ujarnya.

Dengan demikian, dia berharap kawasan kota tua mampu mengakomodasi sejarah, budaya, serta perkembangan ekonomi Kota Surabaya dan menjadi representasi kolaborasi seluruh lapisan masyarakat dalam kegiatan kelestariannya.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.